Akhir yang Baik


Suatu ketika seorang muslim yang miskin papa mendatangi Rasulullah dan meminta sang Nabi mendoakannya agar menjadi kaya. Rasulullah mula-mula menolaknya, dengan memberi peringatan halus; bahwa kekayaan bukan jaminan kebahagiaan. Bahkan cobaan hidup kaya bisa jadi lebih berat untuk ditanggung seorang manusia. Namun lelaki ini bersikeras hingga Rasul pun mengabulkan keinginannya dan mendoakan agar ia kaya.

Doa Rasul terkabul. Sang lelaki menjadi kaya dan semakin bertambah kaya. Namun, seiring meluas kekayaannya, apa yang diperingatkan dan dikhawatirkan Rasul pun terjadi. Ia lalai, semakin hari semakin bertambah lalai akibat kekayaannya.

Mula-mula ia ‘hanya’ sering terlambat salat berjamaah. Lalu, ia jadi sering alpa salat berjamaah. Hingga lama-lama ia benar-benar enggan berjamaah, dengan alasan kesibukan mengurusi harta.

Lelaki ini pun enggan mengeluarkan hartanya untuk berzakat, apalagi bersedekah. Maka, perjalanan akhir hidupnya lantas saja menjadi satu untaian kisah berklimaks tragis yang tercatat dalam sejarah. Ia wafat sebagai seorang munafik dan kisahnya terabadikan dalam Alquran.

Lain lagi jalan hidup Umar bin Khattab. Masa lalunya amat gelap. Tak sekadar membenci umat Islam, ia bahkan tega mengubur anak perempuannya hidup-hidup, dengan tangannya sendiri. Semua itu dilakukannya hanya karena kebiasaan dan tradisi turun temurun. Namun, hidayah Allah membalik semuanya. Umarpun pembela sejati. Ia berani menegakkan kebenaran dan tak gentar hanya oleh sebab kematian. Pantaslah ia dijuluki Al Faruq dan Rasul pun menggambarkan dirinya dengan indah: Kalaulah Umar berjalan di satu jalan dan setan ada di jalan yang sama, maka tentulah si setan akan memilih jalan yang lain.

Hidayah Allah menyinari Umar setelah ia berumur. Namun, dengan kesungguhan dan istikamahnya, kesalahannya “diputihkan”. Sejarah pun mencatat namanya dalam lembaran bertinta emas sebagai salah satu sahabat yang dijamin masuk surga.

Kedua contoh ini, sesungguhnya menuntun setiap mukmin untuk menyadari bahwa tak soal siapa, apa dan bagaimana masa lalu, yang terpenting adalah bagaimana kita membentuk hari ini untuk mencapai hari esok yang lebih baik dan menuntaskan hidup ini dalam kondisi yang paling baik.

Jalan yang bisa ditempuh tentu tak hanya sekadar menggantungkan diri pada takdir, atau berlindung pada kalimat: Hidayah adalah milik Allah, terserahlah, pada siapa Dia akan memberi curahan-Nya. Sebab, soal peran aktif untuk memilih mengubah nasib sebagai sosok mukmin, kafir, atau munafik, tetaplah berada di tangan manusia.

Benar, hidayah adalah milik Allah semata. Namun, yang diberinya pada manusia yang telah dianugerahkannya kemampuan memilih, jalan fujur atau jalan takwa. Dan telah kami ilhamkan kepada manusia dua jalan, yaitu furojaha (jalan keburukan) dan tawaqaha (jalan kebaikan). (QS. 91: 8-10)

Maka, Allah tegaskan betapa beruntungnya mereka yang memilih jalan kebaikan dan menyucikan dirinya. Sebaliknya betapa meruginya mereka yang memilih jalan keburukan dan mengotori dirinya.

Setiap detiknya, setiap diri sesungguhnya tengah memahat sebuah prasasti berwujud “autobiografi”, suatu catatan yang akan terus dikaji, dibaca, dan dikenang oleh anak, cucu dan para penerus tugas kehidupan. Pertanyaannya: Seperti apa kita ingin dikenang bila tak lagi berada di dunia ini?

Beberapa hari ke depan, satu tahun masehi, akan berlalu lagi. Meninggalkan setumpuk kenangan dalam masa 365 putaran hari yang tak akan pernah tergantikan dan terlupakan.

Seperti apa Anda ingin dikenang? Kalaulah hari-hari dan kesempatan masih panjang, inilah saatnya kita memilih untuk mencatatkan kebaikan demi kebaikan dan demi sebuah catatan akhir kehidupan yang indah dan mengesankan. Maka ya Allah, tuntunlah kami untuk selalu istikamah di jalan-Mu. Aamiin. (Zirlyfera Jamil)

 

Menyiasati Keprihatinan

Di mana bisa kaucari tempat seperti Indonesia?

Bentangan negerinya sangatlah luas. Alamnya subur dan punya aneka ragam sumberdaya melimpah. Matahari dan hujan turun berimbang. Lautnya luas, hutannya banyak. Ribuan jenis tumbuhan dan hewan hidup dan berkembang biak. Gunungnya berbaris dan tambangnya berlapis. Cuacanya pun amat bersahabat. Tak sangat panas, tak sangat dingin. Tak heran ada satu lagu bersyair: tongkat kayu pun kalau ditanam bisa jadi tanaman.

Seorang syekh pernah berkunjung ke Indonesia dan diajak keluar kota melewati kawasan puncak. Sepanjang perjalanan dia menatapi pemandangan dan berkata pada panitia pengantarnya: “Akhi, negerimu sungguh laksana surga…”

Syekh ini tentu bukan sedang berolok-olok, tapi surga memang digambarkan lengkap dengan kebun-kebun, buah-buahan dan sungai yang mengalir indah. Maka pantaslah bila Indonesia dengan segala kekayaan dan keragaman alamnya disebut sebagai “surga dunia”.

Namun, bicara soal kesejahteraan, gambaran Indonesia jauh dari indah. Sebagai negara berkembang –kata halus dari negara terbelakang– rakyatnya kebanyakan sungguh-sungguh miskin. Banyak keluarga terpaksa tinggal di kolong-kolong jembatan atau pada gerobak-gerobak dorong. Tak mampu menyekolahkan anak-anak, dan tak mampu berobat di kala sakit. Sebagian di antaranya bahkan harus meninggal karena penyakit busung lapar atau kurang gizi.

Meski begitu, mobil mewah laris manis setiap kali dipasarkan. Pusat-pusat perbelanjaan penuh sesak oleh pengunjung yang sibuk berbelanja. Petinggi-petinggi negerinya pun kerap jalan-jalan keluar negeri. Hingga, diraihlah “penghargaan” dunia: negeri ini menjadi jawara korupsi!

Maka, di mana lagi bisa kaucari tempat seperti Indonesia?

 

Tanggung jawab Negara

Kenaikan harga BBM terakhir awal Oktober lalu, semakin mengempaskan masyarakat Indonesia pada jurang keterpurukan. Budi Rajab, pengamat sosial asal Universitas Padjajaran Bandung, menjelaskan kondisi keterpurukan ini disebabkan bertambahnya angka pengangguran dan angka penduduk miskin.

Ada sekitar 40 juta penduduk masuk kategori miskin di Indonesia saat ini. Sementara angka pengangguran, baik mereka yang sama sekali tak memiliki pekerjaan, maupun mereka yang setengah menganggur, hampir mencapai angka 11 juta jiwa. Ini berarti semakin meningkat pula persentase kemungkinan terjadinya problem-problem sosial yang sulit diatasi, seperti bertambahnya jumlah anak jalanan, preman, pekerja seks hingga pelaku tindak kejahatan.

Lebih lanjut Budi menjelaskan, kemiskinan di Indonesia tak hanya berwujud munculnya orang-orang dengan pendapatan rendah tetapi juga karena melebarnya jurang ketimpangan pendapatan satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain. “Distribusi pendapatan di negeri kita tidak merata. Bukan hanya antara manusianya, tetapi juga antar daerahnya,” prihatin Antropolog kelahiran 44 tahun lalu ini.

Mencoba menggali lebih dalam, ia lantas melihat bahwa negara pun punya andil dalam memiskinkan rakyat dengan tidak memiliki kebijakan yang pro rakyat. “Aset produksi, sarana ekonomi, masih dikuasai sebagian kecil orang. Sementara kebijakan ekonomi justru lebih berpihak pada yang menguasai aset produksi,” sesal Budi.

Lelaki yang tengah mendalami S2 Sosiologi ini lantas mencontohkan soal Kredit Usaha Tani (KUT) yang hanya bisa diberikan pada mereka yang punya tanah. Semakin luas tanah, semakin besar kredit yang bisa didapat. Lantas, bagaimana nasib petani yang tak punya tanah? Mereka tentu tak bisa mengembangkan diri, tak bisa dapat kredit.”Maka, yang miskin akan tetap miskin, bahkan akan melahirkan generasi yang miskin pula,” tambahnya.

Soal program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pemerintah juga dikritik Budi. Kebijakan itu disebutnya bersifat haritatif, sekadar membantu sesaat, dan tidak menolong untuk jangka panjang. “Pemerintah cuma jadi kehilatan bager (baik-red). Padahal yang namanya pemerintah mah memang sudah seharusnya bager ters,” kritiknya.

Untuk itu, Budi menyarankan agar pemerintah lebih berupaya merumuskan rencana ke-bageran yang efektif, kontinu dan berjangka panjang. Misalnya saja menggratiskan sekolah, rumah sakit, menyelenggarakan pelatihan keterampilan gratis, membuka peluang usaha atau membuka lapangan kerja padat karya. Dengan begitu, distribusi pendapatan bisa lebih merata, dan kesejahteraan masyarakat lebih mungkin diraih. “Tengok saja di negara-negara Eropa. Penduduk miskinnya sedikit, tapi yang sangat kaya juga sedikit. Secara umum, jurang distribusi pendapatan di antara mereka tidak begitu lebar.”

 

Fakir yang dekat kufur

Namun, dari sisi kemanusiaannya, tak sedikit pula masyarakat Indonesia yang terpaku dengan kemiskinan hingga bereaksi negatif. Itu sebabnya kita bisa memahami mengapa Rasulullah sedemikian mewanti kita untuk mewaspadai kemiskinan lewat pernyataan kemiskinan itu dekat pada kekufuran.

Orang miskin tentu tak lantas berarti akan menjadi kufur, tetapi kondisi miskin memang menyesakkan dada. Terutama bila kebuttuhan pokok; sandang, pangan dan papan sampai tak terpenuhi dan tekanan eksternal muncul terang-terangan. Entah itu tangis anak-anak, desakan pasangan, pandangan melecehkan lingkungan, atau pameran kekayaan dan kenikmatan duniawi yang bikin ngiler.

Sayangnya, soal kebutuhan tak terpenuhi dan pamer kekayaan adalah pandangan umum di negeri ini. Maka, orang miskin yang kecewa dengan nasib mereka, menjadi cemburu pada orang kaya dan alih-alih bangkit untuk mengatasi kemiskinan, sebagian menjadi malas dan putus asa dengan keadaan. Sebagian lagi malah memilih tak ragu melakukan kemaksiatan. Menipu, mencuri, berlaku curang hingga melakukan tindakan kriminal lainnya.

“Salah satu jalan untuk mengatasi kondisi ini adalah dengan memperbaiki faktor moril,” kata Ustadz Idris Abdussomad, MA. Caranya bisa macam-macam dan tak bisa instan. Namun hasilnya bisa efektif dan kontinyu. Dimulai dari diri sendiri, bergerak lewat para lama, maupun tokoh masyarakat pada umumnya.

Kepada pribadi-pribadi, jelas Ustadz Idris, perlu dikuatkan pemahaman bahwa miskin adalah salah satu bentuk ujian Allah, di antara ujian-ujian hidup yang Allah berikan pada manusia. Dengan kesadaran ini, diharapkan setiap individu bisa lebih siap mental menjalani kehidupan yang sulit dan lebih bisa bersabar dalam kemiskinan.

Setelah memiliki pemahaman dan kesabaran, Ustadz Idris melanjutkan, akan jauh lebih mudah bagi seseorang untuk melangkah pada poin selanjutnya berupa evaluasi diri. Orang miskin, meski bersabar, tetap perlu terus mengevaluasi diri, agar bisa melihat titik lemah untuk dihilangkan dan mencari titik kuat untuk dikembangkan.

“Poin pentingnya adalah kejujuran,” ujar ayah 6 anak ini. “Lihatlah pada diri dan perilaku diri. Apakah ada hal-hal yang telah dilakukan, yang ternyata tidak berkesesuaian dengan kehendak Allah?”

Hal ini penting dilakukan, sebab berdasarkan sebuah hadis, doa kita belum terkabul bisa dikarenakan Allah yang belum berkehendak mengabulkannya saat itu, atau karena ada hal-hal atau barang-barang yang tidak disukai Allah yang kita lakukan atau kita konsumsi.

 

Sosialisasi zakat, infak dan sedekah

Tak hanya mengacu pada masyarakat miskin, Ustaz Idris juga mengarahkan poin pentingnya mengubah pemahaman berislam, bagi orang kaya. Sebab, kemiskinan akan semakin membelit suatu masyarakat bila orang kaya di suatu negeri tak peduli pada nasib kaum dhuafa. Quran sendiri dalam surat Al-Ma’un secara tegas menyebut orang-orang yang tak peduli pada anak yatim dan untuk itu, tegas doktor lulusan Universitas Riyadh, Arab Saudi ini, soal kewajiban berzakat, dan keutamaan berinfak mesti disosialisasikan lebih luas.

Misalnya saja, disosialisasikan bahwa setiap manusia lahi pada dasarnya miskin. Tak punya apa-apa, hingga Allah memberdayakan dirinya, mungkin lewat orangtua atau orang lain. Maka, sebagai wujud syukur pada Allah, kita pun mesti membagi kenikmatan ini dengan cara memberdayakan orang lain lewat zakat, infak atau sedekah.

Tentu saja, segala proses ini akan terkait erat dengan manajemen zakat yang juga harus baik. Sehingga zakat yang diberikan pada fakir miskin, tak hanya berwujud bantuan yang langsung habis dikonsumsi melainkan bisa sebagiannya digunakan untuk keperluan produktif. “Sebab, target dari pemberian zakat adalah si miskin ini kelak bisa menjadi muzaki (pembayar zakat), bukan terus menerus menjadi mustahik (penerima zakat),” tambah Ustaz Idris.

Bila kedua pihak, kelompok miskin dan kaya, dapat memahami kondisi masing-masing dan proaktif melakukan perbaikan-perbaikan diri, tentulah kita bisa yakin bahwa awan gelap yang mengayungi masa depan masyarakat Indonesia akan segera sirna. Insya Allah. (Zirlyfera Jamil/Wawancara: Ami dan Iyas)

 

Sumber: Ummi

 

Sejarah Singkat Rasul


Taq’if adalah tempat Muhammad pernah hijrah namun mendapat lemparan batu. Di tempat ini pula terdapat berhala yang sangat dipuja masyarakat Arab, setelah berhala-berhala di sekitar ka’bah. Muhammad lalu mengarahkan pasukannya untuk mengepung kota tersebut. Namun benteng Ta’if terlalu kuat. Beberapa orang Islam bahkan gugur terkena sambaran anak panah. Rasul kemudian memindahkan markasnya ke tempat yang tak dapat dijangkau dengan anak panah. Di sana Rasul mendirikan dua kemah merah, dan ia bersembahyang diantaranya. Di tempat tersebut kini berdiri masjid Ta’if.

Kepungan tak meruntuhkan Ta’if. Padahal, masa itu, Muhammad telah menggunakan beberapa teknik baru. Antara lain serangan dengan pelontar batu yang disebut ‘manjaniq’. Dari beberapa orang Ta’if yang melarikan diri, Rasul tahu bahwa persediaan makanan di dalam benteng masih sangat banyak. Artinya, perlu waktu yang sangat lama untuk mengepung kota tersebut. Sementara itu, pasukan Islam mulai lelah. Apalagi, bulan suci mulai menjelang. Bulan yang di masa terdahulu maupun di masa Islam tak diizinkan sama sekali untuk berperang.

Rasul pun menarik pasukannya dari Ta’if. Pasukan itu bergerak menuju wilayah kaum Hawazin, dan meminta kabilah tersebut untuk menyerah. Masyarakat Hawazin menuntut Muhammad agar membebaskan para tawanan perang. Muhammad meluluskan permintaan itu. Pada mereka, Muhammad bahkan berpesan bahwa seandainya Malik bin Auf dan keluarganya menyerahkan diri dan bersedia memeluk Islam, ia akan mengembalikan harta mereka dan malah akan memberinya seratus unta. Di sini Muhammad menggunakan pendekatan baru, yakni merangkul musuh, untuk menyebarkan kebesaran Islam.

Namun tawaran Muhammad pada orang-orang Hawazin ini meresahkan pengikutnya sendiri, baik orang-orang Anshar maupun Muhajirin. Tak pernah mereka mendapatkan harta pampasan perang sebanyak kali ini. Mereka berharap akan mendapatkan bagian yang sangat besar dari pampasan tersebut. Janji Muhammad pada orang-orang Hawazin memupuskan harapan itu.

Namun Muhammad teguh pada sikapnya. Dengan sabar ia bicara pada para sahabatnya. Rasul menunjukkan bahwa tujuan perjuangannya selama ini bukanlah untuk menjadi kaya, melainkan untuk menyebarkan kebenaran. Para sahabat dapat memahami prinsip tersebut.

Dari Ji’rana di sebelah tenggara Mekah, Rasul pun berangkat untuk menunaikan ibadah umrah. Usai umrah, Muhammad menunjuk Attab bin Asid dan Mu’adh bin Jabal untuk tetap tinggal di Mekah. Keduanya ditugasi untuk mengajarkan Quran serta nilai-nilai Islam secara menyeluruh pada kaum Qurais. Muhammad dan rombongan besarnya lalu kembali ke Madinah.n

 

Perang Khaibar

Hanya beberapa hari Muhammad berada di Madinah usai peristiwa Hudaibiya itu. Sekitar dua pekan kemudian, Rasul bahkan memimpin sendiri ekspedisi militer menuju Khaibar, daerah sejauh tiga hari perjalanan dari Madinah. Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama setelah Yahudi di Madinah ditaklukkan oleh Rasulullah.

Yahudi tak mempunyai cukup kekuatan untuk menggempur kaum Muslimin. Namun mereka cerdik. Mereka mampu menyatukan musuh-musuh Muhammad dari berbagai kabilah yang sangat kuat. Hal itu terbukti pada Perang Khandaq. Bagi warga Muslim di Madinah, Yahudi lebih berbahaya dibanding musuh-musuh lainnya.

Maka Muhammad menyerbu ke jantung pertahanan musuh. Suatu pekerjaan yang tak mudah dilakukan. Pasukan Romawi yang lebih kuat pun tak mampu menaklukkan benteng Khaibar yang memiliki sistem pertahanan berlapis-lapis yang sangat baik. Sallam anak Misykam mengorganisasikan prajurit Yahudi. Perempuan, anak-anak dan harta benda mereka tempatkan di benteng Watih dan Sulaim. Persediaan makanan dikumpulkan di benteng Na’im. Pasukan perang dikonsentrasikan di benteng Natat. Sedangkan Sallam dan para prajurit pilihan maju ke garis depan.

Sallam tewas dalam pertempuran itu. Tapi pertahanan Khaibar belum dapat ditembus. Muhammad menugasi Abu Bakar untuk menjadi komandan pasukan. Namun gagal. Demikian pula Umar. Akhirnya kepemimpinan komando diserahkan pada Ali.

Di Khaibar inilah nama Ali menjulang. Keberhasilannya merenggut pintu benteng untuk menjadi perisai selalu dikisahkan dari abad ke abad. Ali dan pasukannya juga berhasil menjebol pertahanan lawan. Harith bin Abu Zainab -komandan Yahudi setelah Sallam-pun tewas. Benteng Na’im jatuh ke tangan pasukan Islam.

Setelah itu benteng demi benteng dikuasai. Seluruhnya melalui pertarungan sengit. Benteng Qamush kemudian jatuh. Demikian juga benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Semula Yahudi bertahan di benteng tersebut. Namun pasukan Islam memotong saluran air menuju benteng yang memaksa pasukan Yahudi keluar dari tempat perlindungannya dan bertempur langsung. Benteng Watih dan Sulaim pun tanpa kecuali jatuh ke tangan pasukan Islam.

Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam. Muhammad memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi’ yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan Rasulullah.

Perlindungan itu tampaknya sengaja diberikan oleh Rasulullah untuk menunjukkan beda perlakuan kalangan Islam dan Nasrani terhadap pihak yang dikalahkan. Biasanya, pasukan Nasrani dari kekaisaran Romawi akan menghancurludeskan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang kaum Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang mengikuti garis kepemimpinan Muhammad dalam politik.

Muhammad sempat tinggal beberapa lama di Khaibar. Ia bahkan nyaris meninggal lantaran diracun. Diriwayatkan bahwa Zainab binti Harith menaruh dendam pada Muhammad. Sallam, suaminya, tewas dalam pertempuran Khaibar. Zainab lalu mengirim sepotong daging domba untuk Muhammad. Rasulullah sempat mengigit sedikit daging tersebut, namun segera memuntahkannya setelah merasa ada hal yang ganjil. Tidak demikian halnya dengan sahabat Rasul, Bisyri bin Bara. Ia meninggal lantaran memakan daging tersebut.

Khaibar telah ditaklukkan. Rombongan pasukan Rasulullah kembali ke Madinah melalui Wadil Qura, wilayah yang dikuasi kelompok Yahudi lainnya. Pasukan Yahudi setempat mencegat rombongan tersebut. Sebagaimana di Khaibar, mereka kemudian ditaklukkan pula. Sedangkan Yahudi Taima’ malah mengulurkan tawaran damai tanpa melalui peperangan.

Dengan penaklukan tersebut, Islam di Madinah telah menjadi kekuatan utama di jazirah Arab. Ketenangan masyarakat semakin terwujud. Dengan demikian, Muhammad dapat lebih berkonsentrasi dalam dakwah membangun moralitas masyarakat.n

 

Perjalanan Malam ke Baitul Maqdis

Muhammad terus berdakwah. Khadijah dengan sabar terus mendorong suaminya itu sampai harta keluarga mereka habis. Tekanan semakin keras. Selama tiga tahun kaum Qurais mengucilkan orang-orang Islam. Mereka hanya dapat tinggal di celah-celah batu pebukitan dengan bergantung makan pada rumput-rumput kering.

Seorang Qurais, Hisyam bin Amir bersimpati pada keadaan orang-orang Islam itu. Ia menghubungi Zuhair dari Bani Makhzum, Muth’im dan Bani Naufal serta Abu Bakhtari dan Zam’a dari Bani Asad untuk menghentikan pengucilan itu. Ia ingatkan betapa buruk kelaparan yang diderita Muhammad dan pengikutnya, sedangkan saudara-saudara lainnya hidup berkelimpahan.

Mereka lalu datang ke Ka’bah. Di dinding Ka’bah dicantumkan piagam pengucilan itu. Pengucilan tidak berlaku lagi bila piagam tersebut dirobek. Setelah mengelilingi Ka’bah tujuh kali, Hisyam mengumumkan rencana perobekan piagam. Abu Jahal menentangnya. Namun sebagian besar orang Qurais mendukung Hisyam. Ketika Hisyam hendak merobek piagam itu -demikian menurut riwayat-rayap telah menggerogoti piagam itu hingga tinggal bagian atasnya yang bertulis “Atas nama-Mu ya Allah”.

Kaum Qurais sebenarnya tidak menolak menyembah Allah Sang Pencipta. Mereka hanya ingin dibolehkan untuk tetap juga menyembah berhala serta melaksanakan tradisi yang banyak diwarnai maksiat. Maka, persis setelah penghapusan piagam itu, mereka mengajak Muhammad berkompromi. Suatu malam, dalam pertemuan sampai pagi, mereka telah menyebut Muhammad sebagai “pemimpin kami”. Mereka hanya minta sedikit kelonggaran menjalani kehidupan lamanya.

Sekali lagi, Muhammad adalah manusia. Dalam keadaan yang sangat lemah baik fisik maupun psikis, ia nyaris menerima kompromi itu. Setidaknya itu yang diungkapkan penulis Hayat Muhammad, Muhammad Husain Haikal, yang mengutip hadis dari Said bin Jubair dan Qatada. Sebagaimana saat mengabaikan Ibnu Ummu Maktum, kali ini Muhammad ditegur Allah kembali. Yakni melalui ayat Quran Surat 17(Al-Isra):73-75). Namun hadis Ata’ dari Ibn Abbas menyebut bahwa konteks turunnya ayat ini adalah peristiwa saat Muhammad bimbang atas permintaan orang-orang Thaqif. Mereka bersedia memeluk Islam asal daerahnya dinyatakan sebagai tanah suci seperti Mekah.

Tak lama setelah peristiwa itu, Muhammad mengalami musibah besar. Abu Thalib -paman yang telah memeliharanya sejak kecil serta terus melindunginya sebagai rasul-wafat. Hanya beberapa bulan kemudian, Khadijah yang menjadi sandaran hati Muhammad -orang yang paling setia menghibur dan menemani di masa yang paling sulit sekalipun-menyusul wafat. Muhammad sangat berduka. Sedangkan orang-orang Qurais makin gencar mengganggunya.

Muhammad lalu pergi Ta’if, menjajaki sekiranya masyarakat di daerah pertanian subur itu bersedia mendengar seruannya. Seorang diri ia pergi ke sana. Namun yang ditemui hanyalah sorak sorai hinaan serta lemparan. Dengan sedih Muhammad menghindar dari mereka dan berlindung di kebun anggur milik dua saudara ‘Uthba dan Syaiba anak Rabi’a. Di sanalah Muhammad memanjatkan doa kepiluannya. Hanya dengan Adas -seorang Nasrani budak Uthba’ yang memberikan anggur padanya-Muhammad sempat berbincang. Kabarnya, Adas sempat heran bagaimana Muhammad mengenal nama (Nabi) Yunus anak Matta.

Muhammad kemudian menikahi Aisyah, putri Abu Bakar, yang kala itu baru berusia tujuh tahun. Dalam kultur Arab, perkawinan adalah salah satu tradisi untuk mempererat persahabatan. Aisyah tetap tinggal di rumah ayahnya dan tidak digauli Muhammad sampai beberapa tahun kemudian. Muhammad juga menikahi janda miskin Sauda. Suami terdahulu Sauda adalah seorang yang ikut hijrah ke Habsyi, lalu meninggal di Mekah. Dua perkawinan ini, juga yang lain, cukup menjelaskan latar belakang pernikahan-pernikahan Muhammad setelah Khadijah wafat.

Sekitar tahun 621 Masehi, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj. Muhammad tengah menginap di rumah keluarga sepupunya, Hindun binti Abu Thalib. Menurut Hindun, malam hari selesai salat terakhir, semua anggota keluarga tidur. Demikian pula Muhammad. Pagi harinya, mereka salat bersama. Usai salat itulah Muhammad berkata: “Ummi Hani (panggilan Hindun), saya salat akhir malam bersama kalian seperti yang kalian lihat di sini. Lalu saya ke Baitul Maqdis (Yerusalem) dan salat di sana, sekarang saya salat siang bersama-sama seperti yang kalian lihat.”

Hindun minta Muhammad untuk tidak menceritakan kisah tersebut karena akan mengundang kegemparan. “Tapi saya harus ceritakan (ini) pada mereka,” kata Muhammad. Allah pun menegaskan peristiwa itu dalam Surat 17 (Al-Isra): 1.

Kegemparan pun terjadi. Sangat banyak kisah yang beredar mengenai peristiwa tersebut, baik dongeng sama sekali tanpa dasar maupun kisah yang berdasar. Di antara kisah tersebut adalah mitos ‘Buraq’ yang disebut kuda pirang dengan rumbai emas dan mutiara dan bersayap gemerlapan, Juga mengenai kesaksian Muhammad terhadap berbagai jenis siksaan di akhirat; pertemuannya dengan para Nabi terdahulu, serta tawar-menawar antara Muhammad dengan Allah sehingga salat yang diwajibkan hanya 5 kali, bukan 50 kali, dalam sehari. Allah Maha Tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Yang menjadi perdebatan serius adalah bagaimana Muhammad dapat menempuh jarak Mekah-Yerusalem hanya sekejap? Juga apakah yang melakukan perjalanan itu ruh Muhammad saja atau juga termasuk jasadnya. Pertanyaan yang wajar untuk tingkat pengetahuan masyarakat pada masa itu. Kini, teori Einstein dapat menjelaskan kebingunan tersebut. Dari Teori Relativitas dapat dijelaskan bahwa zat (termasuk tubuh manusia) akan berubah wujud menjadi enerji bila dibawa oleh enerji (termasuk malaikat). Sedangkan enerji dapat bergerak pada kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya, sekitar 300 ribu km per detik, sehingga jarak Mekah – Yerusalem dapat ditempuh dalam sekejap mata. Serupa dengan pemindahan singgasana Ratu Bilqis di masa Sulaiman.

Muhammad saat itu berusia 51 tahun. Perjalanan ke Baitul Maqdis serta Sidratul Muntaha itu kian mengobarkan semangat perjuangannya untuk menyeru seluruh umat manusia ke Jalan Allah. Apalagi, ia telah melihat sinar terang bagi Islam telah mulai terlihat di Yatsrib.n

 

Perjanjian Hudaibiya

Sudah enam tahun Muhammad hijrah. Masa-masa yang sangat sulit telah terlampaui. Kini tibalah bulan suci. Pada masa-masa seperti itu, masyarakat Arab dari berbagai pelosok, umumnya berdatangan untuk berziarah ke ka’bah. Sudah menjadi kesepakatan, kaum Qurais di Mekah harus menerima siapapun yang akan berkunjung. Seluruh perselisihan pada bulan haji itu harus dihentikan. Menumpahkan darah, dengan alasan apapun, diharamkan.

Perasaan rindu pada ka’bah mulai mengusik hati Muhammad dan orang-orang Islam. Ke sanalah setiap hari mereka menghadapkan wajah untuk bersujud pada Allah Sang Pencipta. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan kerinduan itu. Maka, Muhammad pun mengumumkan rencananya untuk pergi ke Mekah berziarah ke ka’bah.

Sekitar seribu empat ratus orang menemani Sang Rasul menempuh perjalanan itu. Mereka tidak membawa baju zirah atau perlengkapan perang apapun. Mereka mengenakan baju ihram putih, dan hanya membawa pedang bersarung -perlengkapan dasar orang Arab waktu itu setiap bepergian. Rasul juga membawa 70 unta korban. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada Maret, 628 Masehi.

Perjalanan berlangsung lancar hingga mendekati Mekah. Di Hudaibiya, unta Muhammad yang diberinya nama Al-Qashwa, pun berhenti dan berlutut. Muhammad memutuskan rombongan untuk beristirahat di situ. Pihak Qurais yang telah mendengar kabar perjalanan tersebut menjadi bingung bukan kepalang. Menyerang rombongan Muhammad berarti melanggar kesepakatan adat. Hal demikian akan membuat Qurais dimusuhi oleh semua golongan Arab. Apalagi mereka tahu, Muhammad datang untuk menunaikan ibadah dan bukan berperang. Namun mereka juga khawatir bila Muhammad tiba-tiba menyerang Mekah.

Qurais pun menyiapkan pasukan tempur di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir. Khalid adalah petempur muda yang sangat disegani kawan maupun lawan. Karena kecerdikannya, umat Islam mengalami kekalahan di Perang Uhud. Selain itu, mereka juga mengirim utusan menemui Muhammad untuk mengetahui maksud sebenarnya rombongan tersebut. Sebaliknya, Muhammad juga mengirim Usman bin Affan untuk menemui Abu Sofyan di Mekah. Usman menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah ke ka’bah, lalu kembali ke Madinah.

Suasana sempat tegang ketika Usman tak kunjung kembali. Kaum muslimin sampai perlu membuat ikrar Rizwan -siap mati bersama untuk menyelamatkan Usman. Syukurlah, itu tak terjadi. Abu Sofyan lalu mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Muhammad.

Perundingan dilakukan. Suhail tampak keras untuk memaksakan pendapatnya mengenai isi kesepakatan. Bahkan ia mengedit kalimat demi kalimat yang disusun pihak Muslim. Misalnya terhadap penulisan “Bismillahir-Rahmanir-Rahim” (Dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang) di awal perjanjian. Suhail memaksakannya mengubah menjadi “Bismikallahumma” (Dengan nama-Mu ya Allah). Ia juga menolak pemakaian istilah “Muhammad Rasululllah” dan menggantinya dengan “Muhammad bin Abdullah.”

Demikian pula tentang isi perjanjian. Di antaranya adalah bahwa saat itu umat Islam harus kembali ke Madinah. Mereka diizinkan untuk berziarah pada tahun depan. Selain itu, jika akan orang-orang Mekah lari ke Madinah (untuk masuk Islam), pihak Muhammad harus menolaknya sehinga yang bersangkutan kembali ke Mekah. Sebaliknya, bila ada orang Madinah yang lari untuk bergabung dengan Qurais di Mekah, orang-orang Qurais tidak berkewajiban mengembalikannya. Perjanjian tersebut mengikat seluruh warga Mekah dan Madinah. Juga mengikat Bani Bakar yang berpihak pada kubu Mekah, serta Bani Khuza’a yang berpihak pada kubu Madinah.

Muhammad tampak mengalah dalam perjanjian itu. Hal demikian membuat gusar kaum muslimin lainnya. Umar yang paling tidak sabar. Ia menemui Abu Bakar. “Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah. Bukankah kita ini Muslimin? Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”. Umar bahkan menyampaikan itu langsung pada Muhammad. Muhammad dengan sabar mendengarkan Umar. Namun ia kemudian menutup pembicaraan dengan kalimat: “Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya.” Rombongan kemudian kembali Madinah. Muhammad memang mengalah dalam perjanjian Hudaibiya itu. Tapi sebenarnya, ia baru memperoleh kemenangan besar. Untuk pertama kalinya kaum Qurais mengakui keberadaan Islam secara resmi, dan mereka juga tak dapat lagi menolak umat Islam untuk berkunjung ke ka’bah tahun depannya. Muhammad telah mengalihkan bentuk perjuangannya dari perjuangan bersenjata ke perjuangan politik.n

 

Persitiwa Khandaq (6 Hijriah)

Salman berasal dari Parsi atau Iran sekarang. Ia tidak puas dengan agama Majusi (menyembah bintang) yang dianut masyarakatnya. Ia lalu berkelana. Salman sempat mengikuti pendeta Nasrani di daerah Palestina sebelum kemudian tertipu dan dijual sebagai seorang budak. Namun kemudian ia menjadi seorang Muslim merdeka di Madinah.

Kabar rencana Qurais menyerbu Madinah telah berhembus kencang. Salman mendengar pula kabar itu. Ia tahu, saudara-saudaranya sesama Muslim di Madinah merasa gentar dengan kabar tersebut. Bayang-bayang kekalahan di Perang Uhud belum lagi sirna. Apalagi kini Qurais tidak sendirian. Mereka dibantu oleh puak-puak Arab dari Ghatafan, serta jaringan intelijen Yahudi. Pasukan musuh diperkirakan mencapai jumlah 10 ribu orang.

Di saat Muslim berkecil hati itu, Salman melontarkan gagasan untuk menggali parit di dataran pintu masuk Madinah. Itu strategi perang yang sama sekali belum dikenal masyarakat Arab. Rasul menyetujui gagasan itu. Maka, siang malam seluruh warga Madinah -termasuk Rasulullah maupun warga Yahudi-bekerja keras menggali parit tersebut.

Selama enam hari, parit tersebut diselesaikan. Rumah-rumah di sisi parit dikosongkan. Para perempuan dan anak-anak diungsikan ke belakang. Batu-batu ditumpuk untuk senjata melawan musuh yang nekat melompati parit itu. Dengan demikian posisi Muslim di Madinah cukup aman. Di sebelah kanan terlindung gunung batu yang terjal, di depan terdapat parit besar yang akan membuat terperosok pasukan berkuda apalagi unta, di kiri terdapat bukit Sal. Di bukit inilah Muhammad bermarkas yang ditandai dengan keberadaan tenda merah miliknya.

Musuh sebenarnya bisa masuk dari dataran di belakang. Tapi itu tak mungkin dilakukan. Di sana adalah pemukiman Yahudi Quraiza yang terikat perjanjian dengan Muhammad. Masyarakat Yahudi ini bertugas untuk mengatur kebutuhan makan bagi pasukan Muslim di garis depan.

Segera pasukan musuh yang dikomandani Abu Sofyan tiba di Uhud. Mereka terkejut karena tak melihat satupun pasukan Muslim. Lebih terkejut lagi saat mereka melihat parit perlindungan di pintu masuk Madinah. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain mengepung Madinah, dan membuat warga kota itu kelaparan. Namun yang demikian juga sulit dilakukan karena persediaan makanan di Madinah cukup untuk waktu yang relatif lama. Apalagi saat itu musim dingin.

Sudah berhari-hari mereka mengepung. Tak ada perkembangan berarti. Ka’ab bin Akhtab –Yahudi penyusun rencana perang itu-lalu membujuk dua pihak. Yakni agar Qurais dan Ghatafan untuk tidak pulang. Ia minta waktu 10 hari lagi buat meyakinkan Yahudi Quraiza agar mengkhianati perjanjiannya dengan Muslimin. Warga Quraiza sempat ragu. Namun mereka pun memanfaatkan kesempatan. Yakni menuntut Muhammad agar memanggil kembali Yahudi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir yang telah diusir dari Madinah. Yahudi Quraiza bahkan menghentikan pasokan makanan pada kaum muslimin.

Orang-orang Islam mulai menderita dengan sangat. Kelaparan di garis depan perang pada saat musim dingin membuat pasukan muslim berjatuhan sakit. Beberapa orang bahkan meninggal karena itu. Dua sahabat Rasul, Hasan bin Tsabit dan Shafia binti Abdul Muthalib telah memergoki Yahudi yang memata-matai posisi pasukan Muslim untuk dibocorkan pada musuh. Beberapa orang tentara lawan juga telah menerobos parit, di antaranya Amir anak Abdul Wudud, Ikrima anak Abu Jahal serta Dzirar bin Khattab. Untunglah Ali berhasil mematahkan perlawanan mereka.

Muhammad menugasi dua pemimpin Muslim asli Madinah (Anshar) untuk menemui para pemimpin Quraiza agar menghentikan pengkhiatannya tersebut. Mereka adalah Sa’ad bin Mu’adz dari Bani Aus serta Sa’ad bin Ubadha dari Khazraj. Namun Yahudi Quraiza menampik keinginan itu. Mereka akan terus memboikot sampai tuntutannya dipenuhi.

Keadaan umat Islam semakin parah. Muhammad lalu berdiri di bukit Sal dan berdoa praktis tanpa henti. Bahkan di saat udara sangat dingin menjelang dinihari menusuk-nusuk tulangnya. Menurut riwayat, pada hari ketiga -di saat kondisi Rasul itu sudah sangat menurun-tiba-tiba muncul badai dingin yang luar biasa. Masyarakat Muslim dapat berlindung di pemukimannya sendiri. Kaum Qurais dan kelompok-kelompok dari Ghatafan -yang dalam Quran disebut “Al-Ahzab”-yang berada di tempat terbuka menjadi sasaran badai itu. Pasukan itu hancur sama sekali.

Masing-masing orang bersusah payah menyelamatkan diri. Usai peristiwa Khandaq, Muhammad menugaskan pasukan Muslim untuk mengepung Yahudi Quraiza atas pengkhiatannya. Setelah beberapa hari, Quraiza menyerah. Mereka minta agar hukuman yang dijatuhkan adalah pengusiran dari Madinah, sama dengan hukuman bagi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir terdahulu.

Rasul mengatakan bahwa hukuman akan dijatuhkan oleh seorang hakim. Ia berjanji tidak akan intervensi atau campur tangan. Orang-orang Quraiza berhak memilih sendiri hakim tersebut. Saat itu pula, mereka memilih Sa’ad bin Mu’adz. Pemimpin suku Aus yang sempat ditugasi Muhammad untuk bernegosiasi dengan Quraiza itu sehari-hari memang cukup dekat dengan kalangan Yahudi. Namun, tanpa diduga oleh semua, Sa’ad justru menjatuhkan hukuman mati bagi semua laki-laki kelompok pengkhianat tersebut. Eksekusi pun dilakukan. Para perempuan dan anak-anak dari keluarga Yahudi Quraiza itu lalu menjadi tanggungan umat Islam.

Sejak saat itu, Madinah aman tenteram. Rasulullah lalu berkonsentrasi untuk membangun peradaban masyarakat. Sebuah peradaban yang menjadi model dasar bagi konsep “civil society” (masyarakat Madani) kini.n

 

Provokasi Yahudi

Rona muka Muhammad memerah. Ia tak menyangka bahwa pengikutnya begitu pengecut. Kaum Qurais telah mengirimkan tantangan untuk bertempur di Badar kembali. Nua’im bin Mas’ud -kurir Qurais-bahkan mengabarkan hal yang menakutkan. Katanya, pihak Mekah telah menyiapkan pasukan dengan kekuatan yang tak akan terbayangkan warga Madinah.

Muhammad mengajak warganya kembali mengangkat senjata. Namun mereka cuma terdiam. Melihat itu, Rasul pun bersumpah akan tetap pergi ke Badar, meskipun seorang diri. Baru setelah itu, satu per satu mereka membulatkan tekad: siap menghadapi Qurais. Muhammad menyerahkan kepemimpinan Madinah pada Abdullah -anak tokoh oportunis Abdullah bin Ubay. Ia memimpin pasukannya ke Badar.

Di pihak Qurais, Abu Sofyan juga telah meninggalkan Mekah. Dua ribu pasukan ikut bersamanya. Namun, setelah dua hari perjalanan, Abu Sofyan membatalkan niatnya. Ia membawa pasukannya pulang ke Mekah. Pasukan Muhammad menunggu selama delapan hari sebelum kembali ke Madinah.

Perang telah terhindarkan. Namun, sebelum peristiwa itu, berbagai hal besar telah terjadi di kalangan muslim. Kehancuran dalam Tragedi Uhud telah meruntuhkan wibawa masyarakat Islam di Madinah. Musuh, yang semula sempat takut, kini bangkit mengincar kaum Muslim. Dua kakak beradik anak Khuailid, Tulaiha dan Salama, mulai memobilisasi Bani Asad untuk menggempur Muhammad.

Sebanyak 150 pasukan gerak cepat pimpinan Abu Salama bin Abdul Asad bergerak secara rahasia menggempur musuh di sarangnya. Kekuatan Bani Asad hancur total. Setelah itu, Khalid bin Sufyan di Nakhla hendak berbuat serupa. Dia mulai mengorganisasikan pasukan. Upaya Khalid terhenti setelah dia dibunuh Abdullah bin Unais di rumahnya sendiri.

Berbagai siasat lalu dirancang untuk melawan Muhammad. Misalnya yang dilakukan masyarakat Hudhail. Mereka minta Muhammad agar mengirim utusan untuk mengajarkan Islam. Muhammad menugasi enam orang. Empat orang utusan Rasul itu dibantai di tengah jalan. Dua orang lainnya, Zaid dan Khubaib dijual pada orang Qurais untuk balas dendam.

Zaid sempat ditawari untuk dibebaskan asalkan bersedia membunuh Muhammad. Ia menggeleng, lalu kepalanya dipenggal sebagai balasan atas kematian Umaya bin Khalaf di Perang Badar. Khubaib sempat minta waktu untuk salat dua rakaat sebelum disalib.

Muhammad sangat berduka. Apalagi kemudian 38 dari 40 orang pilihannya untuk berdakwah ke Najd dibantai di Bi’ir Sauna, pada 625 Masehi. Mereka ditugasi atas undangan untuk berdakwah, dan di bawah perlindungan seorang terkemuka, Abu Bara’. Kini mereka tewas. Yang selamat, Amr bin Ummaya juga mengalami masalah karena ia keliru membunuh dua orang yang disangkanya adalah musuh.

Muhammad minta bantuan Yahudi Bani Nadzir yang terikat perjanjian dengan Islam untuk menyelesaikan salah bunuh itu. Namun beberapa orang Banu Nadzir malah berkomplot untuk membunuh Muhammad. Atas provokasi Abdullah bin Ubay serta Huyay, Yahudi itu melawan. Pertempuran sempat terjadi selama 12 hari. Sebagaimana Bani Qainuqa terdahulu, Bani Nadzir pun kemudian diusir dari Madinah.

Tantangan paling serius muncul dari Ghatafan, terutama dari Bani Muharib dan Tha’laba. Muhammad dengan 400 pasukannya menyerbu mendadak. Musuh yang belum siap, melarikan diri. Dua pekan ekspedisi tersebut dilakukan. Saat itulah Muhammad memberi contoh pelaksanaan salat Khauf atau salat dalam peperangan. Sebagian terus bersujud sebagaimana biasa, sebagian lain berjaga-jaga menghadap arah musuh. Demikian dilakukan secara bergantian.

Muhammad juga membawa pasukan ekspedisi ke wilayah Utara, yakni ke daerah oase Dumat Jandal di dekat perbatasan dengan Yordania dan Irak sekarang. Tak terjadi pertempuran apapun dalam ekspedisi ini.

Namun diam-diam musuh mulai mengorganisasikan diri. Kaum Yahudi, terutama yang tekah terusir dari Madinah, telah melobi hampir seluruh kabilah Arab untuk bersatu melawan Muhammad. Selain orang-orang Qurais Mekah, Bani Qais, Ailan, Fazara, Asyja, Sulaim, Sa’ad serta Asad telah mengumpulkan kekuatan untuk bersama-sama menggempur Madinah.n

 

Secercah Sinar di Aqabah

Muhammad memiliki darah Yatsrib. Kakeknya, Abdul Muthalib, adalah putra perempuan Khazraj paling disegani, Salma. Di saat Muhammad dimusuhi masyarakatnya sendiri di Mekah, orang-orang Yatsrib tengah mencari figur pemimpin yang dapat menyatukan mereka. Muhammad adalah figur yang memenuhi harapan itu.

Proses pencarian pemimpin itu berlatar pada kemelut yang menimpa bangsa Arab di Yatsrib, yang terbagi atas kabilah Khazraj dan Aus. Berbeda dengan masyarakat Mekah yang cenderung kasar dan berprofesi dari pedagang hingga perampok, orang-orang Yatsrib umumnya adalah petani yang santun dan lembut hati. Namun mereka baru mengalami tragedi memilukan, yakni pertempuran antara bani Khazraj dan Aus yang berpuncak pada insiden Buth’ah.

Pada mulanya, kedua kabilah itu hidup rukun. Mereka umumnya hanya pekerja kecil. Sedangkan perekonomian dan kehidupan sosial dikendalikan Yahudi. Namun Yahudi dihancurkan kerajaan Romawi, termasuk di Yatsrib. Romawi bahkan menggunakan orang-orang Aus dan Khazraj untuk menggusur posisi Yahudi. Orang-orang Yahudi tak ingin kehilangan kendali atas kota itu. Maka mereka memprovokasi kedua kabilah tersebut sehingga perang.

Aus sempat kalah melawan Khazraj. Mereka melarikan diri ke arah Najd hingga Abu Usaid Hudzair berbalik arah dan bertekad untuk memerangi Khazraj sampai mati. Orang-orang Aus terbakar oleh semangat Abu Usaid. Mereka ganti menyerbu Khazraj. Kebun-kebun kurma dan rumah-rumah mereka bakar habis. Abu Usaid keluar masuk rumah demi rumah untuk membunuh setiap penghuninya. Abu Qais datang mencegahnya dengan mengatakan bahwa “Bertetangga dengan mereka (Khazraj) lebih baik dari bertetangga dengan rubah (Yahudi).”

Pertikaian hanya akan membuat kerusakan bersama. Itu keyakinan mereka. Kedua kabilah itu lalu bertekad membangun kehidupan baru. Beberapa orang Yatsrib telah mengenal Muhammad saat mereka berziarah, serta saat mencari persekutuan dengan Mekah. Seorang pemuda Yatsrib, Iyas bin Mu’adh, bahkan telah masuk Islam. Di saat masyarakatnya berembug mencari pemimpin itu, pemuka Yatsrib yang tengah berziarah ke Mekah bertemu dengan Muhammad. Ia, Suwaid bin Shamit, malah masuk Islam setelah Muhammad memperdengarkan ayat-ayat Quran.

Pada musim ziarah di bulan suci tahun berikutnya, 12 orang utusan warga Yatsrib pun menemui Muhammad. Mereka bertemu di bukit Aqaba pada hari Tasriq -hari setelah Idul Adha- setelah menempuh perjalanan secara sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian berikrar yang disebut sebagai ikrar Aqaba pertama.

Isi ikrar itu adalah pernyataan untuk hanya menyembah Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah baik di depan maupun belakang, tidak menolak berbuat baik. Siapa yang mematuhi semua itu akan memperoleh pahala surga, jika ada yang menyalahinya maka persoalannya diserahkan pada Tuhan. Tuhan berkuasa untuk menyiksa serta berkuasa mengampuni segala dosa.

Muhammad kemudian menugasi Mushab bin Umair ikut bersama mereka ke Yatsrib. Ia bertugas mengajarkan Islam pada warga kota itu. Mushab pula yang melaporkan pada Muhammad kesungguhan orang-orang Yatsrib untuk memeluk Islam.

Pada 622 Masehi, rombongan kedua warga Yatsrib tiba menemui Muhammad. Mereka sebanyak 73 orang laki-laki dan dua perempuan. Setelah saling mengucap janji setia, Muhammad meminta mereka memilih 12 wakil. Dua belas orang itu yang mengucap ikrar di tengah gelap malam di celah bukit Aqaba. Sebelum ikrar, warga Yatsrib sempat minta Muhammad agar mengingatkan Bara’ bin Ma’rur yang dalam salatnya selalu menghadap ke Mekah, agar mengalihkannya ke arah Baitul Maqdis sebagaimana Muhammad dan yang lain.

Pertemuan Aqaba itu bocor ke telinga orang-orang Qurais. Mereka segera pergi ke sana. Namun orang-orang telah pergi, kecuali Saad bin Ubada yang masih berada di Aqaba. Saad kemudian dibawa ke Mekah dan disiksa. Ia diselamatkan Jubair bin Mut’im yang pernah ditolongnya dalam perjalanan ke Syam.

Persekutuan telah diikat. Muhammad telah membuat langkah strategis: bersumpah setia dengan warga Yatsrib. Jika terjadi sesuatu pada Muhammad, kini bukan saja keluarga Hasyim yang akan membela. Orang-orang Yatsrib yang juga mempunyai ikatan darah dengan Muhammad akan pula bertindak. Apalagi orang-orang Yatsrib itu telah memeluk Islam.

Nilai strategis langkah Muhammad semakin nampak bila melihat posisi Yatsrib yang berada di jalur perdagangan Mekah dengan Syam. Orang-orang Qurais akan kesulitan untuk berdagang ke Syam jika bermusuhan dengan warga Yatsrib. Keadaan demikian semakin membuat gusar orang-orang Qurais.

Mereka lalu merancang siasat. Dalam pertemuan di Darun Nadwa, mereka bersepakat. Para pemuda dari setiap kabilah akan ditugasi membunuh Muhammad secara bersama untuk kemudian berpencar. Dengan demikian kesalahan tidak dapat ditimpakan pada salah satu kabilah. Setelah itu, mereka secara bersama akan membayar kematian itu dengan tebusan unta.

Bau amis darah semakin kuat tercium. Namun Muhammad tampak tenang-tenang saja. “Jangan tergesa-gesa,” kata Muhammad ketika Abu Bakar minta izin untuk hijrah ke Yatsrib.

 

Siksaan Demi Siksaan

Abu Thalib enggan menyerahkan Muhammad. Ketegangan di Mekah pun kian sengit. Saad bin Abu Waqas telah dipukuli Abu Jahal dan kawan-kawan. Bilal telah dipaksa oleh tuannya, Umayah, untuk meninggalkan Islam. Ia dicambuki dan diikat telentang di tengah terik padang pasir dengan batu besar menindih perut dan dadanya.

“Ahad…ahad, (Yang Esa..Yang Esa),” desis Bilal yang enggan menyerah, sampai kemudian Abu Bakar datang membeli dan membebaskannya. Abu Bakar juga menyelamatkan budak perempuan Umar bin Khattab. Umar saat itu masih memusuhi Islam.

Muhammad tak luput dari gangguan. Abu Jahal melemparinya dengan isi perut kambing yang baru disembelih. Istri Abu Jahal, ikut melemparkan kotoran binatang ke depan rumah Muhammad. Abu Jahal terus memaki-maki dan mengganggu Muhammad. Ini didengar oleh Hamzah -paman yang juga saudara susu Muhammad. Sepulang dari berburu, ia segera menemui Abu Jahal yang berada di Ka’bah dan menghantamkan busurnya. Hamzah kemudian menemui Muhammad dan menyatakan masuk Islam. Keberadaan Hamzah -yang secara fisik dianggap jagoan-membuat gentar musuh-musuh Muhammad.

Kaum Qurais lalu minta Uthba bin Rabi’ah , seorang yang disegani di sana, membujuk Muhammad. Ia menawarkan apapun yang Muhammad hendak minta asalkan bersedia kembali pada tradisi. Muhammad menyambut Uthba’ dengan membacakan surat As-Sajadah (Surat 32). Bacaan yang justru membuat Uthba’ terpesona.

Gangguan terhadap pengikut Muhammad kian mengeras. Bahkan ada yang disiksa sampai meninggal meskipun tak ada riwayat yang menyebut pasti nama mereka yang telah mati syahid. Untuk melindungi pengikutnya, Muhammad menyarankan sebagian mereka pindah ke Habsyi -Mesir. Raja Najasyi (Negus) dikenal sebagai seorang Nasrani yang bijak. Sebelas laki-laki dan empat perempuan berangkat dengan berpencar. Menyangka keadaan telah aman, mereka pun pulang. Namun tekanan yang tak kunjung henti, membuat kaum muslimin kembali Hijrah ke Habsyi. Pada gelombang kedua ini, sebanyak 80 laki-laki -tanpa perempuan dan anak-anak-yang berhijrah. Mereka terus tinggal di sana sampai Muhammad hijrah ke Yatsrib atau Madinah.

Kaum Qurais Mekah mengutus Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabia menemui Raja Najasyi. Keduanya minta agar pendatang dari Mekah itu diusir. Sebelum mengambil keputusan, raja meminta orang-orang Islam menjelaskan sikapnya. Dengan penjelasan yang sangat baik, Ja’far bin Abu Thalib berhasil meyakinkan pandangannya. Ja’far juga mengutip ayat-ayat Surat Maryam yang membuat Raja Najasyi semakin percaya pada mereka. Ia berjanji akan tetap melindungi orang-orang Islam. “Antara agama Anda dan agama kami tidak lebih dari garis ini,” kata Najasyi sambil menggoreskan tongkat di tanah.

Di Mekah satu peristiwa terjadi. Muhammad, Hamzah, Abu Bakar, Ali dan beberapa sahabat tengah berkumpul di rumah Arqam, dekat bukit Shafa. Umar bin Khattab -seorang temperamental dan tukang berkelahi di lingkungan Qurais- menuju ke sana. Ia menghunus pedang dan mengaku hendak membunuh Muhammad. Nu’aim bin Abdullah yang berpapasan dengan Umar mengatakan bahwa Bani Abdul Manaf akan menuntut balas bila Muhammad sampai tewas. Mengapa Umar tak mengurus keluarganya sendiri? Ketika itu, Fatimah adik Umar beserta suaminya, Said bin Zaid telah masuk Islam.

Umar lalu berbalik, dan menerjang rumah Fatimah. Ia memukul muka Said hingga berdarah. Sedangkan Fatimah tengah membaca Quran. Namun timbul rasa ibanya pada Said. Ayat-ayat Quran yang dibaca Fatimah menyentuh hatinya. Maka Umar bergegas menemui Muhammad dan mengucap “syahadat”. Sejak itu, Umar bersama Hamzah menjadi pilar yang melindungi Muhammad dari musuh-musuhnya.

Muhammad terus berdakwah. Ia sering terlihat berdiskusi dengan Jabir, seorang budak Nasrani, di Marwa. Ia dituding menyebarkan ajaran yang dibawa Jabir. Atau sebagai seorang ahli retorika dan pendongeng yang lihai memukau pendengarnya. Orang-orang Qurais mencoba mengimbanginya melalui Nadzer bin Harith. Hal demikian menimbulkan rasa penasaran Tufail ad-Dausi -seorang intelektual setempat-untuk membuntuti Muhammad. Ujungnya, ia masuk Islam. Tufail tahu syair atau gubahan terbaik manusia. Ayat-ayat Quran bukan seperti itu.

Sebenarnya banyak pemuka Qurais yang tertarik mendengar ajaran yang disampaikan Muhammad. Abu Sufyan, Abu Jahal dan Akhnas bin Syariq pernah dipergoki diam-diam mendengarkan Muhammad membaca ayat-ayat Quran. Namun mereka merasa kehilangan harga diri bila mengikuti seruan Muhammad. Muhammad pun mencoba merangkul para pemuka Qurais. Di antaranya adalah dengan mendekati Walid bin Mughirah. Pada saat berbicara dengan Walid itulah terbukti bahwa Muhammad juga seorang manusia biasa seperti kita: dapat berbuat keliru.

Saat itu, seorang tuna netra Ibnu Ummu Maktum menemuinya untuk bertanya soal Islam. Muhammad yang tengah sibuk bicara dengan Walid mengabaikannya. Allah pun menegur perilaku Muhammad itu dengan Surat Abasa: “Ia masam dan membuang muka. Ketika seorang buta mendatanginya …..” Allah mengingatkan bahwa Ibnu Ummu Maktum datang dengan lebih tulus. Sedangkan Walid -menurut riwayat-adalah orang yang iri mengapa Quran tidak turun pada pemuka masyarakat sepertinya.n

 

Surat Buat Para Raja

Semakin hari, keutamaan Islam semakin terlihat dengan nyata. Ajaran untuk menyembah Allah Sang Pencipta secara total -tidak dengan menduakannya pada yang lain-bukan sekadar mengharuskan manusia untuk bersujud sebagai ibadah ritual kepadanya. Lebih dari itu juga mendorong setiap pribadi untuk berperilaku baik. Islam juga merumuskan tatanan sosial yang sangat komplet dan menyeluruh.

Praktek orang-orang Arab “jahiliyah” telah ditinggalkan sama sekali pemeluk Islam. Berbohong, menipu, mencuri, merampok, membunuh (kecuali dalam perang), berjudi, “mengundi nasib”, berzina, dan banyak praktek lain telah sepenuhnya dijauhi. Minum ‘khamr’ atau alkohol kemudian juga diharamkan. Selain dengan menumbuhkan kesadaran masing-masing, Islam mengancam hukuman neraka bagi setiap pelaku dosa. Kecuali bila pelaku dosa itu bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Umat Islam diwajibkan untuk berkata benar, jujur, rendah hati serta santun pada sesama. Perilaku sabar, bersahaja, serta tekun selalu diharapkan dari setiap muslim. Bermegah-megahan diri, baik dalam bentuk kekayaan maupun kebanggaan keluarga, dilarang. Interaksi sosial, masalah lingkungan, pendidikan, ekonomi hingga politik dirumuskan secara rinci. Semua merupakan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial, kecukupan serta pemerataan ekonomi, hingga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Muhammad Rasulullah merasa bahwa pondasi tatanan keislaman tersebut telah cukup tertanam di masyarakat Madinah. Kini saatnya untuk menyebarkan ajaran tersebut keluar. Untuk itu, Muhammad berniat mengirim surat bagi para penguasa berisi ajakan memeluk Islam. Tak teriwayatkan siapa penulis surat itu. Besar kemungkinan diantara mereka adalah sekretaris Rasul, Zaid bin Tsabit. Zaid, yang juga salah satu pencatat wahyu Allah, diangkat menjadi sekretaris Rasul setelah ia diminta belajar bahasa Ibrani dan Syria. Ia menggantikan sekretaris terdahulu, seorang Yahudi yang bersama kabilahnya telah diusir keluar dari Madinah.

Surat pun disiapkan untuk dua raja besar yang tengah bermusuhan, yakni Kaisar Romawi Heraklius serta Raja Persia Kisra. Selain itu, Muhammad juga mengirim surat pada Raja Negus di Abisina atau Ethiophia sekarang; pada Gubernur Muqauqis di Mesir dan Gubernur Harith Al-Ghassani yang menguasai wilayah Palestina dan Syria; juga pada Gubernur Harith Al-Himyari di Yaman. Mesir, Palestina dan Syria saat itu tunduk di bawah kekuasaan Romawi, sedangkan Yaman di bawah kendali kerajaan Persia. Surat juga ditujukan untuk penguasa Yamama, Oman serta Bahrain.

Surat-surat itu dibuka dengan tulisan “Bismillahir-Rahmanir-Rahim” (Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang”, lalu dilanjutkan dengan kalimat “Dari Muhammad hamba Allah kepada …..” Surat kemudian ditutup dengan stempel dari cincin perak bertuliskan : “Muhammad Rasulullah.”

Duta-duta pengirim surat pun ditunjuk. Dihya bin Khalifa mendapat tugas untuk ke Romawi, Abdullah bin Hudhafa ke Persia, Amr bin Ummaya untuk Abisina, Hatib bin Abi Balta’a untuk Mesir, Amr bin Ash untuk Oman, Salit bin Amr untuk Yamama, Ala bin Hadrami untuk Bahrain, Syuja’ bin Wahab untuk Ghassan, serta Muhajir bin Ummaya untuk Yaman. Serentak mereka pun berangkat ke tujuan masing-masing.

Heraklius kabarnya menyambut baik utusan Muhammad tersebut. Ia bahkan membalas surat tersebut dengan kata-kata yang baik. Gubernur Ghassan sempat minta izin Heraklius untuk menghukum Muhammad yang dinilainya lancang. Namun Heraklius melarang. Melihat sikap baik tersebut, sebagian kalangan malah menyangka Heraklius telah menerima ajakan Muhammad untuk masuk Islam.

Sikap sebaliknya ditunjukkan oleh Kisra yang baru kalah perang melawan Romawi. Ia dikabarkan merobek-robek surat Muhammad. Ia bahkan mengirim surat pada Gubernur Yaman agar membunuh Muhammad dan mengirimkan kepalanya ke Persia. Namun Gubernur Yaman justru memenuhi seruan Muhammad untuk masuk Islam, dan membebaskan diri dari kekuasaan Persia.

Raja Negus di Abisina juga menyambut surat Muhammad. Banyak yang menyebut Negus telah menerima ajaran Islam. Penulis sejarah Muhammad Haekal meragukan itu. Sejak lama, raja ini melindungi orang-orang Islam dari kejaran Qurais. Kini ia memenuhi permintaan Muhammad agar membantu orang-orang muslim di Abisina untuk kembali ke jazirah Arab, dan menetap di Madinah. Negus menyiapkan dua buah kapal untuk mengangkut rombongan yang dipimpin Ja’far bin Abu Thalib menyeberangi Laut Merah.

Sikap sangat baik juga ditunjukkan oleh Muqauqis. Ia mengaku sangat percaya bahwa akan ada Rasul setelah Isa. Namun ia menduga bahwa rasul itu akan muncul di Syam. Muqauqis kemudian mengirim berbagai barang dari Mesir sebagai hadiah. Juga seekor bagal serta seekor keledai dengan corak warna yang sangat unik. Ikut serta dalam rombongan dari Mesir ini adalah dua orang putri, yakni Maria dan Sirin. Maria kemudian dinikahi Rasulullah dan memberinya putra yang diberi nama Ibrahim. Sebagaimana dua anak laki-laki Muhammad lainnya, Ibrahim juga meninggal sewaktu kecil.

Surat-surat Rasulullah tersebut semakin memperkuat posisi politik umat Islam yang berpusat di Madinah. Lebih penting lagi, Islam semakin luas berkumandang. Bukan semata di jazirah Arab, namun juga mulai terdengar di benua Afrika, Eropa serta Asia.n

 

Tahun-tahun Terakhir

Tak ada perang di Tabuk. Darah tidak ditumpahkan. Namun ekspedisi itu telah meninggalkan kesan mendalam di seluruh jazirah Arab. Keengganan Romawi untuk menghadapi tentara Muslim menjadikan pasukan Muhammad sebagai satu-satunya kekuatan nyata di jazirah itu. “Romawi telah mengalahkan Persia. Mereka telah merebut kembali Salib Besar dan membawanya balik ke Yerusalem. Tapi Romawi takut pada tentara Muhammad.” Demikian yang ada di benak kabilah-kabilah.

Maka, setelah ekspedisi Tabuk, kabilah demi kabilah berdatangan ke Madinah. Mereka menjumpai Muhammad buat mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikian juga tokoh-tokoh perorangan. Di antaranya adalah Urwa bin Mas’ud, tokoh masyarakat Thaqif. Ketika masyarakatnya bertempur di Hunain dan Ta’if melawan pasukan Rasul, Urwa sedang berada di Yaman. Ia menyesali sikap masyarakatnya yang menolak Islam. Maka, sepulang dari Yaman, Urwa segera menemui Rasul.

Usai itu, Urwa pamit untuk pulang ke Ta’if. Ia berjanji akan membawa masyarakatnya untuk mengikuti jalan Allah. Rasul sempat mengingatkan Urwa agar berhati-hati lantaran masyarakat Thaqif sangat fanatik pada berhala yang diberi nama Lath. Rasul benar. Urwa mengajak masyarakatnya untuk salat, namun mereka malah membalasnya dengan menghujani anak panah. Urwa wafat.

Menjelang menghembuskan nafas terakhirnya, Urwa sempat berkata: “Kehormatan telah diberikan Tuhan kepadaku, Kesaksian Tuhan telah dilimpahkan kepadaku. Yang kualami ini sama dengan yang dialami para syhada yang berjuang di samping Rasulullah saw sebelum meninggalkan kita.” Pembunuhan terhadap Urwa justru meresahkan masyarakatnya sendiri. Mereka menjadi merasa tidak aman. Hampir seluruh kabilah di sekeliling sekarang telah mengikuti seruan Muhammad. Enam orang pemuka Thaqif kemudian menemui Muhammad dengan sangat cemas. Mereka khawatir atas balasan pihak Islam. Namun tidak. Muhammad memperlakukan mereka dengan baik.

Namun Muhammad tetap bersikap tegas terhadap tawaran yang mereka ajukan. Muhammad menolak permintaan agar orang-orang Ta’if dibolehkan untuk tidak menghancurkan patung Lath. Juga agar mereka dibebaskan dari kewajiban salat. “Sungguh tidak ada kebaikan dalam agama bila tanpa salat,” kata Rasul. Satu-satunya permintaan yang dipenuhi hanyalah agar Lath dihancurkan oleh orang lain, dan bukan oleh tangan orang-orang Ta’if sendiri.

Abu Sufyan dan Mughira diminta Muhammad untuk melaksanakan tugas itu. Para pertempuan Thaqif menangis saat Lath dihancurkan. Seluruh perhiasan yang menempel pada Lath diambil, dipakai untuk membayar utang Urwa dan Aswad. Kini habislah kekuatan Arab yang memusuhi Islam.

Rasulullah terus bekerja untuk memantapkan keislaman masyarakat. Saat ibadah haji tiba, Rasul juga tidak berangkat ke Mekah. Ia justru menugasi Abu Bakar untuk memimpin 300 orang jamaah. Rombongan itu telah berangkat ketika Rasulullah minta Ali bin Abu Thalib pergi menyusul. Ketika seluruh jamaah, baik yang Islam maupun orang-orang yang masih jahiliyah yang datang dari seluruh penjuru jazirah Arab, berkumpul di Mina, Ali pun berdiri untuk pidato.

Dibacakannya ayat-ayat Qur’an surat At-Taubah, dari ayat 1 hingga 36. Pada prinsipnya, Ali menekankan empat hal. Pertama, seorang kafir tidak akan masuk surga. Kedua, setelah tahun itu “orang-orang musyrik” tidak dibolehkan menunaikan ibadah haji. Ketiga, tak boleh lagi melakukan tawaf dengan telanjang -sebuah praktek yang banyak terjadi sebelum masa Islam. Keempat, ikatan perjanjian dengan Rasulullah terus berlaku. Penegasan Rasul yang disampaikan Ali ini mengawali masa pengkhususan untuk memasuki Mekah -apalagi wilayah ka’bah-hanya untuk orang Islam.

Sementara itu, di Madinah, kabilah demi kabilah mengirimkan utusannya untuk menemui Muhammad. Tak pernah rasul menerima tamu sebanyak pada tahun-tahun terakhir. Utusan-utusan tersebut seluruhnya menyatakan bahwa kabilahnya telah menerima Islam sebagai agama yang utuh. Haekal menyebut bahwa Ibnu Sa’ad telah menulis masalah perutusan ini secara khusus dalam bukunya ‘At-tabakatul Kubra’. Begitu banyaknya utusan tersebut, sehingga Ibnu Sa’ad menghabiskan 50 halaman.

Namun, pada masa itu, Islam juga menghadapi tantangan baru. Yakni semakin banyaknya orang-orang munafik. Pada tahun-tahun itu, mencuat nama Musailama. Kemana-mana ia bahkan menyatakan diri sebagai Rasul. Ia mengarang syair-syair yang didakwakannya sebagai wahyu Tuhan. Di masa sekarang, apalagi abad-abad depan, Islam akan selalu berhadapan dengan Musailama-Musailama baru yang lebih lihai yang juga menyebut diri “membawa kebenaran” .n

 

Tragedi Uhud (5 Hijriah)

Muhammad terus bekerja keras untuk menata masyarakat. Kehidupan umat Islam di Madinah semakin baik. Setelah menang di Perang Badar, mereka makin disegani kabilah-kabilah Arab. Perdagangan maupun pertanian berjalan lancar. Rongrongan Yahudi, untuk sementara, telah diatasi. Hal itu memudahkan Rasul untuk menyeru masyarakat untuk berperilaku lebih baik. Seruan yang bergema sampai sekarang, bahkan masa mendatang.

Suasana damai tersebut bukan tanpa ancaman. Di Mekah, kaum Qurais menggalang kekuatan besar. Bagi mereka, kuatnya muslim adalah duri yang harus disingkirkan. Apalagi, Madinah berada di tengah jalur perdagangan Mekah-Syam. Maka, Abu Sofyan menggalang kekuatan 3000 orang, termasuk 100 orang asal Thaqif. Sekitar 700 orang diantarany mengenakan baju besi, dan 200 orang pasukan berkuda. Sebanyak 3000 unta mendukung serangan itu.

Muhammad dan masyarakat Muslim tak tahu rencana itu. Sampai kemudian Muhammad menerima surat dari pamannya yang masih kafir, Abbas bin Abdul Muthalib, yang membocorkan rencana tersebut. Orang dari Ghifar yang menjadi kurir Abbas menemui Muhammad di Masjid Quba. Ubay bin Ka’b diminta Muhammad membaca surat itu. Mereka kemudian kembali Madinah, membahas ancaman Qurais. Anas dan Mu’nis anak Fudzala yang diminta menyelidiki keadaan, melaporkan bahwa musuh telah berada di sekitar Uhud, pinggiran kota Madinah.

Perdebatan berlangsung. Muhammad cenderung untuk bertahan di Madinah. Demikian pula para orang-orang tua asli Madinah, apalagi orang-orang Yahudi. Namun para anak muda –terutama yang belum ikut Perang Badar-mendesak agar mereka menyongsong musuh. Suara terbanyak menghendaki itu. Rasul pun mengalah pada keinginan demokratis tersebut.

Hari itu hari Jumat. Muhammad mengimami salat Jumat, kemudian kembali ke kamarnya. Abu Bakar dan Umar menyusul masuk, membantu Muhammad mengenakan sorban dan baju besinya. Rasulullah saat itu berusia sekitar 58 tahun. Ia memimpin sendiri pasukannya yang berkekuatan 700-an orang. Mereka segera menuju bukit Uhud. Sebanyak 50 orang ditugasi Muhammad untuk menjadi pemanah. Mereka harus menempati posisi di lereng bukit, tanpa boleh pergi, kecuali diperintahkan Muhammad.

Kaum Yahudi juga telah menyiapkan pasukan. Muhammad melarang pasukannya, “minta pertolongan orang musrik untuk melawan orang musrik.” Benar, pasukan Yahudi -yang semestinya juga harus ikut mempertahankan Madinah-membubarkan diri.

Malam itu, mereka bersiaga di lereng-lereng Uhud. Rasul pun menyerahkan pedangnya pada Abu Dujana. Pagi hari tanggal 15 Syawal, tahun kelima Hijriah, darah mulai tumpah setelah Ali berduel dengan komandan pasukan Qurais, Talha anak Abu Talha. Talha tewas seketika. Selanjutnya, Ali, Hamzah dan Abu Dudjana terus berkelebat tak tertahankan. Pedang Rasul menghantam orang-orang Qurais. Bahkan sudah di atas kepala Hindun, namun Abu Dudjana mengurungkan. Ia mengaku tak tega membunuh perempuan, meskipun perempuan itulah yang telah mengobarkan perang.

Hindun memimpin barisan perempuan yang membawa tambur dan bersorak-sorai menyemangati kaum Qurais. Mereka meneriakkan syair-syarir. Antara lain, yang dikutip Haekal, “Kamu maju, kami peluk dan kami hamparkan kasur yang empuk; atau kamu mundur kita berpisah. Berpisah tanpa cinta.”

Keputusan Abu Dudjana keliru. Hindun ternyata mengorganisasikan para budak, termasuk Wahsyi -budaknya asal Ethiopia. Bila berhasil membunuh Hamzah yang telah menewaskan ayah Hindun di Perang Badar, mereka akan dimerdekakan dari perbudakan. Wahsyi berhasil menghunjamkan tombaknya menembus perut bagian bawah. Tombak terus menancap sampai paman Nabi itu wafat. Konon, Hindun kemudian membelah dada Hamzah dan memakan jantung korban.

Bayang-bayang Perang Badar seperti kembali terlihat, pagi itu. Kaum Qurais mulai kalang-kabut meninggalkan arena. Orang-orang Islam mengejar-kejar mereka. Namun kemudian mereka tergoda oleh harta jarahan. Mereka segera berebut harta yang ditinggalkan orang-orang Qurais. Para pemanah di puncak-puncak bukit pun berlarian mengejar barang jarahan. Abdullah bin Juzair mengingatkan mereka untuk tidak meninggalkan pos, namun mereka tak peduli.

Di saat demikian, pasukan berkuda Qurais pimpinan Khalid bin Walid memutar bukit melakukan serangan balik. Pasukan muslim yang tak lagi bersiaga kocar-kacir. Korban berjatuhan. Muhammad terdesak hingga mundur ke puncak bukit. Ia sempat terperosok ke dalam lubang jebakan, namun diselamatkan Ali serta Talha anak Ubaidillah. Tokoh Qurais, Uthba bin Abi Waqas, melemparkan batu ke muka Muhammad. Dua keping lingkaran topi baja terputus dan menyobek pipi serta bibir Muhammad. Wajah Sang Rasul pun berdarah-darah.

Panah terus menghujani Muhammad. Namun Abu Dudjana menggunakan punggungnya sebagai perisai untuk melindungi Rasul itu. Saad bin Abi Waqas membalas serangan panah tersebut. Muhammad ikut menyiapkan anak panah bagi Saad. Tak lama setelah itu, kabar kematian Muhammad pun menyebar. Kaum Qurais bersorak-sorai. Dalam keadaan letih mereka pun meninggalkan Uhud untuk kembali ke Mekah. Abu Bakar dan Umar -yang tak mengetahui keberadaan Muhammad-tertunduk lesu. Anas bin Nadzr, yang juga menyangka Rasul meninggal, kemudian mengamuk. Ia menyerang Qurais habis-habisan sampai tubuhnya hancur nyaris tanpa dapat dikenali lagi.

Namun, masih ada satu dua Qurais yang memburu Muhammad. Ubay bin Khalaf berhasil menemukan tempat istirahat Muhammad. Ubay belum sempat mengayunkan pedang tatkala Muhammad berhasil menyambar tombak Harith anak Shimma, dan menghunjamkannya. Ali kemudian membasuh muka Muhammad yang berdarah-darah. Abu Ubaida mencabut pecahan besi yang menembus wajah Muhammad, sehingga dua gigi Rasul itu tanggal.

Mereka semua kemudian salat dzuhur berjamaah sambil duduk. Rasulullah menjadi imamnya. Senja hari, mereka tertatih-tatih menuruni bukit, menghampiri satu demi satu kaum Muslimin yang menjadi korban, lalu memakamkan mereka. 70 orang telah syahid.

Muhammad dan pasukannya kembali ke kota Medinah dengan suasana pilu. Kaum Yahudi menyaksikan mereka dari balik jendela rumah masing-masing. Senyum mengembang di bibir para Yahudi itu. Namun, mereka keliru bila menyangka semangat Muslimin telah runtuh. Esok paginya, Rasul mengerahkan pasukan mengejar pasukan Qurais. Mereka menunggu tiga hari dan menyalakan api unggun sekiranya kaum Qurais berani bertempur. Abu Sofyan, yang telah letih berperang, memerintahkan pasukannya untuk terus pulang ke Mekah.n

 

Umrah Pertama

Sungguh itu bukan pemandangan lazim. Hari itu, kaum Qurais berbondong-bondong meninggalkan Mekah. Tua, muda dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan, tanpa kecuali. Orang-orang itu mendaki bukit-bukit di sekitar Mekah. Perhatian mereka tertuju pada kepulan debu yang membubung dari arah utara.

Ya, dari utara -dari arah Madinah-sekitar 2000 orang tengah mendekati Mekah. Mereka adalah rombongan Rasulullah. Setahun sebelumnya, dalam jumlah yang lebih kecil, mereka telah mencoba memasuki Mekah untuk ziarah. Perjalanan itu tertahan di Hudaibiya -tempat kedua pihak meneken perjanjian. Dalam perjanjian itu, Muhammad dan rombongan baru boleh datang ke Mekah setahun kemudian. Jika saat itu tiba, kaum Qurais akan menyingkir sementara dari Mekah.

Setahun telah berlalu. Pada bulan suci ini, Muhammad benar-benar datang bersama umat Islam lainnya. Mereka semua larut dalam seruan “labbaika, labbaika” yang tak putus-putusnya membahana. Sudah sekitar tujuh tahun meninggalkan kota tempat ka’bah itu berada. Kini “rumah Allah” tersebut telah berada di hadapannya.

Muhammad menyelempangkan jubah ke pundak kirinya. Dibiarkannya pundak dan lengan kanannya terbuka. Saat itu pula, ia berdoa “Allahumarham, amra-a arahumulyauma min nafsihi quwwata.” (Ya Allah, berikan rahmat kepada orang yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya”).

Ia lalu melangkah menyentuh hajar aswad di sudut ka’bah, lalu berlari kecil hingga Rukun Yamani atau sudut selatan yang merupakan sudut ketiga, dan kemudian berjalan kembali untuk menyentuh hajar aswad. Hal demikian dilakukannya tiga kali. Selebihnya Muhammad mengelilingi ka’bah dengan arah yang berlawanan dengan putaran jarum jam itu dengan berjalan kaki. Ribuan umat Islam mengikuti setiap gerakan Muhammad. Sebuah pemandangan yang mempesona orang-orang Qurais yang menyaksikan dari lereng-lereng bukit.

Abdullah bin Rawaha tidak dapat menahan diri untuk larut dalam suasana tersebut. Ia nyaris meneriakkan tantangan perang pada Qurais. Namun Umar bin Khattab mencegahnya. Sebagai pelampiasannya, Umar menyarankan Abdullah untuk meneriakkan kata yang sekarang cukup dikenal oleh masyarakat Islam: “La ilaha illallah wahdah, wanashara abdah, wa’a’azza jundah, wakhadalal ahzaba wahdah”. (“Tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, yang menolong hamba-Nya, memperkuat tentara-Nya dan menghancurkan sendiri musuh yang bersekutu.”)

Abdullah terus mengulang-ulang kalimat tersebut yang diikuti hampir seluruh umat Islam. Kata-kata itu terus bergema, menghunjam hati-hati orang Qurais yang hanya dapat menyaksikan dari jauh.

Usai mengelilingi ka’bah, Muhammad yang mengendarai kendaraannya, menuju bukit Shafa. Dari sana Rasul bergerak ke bukit Marwa, dan kembali ke bukit Shafa lagi hingga tujuh kali perjalanan. Perjalanan yang sekarang disebut sa’i ini diyakini sebagai upaya menapaktilasi perjuangan keluarga Nabi Ibrahim, khususnya Siti Hadjar, saat membangun baitullah, berabad-abad sebelumnya. Usai perjalanan tersebut, sesuai tradisi orang-orang Arab masa itu, Muhammad pun bercukur rambut, kemudian memotong kurban.

Esok harinya, Muhammad memasuki ka’bah dan terus berada di sana sampai tiba salat dzuhur. Sebagaimana di Madinah, Bilal bin Rabah, kemudian naik ke atap bangunan untuk mengumandangkan azan. Rasul pun menjadi imam salat berjamaah di sana, di antara patung-patung yang masih banyak terdapat di sekitar ka’bah.

Muhammad tinggal di Mekah selama tiga hari. Setelah itu, ia dan rombongan kembali ke Madinah. Ada dua keuntungan yang diperolehnya dalam perjalanan kali ini. Ia dan rombongan bukan saja dapat menunaikan ibadah umrah -yang sering disebut pula sebagai Umrah Pengganti (Umratul Qadha), ia juga berhasil merebut hati tokoh-tokoh penting Qurais.

Saat Muhammad di perjalanan menuju Madinah itu, Khalid bin Walid mengejarnya dan menyatakan diri masuk Islam. Khalid adalah seorang muda yang menjadi komandan paling cerdik pasukan Qurais. Kelak ia banyak berperan dalam sejumlah ekspedisi militer kalangan Islam. Setelah Khalid, Amr bin Ash serta Ustman anak Talha yang menjadi penjaga ka’bah, menyusul masuk Islam. Setelah Rasul wafat, Amr banyak menimbulkan persoalan terutama menyangkut perselisihannya dengan Ali bin Abu Thalib.

Umrah ditunaikan. Kota Mekah tinggal sesaat lagi untuk sepenuhnya berada dalam kendali Rasulullah.n

 

Wafat

Syam. Wilayah ini tampaknya mempunyai tempat yang khusus di hati Rasulullah. Sewaktu kecil, ia pernah dibawa pamannya –Abu Thalib-untuk berdagang ke daerah tersebut. Di waktu muda, ia pernah pergi ke sana untuk menjadi manajer misi dagang milik Khadijah. Setelah menjadi Rasul, ia juga pernah memimpin ekspedisi militer terbesar yang mengarah ke Syam, yakni ekspedisi Tabuk. Kini terpikir kembali oleh Rasul untuk kembali mengirim ekspedisi ke Palestina dan Syam.

Para sahabat pilihan telah ditunjuk Rasul. Ia juga telah mengangkat Usama putra Zaid bin Haritha –anak angkat Rasul yang gugur di pertempuran Mu’ta-untuk menjadi komandan. Sebuah keputusan kontroversial masa itu, karena Usama belum berusia 20 tahun.

Seluruh perlengkapan sudah disiapkan. Kuda-kuda telah siap dipacu. Tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit. Terkisahkan bahwa dalam sakitnya, Rasul sulit untuk tidur. Tengah malam, ia lalu keluar rumah dengn ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayba. Rasul -menurut kisah ini-pergi ke Baqi’ Gharqad, pemakaman muslim di Madinah. Di sana Rasul berdoa untuk orang-orang yang telah wafat, dan seperti berbicara pada para ahli kubur.

Demam Rasul semakin hari semakin bertambah. Namun ia mencoba tetap melakukan aktivitas biasa. Beberapa kisah menyebut bahwa Rasul masih bercanda dengan istrinya, Aisyah, di saat sakit. Namun suatu hari, ketika Muhammad di rumah Maimunah, serangan demam menguat. Muhammad tak dapat berbuat apapun selain berbaring. Ia kemudian dipindahkan ke tempat Aisyah.

Dikisahkan pula bahwa begitu hebat serangan demam itu sehingga Muhammad merasa seperti terbakar. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad -meskipun dipilih Allah menjadi Rasul-Nya-tetaplah seorang manusia biasa. Ia punya perasaan sedih dan gembira sebagaimana manusia biasa. Ia juga merasakan sakit secara normal. Untuk mengurangi rasa panas itu, Muhammad minta disiram dengan “tujuh kirbat” air dari berbagai sumur. “Cukup, cukup…!” katanya.

Rasul merasa sedikit ringan. Ia mengenakan pakaiannya kembali, mengikat kepala, lalu pergi ke masjid. Di atas mimbar, Muhammad mengucap banyak puji syukur kepada Allah, mendoakan para sahabat yang gugur di Uhud, juga banyak lagi memanjatkan doa yang lain. Saat itu pula, Muhammad menegaskan agar semua mendukung Usama untuk melaksanakan misi yang telah direncanakan. “Dia sudah pantas memimpin seperti ayahnya dulu juga pantas memimpin.”

Rasul juga mengatakan bahwa “Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih di sisi Tuhan.” Muhammad lalu terdiam. Ia tidak menyebut siapa hamba yang diminta Tuhan untuk memilih itu. Hadirin pun terdiam. Sejenak suasana masjid menjadi senyap. Baru kemudian Abu Bakar memecah keheningan dengan tekadnya untuk menebus jiwa Muhammad dengan jiwa kami dan anak-anak kami. Abu Bakar tahu, yang dimaksud “hamba Allah” oleh Muhammad adalah Muhammad sendiri.

“Sabarlah, Abu Bakar,” hibur Muhammad. Dengan bersusah payah ia lalu meninggalkan masjid. Namun, sebelum pulang, ia sempat berpesan agar kaum Muhajirin terus menjaga Anshar.

Usama dan pasukannya masih menunggu di Madinah. Keadaan Rasul semakin parah. Untuk menjadi imam masjid, Muhammad minta agar orang-orang menghubungi Abu Bakar. Aisyah -putri Abu Bakar-protes karena suara ayahnya terlalu pelan untuk menjadi imam, dan sering menangis saat membaca ayat-ayat Quran. Namun Rasul tetap minta agar Abu Bakar yang menjadi imam. Ketika terdengar suara Umar yang keras mengimami salat di masjid, Rasul berkata: “Mana Abu Bakar?” Belakangan, banyak orang percaya, bahwa kejadian tersebut adalah isyarat Rasul agar kaum Muslimin memilih Abu Bakar sebagai penggantinya kelak.

Begitu parah keadaan Muhammad. Ia sempat pingsan beberapa lama. Rasul juga minta istrinya agar menyedekahkan uang miliknya yang cuma tujuh dinar. Ia tak ingin meninggal dengan masih memiliki kekayaan -betapapun sedikit– di tangan.

Demam Rasul tampak mereda. Dengan kepala diikat, dan ditopang oleh Ali bin Abu Thalib dan Fadzil bin Abbas, Rasul ke masjid. Abu Bakar yang tengah menjadi imam menyisih untuk memberi tempat pada Muhammad. Namun Muhammad mendorong Abu Bakar untuk terus menjadi imam. Ia salat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.

Orang-orang gembira. Muhammad telah menunjukkan tanda-tanda sembuh. Usama segera pamit pada Rasul untuk melaksanakan ekspedisinya. Namun, kemudian, hari itu tiba. Di musim panas, yang diperkirakan tanggal 8 Juni 632, Rasulullah wafat di pangkuan Aisyah. Diriwayatkan, hari itu Muhammad meminta diambilkan air dingin. Ia mengusap wajah dengan air itu, lalu bersiwak. Menurut Aisyah, Rasul sempat berdoa untuk dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Kemudian tubuhnya terasa memberat.

Kini pemimpin, sahabat, bahkan kekasih seluruh umat Islam itu menghadap-Nya. Umat terguncang. Umar sempat mengancam akan memotong kaki siapapun yang mengatakan Muhammad meninggal. Namun Abu Bakar mengingatkan semua dengan membacakan ayat Quran, Surat Ali Imran ayat 144: “Muhammad hanyalah Rasul sebagaimana para rasul sebelumnya. Bila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang?……”

Dua puluh tiga tahun Muhammad menjadi Rasul. Di Madinah, selama 10 tahun -setara dengan dua kali masa jabatan presiden sekarang-Muhammad menjadi pemimpin bangsa. Muhammad pun wafat dengan meninggalkan “keteladanan yang sempurna” untuk menjalani kehidupan. Selebihnya, ia menyerahkan pada setiap muslim -yang seluruhnya telah dibekali Allah dengan nurani dan akal-untuk mengadaptasi keteladanan itu sesuai dengan masa dan situasi yang berbeda-beda.n

 

 

 

 

SEJARAH SINGKAT RASUL


Sejarah Singkat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam

Awal Dakwah

Muhammad tertidur pulas. Saat itu, Khadijah keluar rumah menemui misannya, Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nasrani yang saleh. Diceritakannya peristiwa yang dialami Muhammad di Gua Hira. Waraqah membesarkan hati Khadijah. Ia meyakini peristiwa itu adalah pengangkatan Muhammad sebagai Rasul. Sementara itu, dalam tidurnya, Muhammad kembali menggigil. Jibril datang menyampaikan wahyu berikutnya. “Wahai yang berselimut.! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Agungkan Tuhanmu, sucikan pakaianmu, dan hindarkan darimu dosa. Janganlah kau memberi karena ingin menerima lebih banyak. Demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.”

Muhammad terbangun gelisah. Khadijah terus menenteramkannya. Saat itu Muhammad, sempat gamang. Jangan-jangan yang menjumpainya bukan malaikat, melainkan setan. Dengan caranya sendiri, mereka mencoba menguji itu. Dikisahkan bahwa saat Jibril datang, Khadijah sengaja memangku Muhammad di pahanya. Muhammad masih melihat sosok itu. Baru setelah Khadijah menyingkap kain penutup mukanya, sosok itu menghilang dari pandangan Muhammad.

Keyakinan Muhammad menguat setelah ia, ketika hendak mengelilingi Ka’bah, bertemu Waraqah. Saat itu Waraqah meyakinkannya. “Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang telah diberikan pada Musa. Kau pasti akan didustakan orang, disiksa, diusir dan diperangi. Kalau sampai waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaaan yang sudah diketahuinya.” Untuk beberapa lama, malaikat tak lagi datang. Muhammad teramat gundah. Ia khawatir Tuhan meninggalkannya atau malah membencinya. Kabarnya, ia sempat berpikir untuk menjatuhkan diri dari Gua Hira atau dari puncak bukit Abu Qubais. Tapi tidak. Di tengah kegelisahannya, turunlah firman yang menegaskan bahwa “Tuhanmu tidak meninggalkanmu, juga tidak membenci” dalam rangkaian ayat yanh dikenal sebagai surat Adh-Dhuha.

Muhammad kemudian diajari cara salat. Ia selalu mempraktekkannya bersama Khadijah. Ali kecil yang tinggal bersama mereka pun ikut serta. Demikian pula Zaid bin Haritsah. Zaid adalah anak-anak yang diculik dari keluarganya dan dijual sebagai budak. Keluarga Muhammad membelinya, lalu mengangkatnya sebagai anak, sehingga sempat disebut Zaid bin Muhammad.

Merekalah orang-orang pertama yang meninggalkan berhala untuk menyembah hanya pada Allah. Sama seperti Isa, Musa, Ibrahim dan para Nabi lain. Kabar itu sampai pada Abu Bakar -sahabat Muhammad pemuka Kaum Taim. Abu Bakar mengenal Muhammad sebagai seorang lurus, maka ia segera menganut Islam. Abu Bakar bahkan dapat mengajak beberapa orang lainnya untuk mengikuti Muhammad.

Di antara para sahabat itu adalah Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talha bin Ubaidillah juga Zubair bin Awwam. Melalui Abu Bakar, Saad bin Abi Waqas -keluarga Muhammad dari garis Aminah-juga memeluk Islam. Demikian pula Bilal, seorang asal Ethiopia yang menjadi budak Ummayah.

Saat itu, warga Mekah tidak banyak mempersoalkannya. Mereka menganggap Muhammad tak lebih dari seorang pendeta biasa sebagaimana Waraqah. Perselisihan baru muncul tiga tahun setelah masa kenabian. Allah memerintahkan Muhammad untuk tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam beragama dengan menyeru keluarga terdekat. (Qur’an Surat 26: 214-216). Muhammad kemudian mengundang keluarga dekatnya, Bani Hasyim untuk makan di rumahnya, lalu mengajak mereka menyembah Allah. Namun Abu Thalib menghentikan pembicaraan itu.

Esok harinya, Muhammad kembali mengundang lalu menyeru mereka. Sekali lagi, kerabat Muhammad itu hendak pergi. Saat itu Ali, yang masih anak-anak, berdiri dan mengatakan: “Rasulullah, saya akan membantumu. Saya adalah lawan siapa saja musuhmu.” Seluruh yang hadir terbahak. Mereka menertawakan Muhammad, Ali serta Abu Thalib -ayah Ali.

Dikisahkan pula saat itu Muhammad menyatakan pembelaannya terhadap Ali dengan istilah bahwa Ali adalah pewarisnya, dirinya adalah pewaris Ali. Kelak, hal ini yang dipakai dasar pihak yang mengatakan bahwa Ali adalah satu-satunya pewaris untuk menjadi pemimpin umat sepeninggal Muhammad. Suatu persoalan yang bakal melahirkan pertikaian besar antar umat Islam.

Muhammad juga melakukan dakwah terbuka, yakni di bukit Shafa yang kini menjadi bagian dari Masjidil Haram. “Hai orang-orang Qurais,” seru Muhammad dari puncak bukit itu. Orang-orang pun berdatangan. “Kalau kuberi tahu bahwa di bukit ini terdapat pasukan berkuda, percayakah kalian?”

“Ya,” sahut mereka. “Kami tak pernah meragukan kejujuranmu. Kami belum pernah mendengar engkau berdusta” “Kalian kuperingatkan sebelum menghadapi siksa pedih, hai Bani Abdul Muthalib, Bani Abdul Manaf, Bani Zuhra, Bani Makhzum dan Bani Asad. Allah memerintahkan aku menyampaikan peringatan pada keluarga-keluargaku terdekat. Aku tidak dapat memberi keuntungan apapun pada kalian baik di dunia maupun akhirat kecuali kamu mengikrarkan ‘La ilaha illallah’ (tiada tuhan selain Allah)”.

Seorang berpostur gemuk yang juga paman Muhammad, Abu Lahab menukas. “Celakah engkau Muhammad. Buat apa kau kumpulkan kami.” Allah lalu menurunkan firman, Surat Al-Lahab, atas perilaku tersebut.

Muhammad terus menebar dakwah. Ia bukan saja menyeru untuk meninggalkan berhala, namun juga berbuat baik pada sesama, hidup berkasih sayang, tidak berlomba-lomba menumpuk harta. Pengaruh Muhammad semakin meluas. Hal tersebut meresahkan para pemuka Qurais. Mulailah perseteruan itu. Mula-mula mereka menyerang Muhammad dengan syair yang mengejek. Juga menuntut Muhammad untuk menunjukkan mukjizat.

Setelah Muhammad secara terbuka mengritik patung-patung sembahan di sekitar Ka’bah, mereka mendesak Abu Thalib untuk tidak melindungi Muhammad. Sepuluh orang ditugasi membawa misi tersebut. Mereka adalah Abu Sufyan bin Harb, Uthbah dan Syaibah bin Rabi’ah, Nubaih dan Munabbih bin Hajjaj, Ash bin Wail, Walid bin Mughirah, Abu Bakhtarif, Jawad bin Muthalib serta Abu Jahal bin Hisyam.

Beberapa kali, kaum kafir mendesak Abu Thalib. Mereka bahkan menawarkan seorang pemuda tampan, Umara bin Walid agar dipungut sebagai anak Abu Thalib asalkan Muhammad diserahkan kepada mereka. Abu Thalib menolak permintaan itu. Namun ia menyampaikan pula desakan para tokoh Qurais itu pada Muhammad.

Muhammad kukuh pada sikapnya. “Paman, demi Allah, sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tak akan kulakukan sampai Allah membuktikan kemenangan itu di tanganku atau aku mati karenanya.”.

 

 

Bersama Khadijah

Muhammad digambarkan sebagai seorang berperawakan sedang. Tidak kecil dan tidak besar. Rambutnya hitam berombak dengan cambang lebar. Matanya hitam, roman mukanya seperti selalu merenung. Ia gemar pula berhumor, namun tak pernah sampai tertawa terbahak yang membuat gerahamnya tampak. Ia juga tak pernah meledak marah. Kemarahannya hanya terlihat pada raut muka yang serius serta keringat kecilnya di dahi. Muhammad inilah yang dipertimbangkan Khadijah sebagai suaminya.

Saat itu Khadijah binti Khuwailid berusia 40 tahun -15 tahun lebih tua dibanding Muhammad. Ia pengusaha ternama di Mekah. Bisnisnya menjangkau wilayah Syria -daerah yang menjadi persimpangan antara “Jalur Sutera” Cina-Eropa dengan jalur Syria-Yaman. Ia cantik, lembut namun sangat disegani masyarakatnya. Orang-orang Mekah menjulukinya sebagai “Ath-Thahirah” (seorang suci) dan “Sayyidatul Quraish” (putri terhormat Quraish).” Khadijah dan Muhammad sama-sama keturunan Qushay.

Khadijah lalu menyampaikan keinginan menikah tersebut pada Muhammad, melalui Nufaisa -sahabatnya. Muhammad sempat gamang. Ia tidak punya apa-apa untuk menikah. Namun kedua belah pihak keluarga mendukung mereka. Dengan mas kawin 20 unta, Muhammad menikahi Khadijah. Paman Khadijah, Umar bin Asad menjadi wali lantaran Khuwailid telah meninggal sebelum Perang Fijar. Muhammad kemudian tinggal di rumah Khadijah.

Keluarga mereka tenteram dan damai. Pada usianya yang terbilang tua, Khadijah masih melahirkan enam anak. Dua anak pertama, Qasim dan Abdullah meninggal selagi kecil. Empat putri mereka tumbuh hingga dewasa. Zainab yang sulung dinikahkan dengan keponakan Khadijah, Abul’Ash bin Rabi’. Ruqaya dan Ummi Khulthum dinikahkan dengan kakak-adik putra Abu Lahab, paman Muhammad, yakni Uthba’ dan Uthaiba. Setelah ajaran Islam turun, Abu Lahab meminta anak-anaknya menceraikan anak-anak Muhammad. Kelak mereka menikah dengan Khalifah Usman bin Affan, mula-mula Ruqaya yang kemudian wafat, lalu Ummi Khulthum. Si bungsu Fatimah masih kecil. Setelah masa Islam, Fatimah dinikahkan dengan Ali.

Perhatian pasangan Muhammad-Khadijah bukan hanya memikirkan keluarganya sendiri, melainkan juga orang lain. Setiap musim paceklik tiba, Halimah -Ibu susu Muhammad-selalu datang minta bantuan. Mereka akan membekali pulang Halimah dengan air serta bahan pangan yang diangkut unta untuk memenuhi kebutuhan warga desanya. Mereka juga menolong Abu Thalib dari kemiskinannya. Untuk itu, Muhammad menemui pamannya yang kaya Abbas untuk mengambil salah seorang anak Abu Thalib, Ja’far, sedangkan keluarga Muhammad mengasuh anak yang lain, Ali.

Muhammad mendapat penghormatan besar saat renovasi Ka’bah. Saat itu Ka’bah telah retak. Lokasinya di cekungan perbukitan batu, membuat Ka’bah selalu menjadi sasaran banjir di musim hujan. Masyarakat bermaksud membangun baru Ka’bah, namun tak seorang pun berani memulai merobohkannya. Setelah tertunda beberapa lama, Walid bin Mughirah memberanikan diri untuk memulai penghancuran itu. Ka’bah dibangun kembali hingga setinggi 18 hasta atau sekitar 11 meter. Pintunya ditinggikan dari tanah sehingga aman dari banjir. Enam tiang berderet tiga-tiga dipancangkan.

Untuk pembangunan itu, warga Mekah membeli kayu milik pedagang Romawi Baqum yang kapalnya pecah di dekat Jeddah. Baqum bahkan bersedia membantu pembangunan itu bila didampingi Kopti -tukang kayu Mekah. Pekerjaan berjalan lancar. Hubal, arca terbesar, telah dimasukkan ke dalam Ka’bah. Namun, kemudian muncul persoalan, yakni untuk menempatkan Hajar Aswad. Semua kabilah ingin mendapatkan kehormatan itu. Keluarga Abdud-Dar dan ‘Adi bahkan telah mengangkat sumpah darah untuk menyerang siapapun yang akan mengambil tugas itu.

Orang tertua dan dihormati di antara mereka, Abu Ummayah bin Mughira dari Bani Makhzum, mengajukan usul. Urusan penempatan Hajar Aswad agar diserahkan pada orang pertama yang masuk ke pintu Shafa. Siapapun dia. Orang itu ternyata Muhammad Al-Amien.

Secara bijaksana, Muhammad melibatkan semua keluarga untuk meletakkan batu hitam itu. Caranya: ia membentangkan kain. Semua pemimpin keluarga dipersilakannya memegang pinggir kain. Muhammad mengangkat batu itu ke atas kain, lalu semua secara bersama-sama mengotong batu tersebut, kemudian Muhammad kembali mengangkat dan meletakkannya pada tempat semestinya. Semua puas.

 

Dari Gembala ke Manajer

Dalam tradisi keluarga terhormat Arab masa itu, bayi tidak disusui sendiri oleh Sang Ibu. Ia diserahkan pada orang lain yang menjadi Ibu susu. Demikian pula Muhammad. Beberapa hari, ia disusui oleh Tsuaiba -budak paman Muhammad, Abu Lahab, yang juga tengah menyusui Hamzah -paman lainnya yang seusia Muhammad. Kemudian ia diserahkan pada Halimah, perempuan miskin dari Bani Saad yang mencari pekerjaan sebagai Ibu susu.

Semula Halimah menolak Muhammad. Ia menginginkan bayi yang bukan seorang yatim, dan keluarganya sanggup membayar lebih mahal. Tak ada bayi lain yang bisa disusui, Halimah pun membawa Muhammad ke kampungnya. Suasana perkampungan Bani Saad disebut lebih baik bagi pertumbuhan anak dibanding ‘kota’ Mekah. Udara di sana disebut lebih bersih, bahasa Arab-nya pun lebih asli. Di masa bersama Halimah itulah tersiar kisah mengenai Muhammad kecil.

Menurut kisah itu, Halimah menjumpai Muhammad dalam keadaan pucat. Disebutkan bahwa Muhammad baru didatangi dua orang -yang diyakini banyak kalangan sebagai malaikat. Orang tersebut kemudian membelah dada Muhammad. Banyak orang percaya, itu adalah proses malaikat “mencuci hati Muhammad” sehingga bersih. Namun Haekal menyebut bahwa kisah tersebut lemah. Saat itu Muhammad dan anak Halimah yang menyertainya masih balita, sehingga kesaksiannya diragukan.

Pada usia lima tahun, Muhammad dikembalikan ke Mekah. Konon Halimah khawatir atas keselamatan Muhammad. Dalam perjalanan ke Mekah, Muhammad sempat terpisah dari Halimah dan tersesat sebelum ditemukan secara tak sengaja oleh orang yang kemudian mengantarkan ke rumah Abdul Muthalib. Saat Muhammad berusia enam tahun, Aminah sang ibu membawanya ke Madinah menengok keluarga dan makam Abdullah, sang ayah. Mereka ditemani budak Abdullah, Ummu Aiman, menempuh jarak sekitar 600 km bersama kafilah dagang yang menuju Syam.

Saat pulang, setiba di Abwa -37 km dari Madinah-Aminah jatuh sakit dan meninggal. Muhammad pun yatim piatu. Ia dipelihara Abdul Muthalib. Namun, sang kakek juga meninggal saat Muhammad berusia 8 tahun. Muhammad lalu tinggal di rumah Abu Thalib -anak bungsu Abdul Muthalib yang hidup miskin. Kehidupan sehari-hari Muhammad adalah menggembala kambing. Pada usia 12 tahun, Muhammad diajak pamannya berdagang ke Syam.

Terkisahkan, dalam perjalanan itu Abu Thalib bertemu pendeta Nasrani bernama Buhaira di Bushra. Sang pendeta memberi tahu bahwa Muhammad bakal menjadi Nabi besar. Maka, ia menyarankan Abu Thalib segera membawa pulang Muhammad agar tidak celaka olah ulah orang-orang yang tak suka. Perjalanan ke negeri asing untuk berbisnis pada usia semuda itu tentu memberi kesan kuat pada Muhammad.

Berkat ketulusan dan kelurusan hatinya, Muhammad remaja mendapat sebutan Al-Amien, “yang dapat dipercaya”, dari orang-orang Mekah. Ia juga disebut-sebut terhindar dari berbagai bentuk kemaksiatan yang acap timbul dari pesta. Setiap kali hendak menyaksikan pesta bersama kawan-kawannya, Muhammad selalu tertidur. Sedangkan ketajaman intelektual serta nuraninya terasah melalui hobinya mendengarkan para penyair.

Pada bulan-bulan suci, di beberapa tempat di dekat Mekah, selalu muncul pasar. Terutama di Ukaz yang berada di antara Thaif dan Nakhla, serta di Majanna dan Dzul-Majaz. Di hari pasar, para penyair membacakan sajak-sajaknya. Sebagian penyair itu beragama Nasrani maupun Yahudi. Mereka umumnya mengeritik bangsa Arab yang menyembah berhala. Peristiwa tersebut menambah sikap kritis Muhammad atas perilaku masyarakatnya.

Persoalan pasar di Ukaz itu menyeret Muhammad pada realita manusia: perang. Berawal dari pelanggaran kesepakatan sistem dagang yang dilakukan Barradz bin Qais dari kabilah Kinana yang memicu pelanggaran serupa ‘Urwa bin ‘Uthba dari kabilah Hawazin. Barradz lalu membunuh ‘Urwa di bulan suci yang diharamkan terjadi pertumpahan darah. Kabilah Hawazin lalu mengangkat senjata terhadap kabilah Kinana. Karena kekerabatan, kaum Quraish seperti Muhammad membela kabilah Kinana.

Selama empat tahun, pertempuran berlangsung pada hari-hari tertentu setiap tahun. Itu terjadi saat Muhammad berusia sekitar 16 hingga 20 tahun. Disebutkan pula, di pertempuran itu Muhammad hanya bertugas mengumpulkan anak panah lawan. Ada juga yang menyebut dia pernah memanah lawan. Perang Fijar itu pun berakhir dengan kesepakatan damai.

Satu peristiwa penting yang jarang dikisahkan adalah bergabungnya Muhammad pada Gerakan Hilfil Fudzul. Sebuah gerakan untuk memberantas kesewenangan di masyarakat dan melindungi yang teraniaya. Peristiwa itu terpicu oleh perampasan barang milik pedagang asing yang tiba di Mekah oleh Wail bin Ash. Zubair bin Abdul Muthalib mengajak keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym untuk menegakkan kembali kehormatan kota Mekah. Mereka berikrar di rumah Abdullah bin Jud’an untuk membentuk gerakan tersebut. Pada usia 20-an tahun, Muhammad aktif dalam Hilfil Fudzul itu. Ia ikut menyelamatkan gadis dari Bani Khais’am yang diculik Nabih bin Hajaj dan kawan-kawan.

Kematangan Muhammad semakin tumbuh seiring dengan meningkatnya usia. Saat Muhammad berusia 25 tahun, Abu Thalib melihat peluang usaha bagi keponakannya. Ia tahu pengusaha terkaya di Mekah saat itu, Khadijah, tengah mencari manajer bagi tim ekspedisi bisnisnya ke Syam. Khadijah menawarkan gaji berupa dua ekor unta muda bagi manajer itu. Atas sepersetujuan Muhammad, Abu Thalib menemui Khadijah meminta pekerjaan tersebut buat keponakannya itu serta minta gaji dinaikkan menjadi empat ekor unta. Khadijah setuju.

Untuk pertama kalinya Muhammad memimpin kafilah, atau misi dagang, menyusuri jalur perdagangan utama Yaman – Syam melalui Madyan, Wadil Qura dan banyak tempat lain yang pernah ditempuhnya saat kecil. Di kafilah itu Muhammad dibantu oleh perempuan budak Khadijah, Maisarah. Bisnis tersebut sukses besar. Dikabarkan tim dagang Muhammad meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi dagang sebelumnya. Dalam perjalanannya tersebut, ia juga banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Termasuk para pendeta Yahudi maupun Nasrani yang terus mengajarkan keesaan Allah. Muhammad juga semakin memahami konstalasi politik global, termasuk menyangkut dominasi Romawi serta perlawanan Persia.

Khadijah terkesan atas keberhasilan Muhammad. Laporan Maisarah memperkuat kesan tersebut. Maka, benih cinta pun perlahan bersemi di hati pengusaha terkaya di Mekah yang hidup menjanda itu.

 

Drama Hijrah

Haekal melukiskan kisah ini sebagai “kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman”.

Yatsrib atau Madinah sudah pasti menjadi masa depan Muhammad dan pengikutnya. Puluhan muslimin telah menyelinap pergi ke sana. Kaum Qurais tak terlalu peduli. Perhatian mereka pada Muhammad yang masih di Mekah yang tak akan mereka biarkan lolos. Padahal Muhammad telah siap untuk pergi. Abu Bakar telah menyiapkan dua unta baginya dan bagi Muhammad. Unta itu dipelihara Abdullah bin Uraiqiz.

Sampai pada harinya, perintah Allah untuk hijrah pun turun. Muhammad memberi tahu Abu Bakar. Para pemuda Qurais juga semakin ketat memata-matai rumah Muhammad. Mereka sesekali mengintip ke dalam rumah, melihat Muhammad berbaring di tempat tidurnya. Namun Muhammad meminta Ali mengenakan mantel hijaunya dari Hadramaut serta tidur di dipannya. Kaum Qurais tenang. Mereka pikir Muhammad masih tidur. Ketika esok harinya mendobrak pintu rumah Rasul, mereka hanya mendapati Ali yang mengaku tak tahu menahu tentang keberadaan Muhammad.

Malam itu, Muhammad telah menyelinap dari jalan belakang. Bersama Abu Bakar, ia berjalan mengendap dalam gelap, menuju sebuah gua di bukit Tsur. Sebuah pilihan cerdik. Kaum Qurais tentu menduga Muhammad menuju Yatsrib di utara Mekah. Muhammad malah melangkah ke selatan. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa Muhammad tetap menggunakan nalar yang wajar sebagai manusia. Jika mau, ia dapat meminta perlindungan Allah berwujud kesaktian seperti yang dikejar-kejar banyak manusia sekarang. Tapi tidak, Muhammad menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama untuk kepentingan semacam itu.

Muhammad dan Abu Bakar hanya menjalankan siasat biasa. Dalam persembunyiannya, mereka tetap memasang telinga melalui Abdullah, anak Abu Bakar, yang tetap tinggal di Mekah. Setiap malam, Abdullah menemui mereka di gua melaporkan perkembangan suasana serta mengirim makanan yang disiapkan Aisyah dan saudaranya, Asma. Setiap pagi, pembantu Abu Bakar -Amir bin Fuhaira-menggembala kambing menghapus jejak itu.

Tiga malam mereka bersembunyi di gua itu. Satu riwayat menyebut sejumlah pemuda Qurais telah mencapai bibir gua. Abu Bakar gemetar meringkuk di sisi Muhammad. Saat itu, Muhammad berbisik. “La tahzan, innallaaha ma’ana (Jangan sedih, Allah bersama kita) “. Rasul juga menghibur dengan kata-kata, “Abu Bakar, kalau kau menduga kita hanya berdua, Allah-lah yang ketiga.” Orang-orang Qurais itu lalu pergi. Konon mereka melihat sarang laba-laba serta burung merpati mengerami telur di mulut gua. Tak mungkin Muhammad bersembunyi di situ.

Setelah aman, Abdullah bin Uraiqiz membawa keluar mereka. Tiga unta beriringan ke Barat, berbekal makanan yang diikat dengan sobekan sabuk Asma. Abu Bakar disebut membawa seluruh uang simpanannya sebesar 5 ribu dirham. Mereka berjalan berputar menuju arah Tihama, dekat Laut Merah, melalui jalur yang paling jarang dilalui manusia. Baru kemudian mereka berbelok ke utara, ke Yatsrib, menapaki terik gurun. Siang-malam mereka terus berjalan.

Kaum Qurais membuat sayembara dengan hadiah 100 unta bagi yang dapat menangkap Muhammad. Suraqa bin Malik tergiur iming-iming itu. Ketika mendengar info ada tiga orang berunta beriringan, ia mengelabui kawan-kawannya. “O.. itu adalah si anu,” begitu kira-kira ucapan Suraqa. Namun ia kemudian memacu kudanya sendirian mengejar Muhammad. Sedemikian menggebu Suraqa, sehingga kudanya tersungkur. Sekali lagi, ia tersungkur setelah dekat dengan Muhammad. Suraqa lalu menyerah karena menganggap dirinya tengah sial.

Dua pekan kemudian, Muhammad tiba di Quba -desa perkebunan kurma di luar kota Yatsrib. Ia tinggal di sana selama empat hari dan membangun masjid sederhana. Di sana pula Muhammad bertemu kembali dengan Ali yang berjalan kaki ke Yatsrib. Mereka kemudian berjalan bersama menuju kota, dan disambut sangat meriah oleh warga Yatsrib dengan bacaan salawat. Orang-orang Arab -baik yang Islam maupun penyembah berhala-serta orang-orang Yahudi tumpah ruah untuk melihat sosok Muhammad yang banyak diperbincangkan.

Orang-orang berebut menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul. Tapi Muhammad menyebut bahwa ia akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri. Sampai ke sebuah tempat penjemuran korma, unta itu berlutut. Muhammad menanyatakn tempat itu milik siapa. Ma’adh bin Afra menjawab, rumah itu milik Sahal dan Suhail -dua orang yatim dari Banu Najjar.

Setelah dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi masjid. Hanya sebagian dari ruangan masjid itu yang beratap. Di sanalah orang-orang miskin –dari berbagai tempat yang datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam– kemudian ditampung. Muhammad membangun rumah kecil bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah. Sedangkan rumah tinggalnya menjadi tempat makam Rasul yang kini berada di dalam masjid Nabawi.

Pada usia 53 tahun -setelah 13 tahun masa kerasulannya serta membangun pondasi keislaman-Muhammad membuat langkah besar itu: hijrah. Langkah berbahaya namun mengantarkannya menjadi pemimpin utuh. Pemimpin keagamaan, kemasyarakatan juga politik. Peristiwa pada tahun 623 Masehi itu sekaligus mengajarkan keharusan umat Islam untuk berani menempuh langkah besar untuk mencari lingkungan atau lahan baru yang memungkinkan benih kebenaran dan kebajikan tumbuh lebih subur.

 

Ekspedisi Tabuk

Madinah telah tumbuh menjadi pusat pemerintahan yang utuh. Sepulang dari pembebasan Mekah, seiring dengan semakin banyaknya kabilah yang memeluk Islam, Muhammad pun mengenalkan ketentuan pajak dan zakat. Setiap Muslimin diwajibkan untuk mengeluarkan zakat ‘usyr’. Yakni zakat hasil bumi sebesar 10 persen untuk pertanian beririgasi dan 20 persen untuk pertanian tadah hujan. Orang-orang Arab yang belum memeluk Islam diwajibkan membayar ‘khazraj’ atau pajak tanah.

Hampir seluruh masyarakat menerima baik ketentuan demikian. Hanya beberapa kelompok kecil yang menentang. Antara lain Bani Tamim. Salah satu puak di kelompok itu bahkan menyiapkan tombak untuk menyambut petugas pemungut pajak.

Rasulullah mengambil langkah tegas. Lima puluh orang pasukan berkuda yang dikomandoi Uyaina bin Hishn segera bergerak menggempur pembangkang pajak itu. Lebih dari 50 orang warga Bani Tamim -laki-laki, perempuan bahkan anak-anak, baik yang Muslim maupun yang masih jahiliyah-digiring ke Madinah untuk dipenjarakan.

Masyarakat Bani Tamim mengirim utusan pada Rasul, minta mereka dibebaskan. Diingatkannya bahwa sebagian tahanan itu adalah orang-orang yang telah menyertai Muhammad dalam pembebasan Mekah dan Perang Hunain. Namun Muhammad tidak memberi keringanan apapun pada mereka. Baru setelah mereka menyerah dan kemudian masuk Islam seluruhnya, Rasul membebaskan seluruh tahanan itu.

Sikap keras juga ditujukan pada orang-orang munafik. Semakin banyaknya pemeluk Islam, semakin banyak pula jumlah orang-orang munafik. Secara resmi mereka memeluk Islam, namun terus berupaya menggerogoti kewibawaan Islam. Sikap keras itu ditunjukkan Rasul dalam persiapan ekspedisi Tabuk. Saat itu, tersiar kabar bahwa Romawi tengah menyiapkan pasukan untuk menggempur kekuatan Islam. Rasul kemudian menyeru kaum Muslimin untuk bersiap menghadapi Romawi.

Beberapa orang munafik mencari-cari alasan untuk tidak ikut berperang melawan Romawi. Muhammad tidak mendesak mereka untuk pergi, melainkan malah memintanya untuk tetap di Madinah. Ketika Abdullah bin Ubay menyusun pasukan sendiri untuk ikut ekspedisi, Rasul juga menolak. Ketika itu orang-orang munafik juga membangun masjid dan meminta Muhammad meresmikannya.

Ketika itu Muhammad meminta mereka menunda peresmian tersebut. Namun sepulang dari Tabuk, Nabi bahkan menugasi sahabat untuk membakar masjid tersebut, yang kemudian dikenal sebagai “masjid dhirar”. Yakni masjid yang dibangun bukan untuk tujuan sesungguhnya, melainkan untuk tempat memecah belah umat. Terbukti bahwa orang-orang menggunakan masjid tersebut untuk tempat berkumpul, bergosip, mencari-cari kesalahan umat Islam sendiri.

Perhatian Muhammad kemudian tersita terhadap ancaman Romawi. Ia menggalang kekuatan yang melibatkan sekitar 30 ribu prajurit. Masih banyak lagi yang ingin bergabung. Namun Muhammad menolak mereka lantaran terbatasnya jumlah unta dan kuda yang dimiliki. Padahal orang-orang kaya menyerahkan sebagian besar hartanya untuk ekspedisi tersebut. Di antaranya adalah Usman Bin Affan. Ratusan orang menangis karena tak dapat mengikuti perjalanan tersebut.

Dalam usia sekitar 60 tahun, Muhammad masih memimpin sendiri pasukan menuju ke arah Syam. Mereka sempat beristirahat di Tsamud, wilayah yang di masa silam telah dihancurkan Allah karena keingkaran warganya terhadap Nabi Allah. Pasukan kemudian melanjutkan perjalanan ke Tabuk -tempat ayang diyakini bakal menjadi ajang perang besar melawan Romawi. Namun ternyata Romawi teklah menarik pasukannya.

Di Tabuk, Muhammad sempat menjalin perjanjian dengan penguasa Alia yang beragama Nasrani, Yohanna bin Ru’ba. Yohanna menjanjikan bahwa wilayahnya akan mengikuti ketentuan yang berlaku bagi wilayah-wilayah lain yang juga tunduk pada Muhammad. Pada Yohanna, Muhammad memberikan cindera mata berupa mantel tenunan dari Yaman.

Sementara itu, Khalid bin Walid dan 500 pasukannya melanjutkan misi ke Duma, wilayah garis depan kekuasaan Romawi. Mereka berhasil menyergap pemimpin Duma, Ukaidir. Ukaidir lalu dibawa ke Madinah menyusul Muhammad yang telah pulang dari Tabuk. Ia datang mengenakan baju sutera berumbai emas, dan diiringi 2000 ekor unta dan 800 ekor kambing. Warga Madinah ternganga melihat penampilan Ukaidir. Pemimpin Duma itu kemudian juga masuk Islam.

Kemenangan besar telah diraih. Namun Rasulullah menerima cobaan. Anak laki-laki yang sangat disayanginya, Ibrahim, jatuh sakit dan kemudian meninggal. Muhammad bercucurkan air mata sampai ia diingatkan para sahabat bukankah ia sendiri melarang bersedih karena kematian. Muhammad lalu menjawab bahwa yang dilarang bukanlah berduka cita, melainkan “menangis (untuk musibah) dengan suara keras”.

 

Haji Wadha’

Tonggak-tonggak masyarakat Islam telah ditegakkan. Satu – dua rombongan misi masih dikirimkan Rasulullah. Termasuk misi 300 orang yang dipimpin Ali bin Abu Thalib, ke Yaman. Sekarang Rasulullah lebih bisa berkonsentrasi menata masyarakat Islam dari Madinah.

Waktu telah mengantarkan Rasul ke tahun ke-10 Hijriah. Mendekati bulan haji, terpikir oleh Muhammad untuk menunaikan ibadah haji besar. Rasul sudah dua kali menunaikan ibadah umrah, yang juga disebut haji kecil. Namun Rasul belum pernah menunaikan ibadah haji besar. Kini, waktu untuk melakukan ibadah tersebut tiba.

Muhammad pun mengumumkan rencananya untuk berhaji itu. Rencana tersebut segera menyebar ke seluruh jazirah Arab. Mendengar kabar itu, orang-orang dari berbagai pelosok berduyun datang ke Madinah. Mereka ingin menunaikan ibadah haji bersama Rasul. Puluhan ribu tenda didirikan di sekitar kota Madinah. Kerlap-kerlip cahaya iman menjadikan Madinah terasa sangat indah.

Pada tanggal 25 Dzulkaidah, Rasulullah beranjak meninggalkan Madinah. Seluruh anggota keluarga ia bawa serta. Bersama mereka adalah puluhan ribu jamaah lainnya. Ada yang menyebut 90.000 orang. Ada yang mengatakannya 114.000 ribu. Berapapun, mereka adalah rombongan terbesar yang pernah ada yang melintasi terik sahara secara bersama.

Di Dhul Hulaifa, rombongan beristirahat semalam. Esok harinya, Nabi berganti pakaian dengan mengenakan kain ihram. Demikian pula orang-orang Muslim lainnya. Mereka kemudian bergerak lagi ke arah Mekah. Seruan talbiah (‘labbaika Allahumma labbaika…..’) tak putus-putusnya dialunkan. Sungguh bagai sebuah pentas drama luar biasa di alam nyata. Hampir seratus ribu bergerak bersama dalam seragam putih-putih sederhana menyusuri gurun pasir dan lembah pebukitan. Suara mereka bersahut-sahutan membahana, memenuhi seluruh ruang yang ada di perjalanan itu.

Pada hari keempat, mereka tiba di Mekah. Rasulullah menuju ka’bah, puluhan ribu orang itu menuju ka’bah. Rasul menyentuh dan mencium hajar aswad, puluhan ribu orang itu menyentuh dan mencium hajar aswad. Rasul bertawaf berlari kecil mengelilingi ka’bah, puluhan ribu orang itu bertawaf. Demikian seterusnya. Sampai rasul salat di maqam Ibrahim, kembali mencium hajar aswad, lalu ber-sa’i antara bukit Shafa dan Marwa. Usai sa’i, Rasul memerintahkan orang-orang yang tak membawa hewan kurban agar melepaskan pakaian ihramnya.

Dari Yaman, rombongan Ali kemudian bergabung dengan Rasul di Mekah. Mereka tinggal di kota itu sampai Hari Tarwiyah, yakni tanggal 8 Zulhijah. Hari itu, Muhammad dan rombongan pergi ke Mina. Di sana, Rasul terus berada di dalam kemah, termasuk ketika melaksanakan salat. Esoknya, usai salat subuh, Rasul bersiap untuk berangkat menuju Arafah. Pagi itu pula, Muhammad bergerak menuju Namira dan terus beristirahat di sana.

Mendekati siang, Rasul kembali meminta untanya, Al-Qashwa. Ia berjalan menuju ke tengah wadi di daerah ‘Urana-Arafah. Dari atas untanya itu, Rasul menyerukan khutbahnya yang terkenal tersebut. Kata-katanya sangat jelas. Pada setiap kalimat, Muhammad berhenti sejenak. Rabi’a bin Umayya, mengulang kata-kata itu, dengan suara lantang sehingga isi khutbah didengar oleh semua jamaah.

Muhammad menutup khutbahnya dengan berkata: “Ya Allah, sudah kusampaikan!” Serentak jamaah pun menjawab: “Benar”. Lalu Muhammad menambahkannya: “Ya Allah, saksikan ini.”

Rasul pun turun dari untanya. Ia terus di sana sampai waktu sembahyang dzuhur dan asar. Setelah itu, ia menaiki untanya kembali menuju Sakharat. Di sana, Muhammad membacakan firman Allah, Surat Al-Maidah ayat 3: “Hari ini, Kusempurnakan bagimu semua agamamu ini, dan Kucukupkan nikmat-Ku padamu, serta Kuridhoi Islam sebagai agamamu.”

Abu Bakar menangis mendengar ayat tersebut. Inilah isyarat bahwa risalah Rasul telah tuntas. Malam itu, Rasul meninggalkan Arafah dan menginap di Muzdalifa. Pagi hari ia turun ke Masyaril Haram, kemudian ke Mina untuk melemparkan kerikil ke Jumrah. Di kemah, Rasulullah menyembelih 63 ekor unta -jumlah yang sebanyak tahun usianya. Muhammad kemudian mencukur rambutnya, mengakhiri ibadah haji ini. Satu-satunya ibadah haji besar yang dilakukannya.

 

Masa Awal di Madinah

Tak mudah bagi Rasulullah menjalani hari-hari pertamanya di Madinah. Berbagai masalah telah menghadang. Para pengikutnya asal Mekah, muhajirin, tak mempunyai makanan, apalagi pekerjaan. Antara Muhajirin dan Anshar dapat bersaing berebut hati Muhammad. Kaum Khazraj dan Aus masih mungkin bertikai lagi. Musuh setiap saat dapat menyerang. Baik kaum Qurais di Mekah, maupun Yahudi tetangga mereka sendiri.

Di saat begitu pelik, Rasulullah mencetuskan gagasan. Sebuah gagasan cemerlang menurut ilmu strategi lantaran memenuhi kriteria “sangat sederhana” dan “sangat mudah dilaksanakan”. Yakni mempersaudarakan satu orang dengan satu orang lainnya, tanpa peduli asal-usul Mekah atau Madinah serta dari keluarga manapun. Cara seperti itu sekarang dipakai dalam pelatihan atau ‘training’ yang dikembangkan masyarakat Barat. Mereka menggunakan istilah ‘buddy system’. Setiap dua orang saling “menjaga” dengan cara membantu dan mengingatkan masing-masing.

Dengan cara itu berbagai persoalan teratasi sekaligus. Mereka tinggal memusatkan perhatian pada berbagai persoalan di depan. Muhammad “bersaudara” dengan Ali. Hamzah dengan Zaid yang dulu menjadi budaknya. Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid. Umar dengan Ithban bin Malik.

Satu riwayat menjelaskan pola persaudaraan itu. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan seorang Anshar -warga asli Madinah- Sa’ad bin Rabi’. Sa’ad menawarkan separuh hartanya, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sana, ia berdagang mentega dan keju sehingga sukses besar. Kisah lain menyebutkan bahwa Abdurrahman juga dipinjami uang. Dengan uang itu ia membeli sebidang tanah di samping pasar yang telah ada.

Saat itu, pasar yang ada adalah milik seorang Yahudi dengan konsep serupa mal sekarang. Pedagang boleh berjualan di pasar itu dengan menyewa tempat pada pemilik tanah. Abdurrahman lalu membuat pengumuman bahwa siapa saja boleh berdagang di tanahnya tanpa harus menyewa. Hanya bila untung, pedagang menyisihkan sebagian uang (“fee” atau “bagi hasil”) bagi Abdurrahman selaku pemilik tanah. Bila tidak ada keuntungan mereka tak perlu membayar apapun.

Sontak, hampir semua pedagang pindah ke “pasar” Abdurrahman bin Auf. Bagi mereka, sistem ini lebih adil dan tak merugikan pedagang sama sekali. Maka, konsep Abdurrahman bin Auf ini menjadi salah satu rujukan bagi pengembangan sistem ekonomi syariah sekarang.

Muhammad lalu membangun budi pekerti atau akhlak masyarakat. Ia percaya, itulah pondasi untuk membangun masyarakat. Ia tekankan pentingnya semua orang untuk berlaku santun dan saling menghormati. Ia tunjukkan keutamaan manusia untuk bekerja dan bukan meminta-minta. Ia tegaskan “tangan di atas (memberi) lebih baik dari tangan di bawah (menerima).” Juga keharusan untuk membantu tetangga atau orang kesusahan tanpa melihat suku maupun agama. Muhammad bahkan melarang pengikutnya untuk menghormati dirinya secara berlebihan. Ia tak mau dihormati berlebihan seperti penghormatan yang diberikan pada Nabi Isa.

Pada masa inilah, ibadah ritual diajarkan. Mulai dari salat, puasa hingga zakat. Rasul juga menyeru pentingnya salat berjamaah. Lalu ia dan para sahabat berdiskusi soal bagaimana mengingatkan datangnya waktu salat. Ada usulan agar menggunakan terompet seperti Yahudi. Atau dengan lonceng seperti kaum Nasrani. Namun kemudian Rasul meminta Bilal -melalui Abdullah bin Zaid- untuk menyerukan azan. Sejak itu, setiap waktu salat tiba, Bilal selalu berdiri di atap rumah seorang perempuan Banu Najjar di samping masjid untuk menyeru azan. Tempat itu lebih tinggi ketimbang atap masjid.

Rasul pun membangun Madinah sebagai sebuah ‘Republik kota’. Untuk itu ia merumuskan deklarasi yang mengikat seluruh warga. Isi deklarasi yang sangat menyeluruh itu antara lain adalah jaminan bagi “kebebasan beragama”. Mula-mula, deklarasi ditandatangani bersama Yahudi Bani Auf. Kemudian juga dengan Bani Quraiza, Bani Nadzir dan Qainuqa.

Hubungan harmonis Muslim-Yahudi tersebut menarik perhatian kalangan Nasrani. Saat itu, di kancah global, Nasrani mengusai peta politik melalui dominasi Kerajaan Romawi. Rombongan kaum Nasrani dari Najjran -yang disebut menggunakan “60 kendaraan”-pun berkunjung ke Madinah. Maka terjadilah dialog antar agama yang langsung melibatkan Rasulullah.

Namun, hubungan antar agama tak selalu mulus. Para pemuka Yahudi acap melancarkan polemik terhadap Islam. Mereka menguasai dalil-dalil yang diturunkan oleh Musa. Mereka juga lebih berpendidikan ketimbang orang-orang Qurais di Mekah. Muhammad kini menghadapi tantangan baru yang lebih sulit: perang wacana atau argumentasi. Sebuah tantangan serupa yang harus dihadapi umat Islam di abad 21 ini.

Saat itu Muslim dan Yahudi sama-sama menghadap Baitul Maqdis-Yerusalem, dalam beribadah. Allah kemudian menurunkan wahyu agar Umat Islam beralih untuk menghadapkan wajah ke Ka’bah di Mekah. Wahyu tersebut turun saat Muhammad tengah salat dhuhur berjamaah di rumah seorang janda tua. Muhammad dan beberapa sahabat datang untuk menghibur perempuan yang baru ditingal mati keluarganya itu. Konon, Muhammad hendak pulang sebelum dhuhur. Namun perempuan itu menahannya, meminta Muhammad untuk menunggu makan siang yang tengah disiapkannya.

Seperti biasanya, Muhammad salat menghadap ke Yerusalem, dari Madinah ke arah utara. Begitu wahyu tersebut turun di tengah salat, Muhammad membalikkan badan menghadap ke selatan, ke arah Ka’bah di Mekah. Rumah perempuan itu sekarang menjadi Masjid Kiblatain -atau masjid dengan dua kiblat di Madinah.

 

Melawan Romawi

“Jangan membunuh perempuan, bayi, tuna netra serta anak-anak. Jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon.” Kata-kata itu diucapkan oleh Rasul. Tiga ribu pasukan pilihannya telah beranjak meninggalkan Madinah. Muhammad mengantarkan mereka sampai keluar kota. Mereka hendak melaksanakan misi suci. Muhammad secara khusus berdoa buat mereka. “Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.” Para prajurit itu bergemuruh menuju utara, ke arah Syam.

Syam. Syria sekarang. Sudah lama Muhammad mengincar kawasan ini untuk dakwahnya. Wilayah ini berada di jalur utama perdagangan dunia saat itu, Cina-Eropa. Di Syam pula jalur itu bercabang menuju jazirah Arab dan Yaman, serta menuju Mesir dan seluruh wilayah di Afrika. Maka Rasulullah beberapa kali mengirim misi dakwah ke arah itu.

Salah satu misi tersebut adalah ke Dathut Thalha, perbatasan Syam. Muhammad mengirim 15 orang sahabatnya untuk mengajar Islam. Namun mereka dibunuh tanpa alasan yang jelas. Hanya satu orang selamat. Kejadian tersebut diyakini sebagai alasan Muhammad untuk mengirim pasukan perangnya. Namun ada juga yang menilai bahwa pengiriman pasukan itu terjadi setelah duta Rasulullah yang membawa surat ajakan masuk Islam pada Gubernur Bushra dibunuh oleh seorang badui Ghassan atas nama Heraklius -penguasa Romawi.

Maka Muhammad pun mengirim pasukannya. Ia mengangkat Zaid bin Haritsa, anak angkatnya, untuk memimpin pasukan itu. Sekiranya Zaid meninggal, Muhammad berpesan agar komando diserahkan pada Ja’far bin Abu Thalib. Seandainya maut juga merenggut Ja’far, kepemimpinan agar diserahkan Abdullah bin Rawaha -salah seorang ksatria yang sangat disegani.

Syuhrabil, Gubernur Romawi untu Syam, telah mendengar kabar gerakan pasukan Muhammad itu. Ia lalu memobilisasi tentara dari kabilah-kabilah setempat buat menghadang. Ia juga minta Heraklius untuk mengirim pasukan tambahan. Maka berkumpullah pasukan yang diperkirakan mencapai jumlah 100-200 ribu yang terdiri dari pasukan Romawi asal Yunani,serta orang Lakhm, Jundham, Bahra, Qain dan lainnya. Ada riwayat yang menyebut Heraklius memimpin sendiri pasukannya. Namun ada yng menyebut bahwa komandan pasukan itu bukan Heraklius melainkan Theodore, saudara raja.

Di Ma’an, kamu muslimin sempat berhenti selama dua malam. Mereka gamang melihat kekuatan lawan yang sangat besar. Namun Abdullah bin Rawaha mengobarkan semangat. Bukankah mereka semua pergi ke medan laga untuk mendapatkan hal yang mereka idamkan: mati syahid.

Pasukan muslim memgambil posisi di Mu’ta. Di sini mereka digempur habis-habisan tentara Romawi. Zaid bertempur habis-habisan sampai tombak lawan menembus dadanya. Komando lalu diserahkan pada Ja’far, yang mempertahankan bendera mati-matian. Kabarnya, ketika tangan kanannya dipenggal, Ja’far memegang bendera dengan tangan kirinya. Begitu tangan kirinya dipenggal, ia mencoba tetap menegakkan tangkai bendera: memeluk dengan kedua bahunya. Saat itulah kepala Ja’far dibelah.

Abdullah anak Rawaha mengambil alih komando. Namun ia pun gugur. Dalam keadaan carut-marut, pasukam Muslimin aklamasi menunjuk Khalid bin Walid. Khalid kemudian membuat strategi yang membingungkan lawan. Pasukannya mengggempur lawan secara sporadis sampai hari petang, kemudian mereka mundur. Namun, pada pagi buta, ia menyebar pasukan seluas mungkin, lalu secara serempak menyerang. Hal demikian membuat kekuatan Romawi menjadi kacau.

Dalam keadaan tak terkoordinasi, tentara Romawi berlarian mundur. Saat itu pula, pasukan Islam yang telah sangat banyak menderita, juga menarik diri ke Madinah. Sebagian kaum Muslim di Madinah meneriaki mereka sebagai pengecut karena lari dari medan perang. Namun Muhammad justru memuji kegagagahan mereka. Sambil bercucur air mata, Muhammad merangkul anak Zaid dan membelai rambutnya. Ia juga menemui anak dan istri Ja’far.

Sekilas misi tersebut gagal. Namun, secara moral, pasukan Islam telah menang. Sepak terjang Khalid telah mengundang simpati lawan. Farwa anak Amir dari suku Jundham yang menjadi salah seorang komandan pasukan Romawi sangat kagum pada Khalid. Sembilan pedang telah dihabiskan Khalid. Siasatnya yang cerdik mampu menyelamatkan pasukan Islam dari kehancuran total, dan bahkan membikin kalang kabut lawan.

Farwa kemudian masuk Islam. Heraklius marah besar. Kaisar itu menyatakan akan mengampuni Farwa, dan berjanji mengembalikannya ke jabatan semula bila bersedia memeluk Nasrani kembali. Farwa menolak. Ia lalu dihukum mati. Tindakan Romawi tersebut justru membuat orang-orang Arab di sekitar Syam berpaling pada Muhammad. Kebencian terhadap Romawi malah bekembang.

Maka, ketika kemudian mengirim kembali misi ke arah Syam, Muhammad mencatat sukses besar. Misi yang dikomandoi Amr Bin Ash berjalan mulus, praktis tanpa perlawanan apapun. Islam kini telah siap untuk menyebar ke tempat yang lebih jauh. Ke Afrika Utara dan Eropa di arah Barat, serta ke Asia di arah Timur.

 

SIRAH MUHAMMAD

Menjelang Kelahiran

Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail -nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. Para nenek moyang Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah, tempat yang menjadi tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali. Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi.

Tugas Qusay sebagai penjaga ka’bah adalah memegang kunci (‘hijabah’), mengangkat panglima perang dengan memberikan bendera simbol yang dipegangnya (‘liwa’), menerima tamu (‘wifadah’) serta menyediakan minum bagi para peziarah (‘siqayah’).

Ketika lanjut usia, Qusay menyerahkan mandat terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar. Namun anak keduanya, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta si kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah tumpah saat pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda keturunan mereka bakal berseteru.

Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi disepakati. Separuh hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan pada anak-anak Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut.

Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan Umayah -seperti Abu Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan keturunan Hasyim.

Hasyim lalu menikahi Salma binti Amr dari Bani Khazraj -perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya dikenal sebagai Abdul Muthalib -kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad dengan Madinah, kota yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah. Syaibah tinggal di Madinah sampai Muthalib -yang menggantikan Hasyim karena wafat-menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekah sempat menyangka Syaibah sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib mewarisi kehormatan menjaga Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya semakin menjulang setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat berbuat fatal: berjanji akan mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia dikaruniai 10 anak. Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan janjinya. Nama sepuluh anaknya dia undi (‘kidah’) di depan arca Hubal. Abdullah -ayah Muhammad-yang terpilih.

Masyarakat menentang rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli nujum. Ahli nujum tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti dengan unta asalkan nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang dipertaruhkan. Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta terus ditambah sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang keluar dalam undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.

Peristiwa besar yang terjadi di masa Abdul Muthalib adalah rencana penghancuran Ka’bah. Seorang panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani, Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka’bah baru dan megah di Yaman, serta akan menghancurkan Ka’bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya untuk menyerbu Mekah.

Mendekati Mekah, Abrahah menugasi pembantunya -Hunata-untuk menemui Abdul Muthalib. Hunata dan Abdul Muthalib menemui Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila mereka dibiarkan menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran Ka’bah terjadilah petaka tersebut. Qur’an menyebut peristiwa yang menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fil. “Dan Dia mengirimkan kepada mereka “Toiron Ababil”, yang melempari mereka dengan batu-batu cadas yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun dimakan ulat”.

Pendapat umum menyebut “Toiron Ababil” sebagai “Burung Ababil” atau “Burung yang berbondong-bondong”. Buku “Sejarah Hidup Muhammad” yang ditulis Muhammad Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya wabah Sampar atau Anthrax -penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor -hujan batu panas yang berjatuhan atau ‘terbang’ dari langit. Wallahua’lam. Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad.

Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis Caussin de Perceval dalam ‘Essai sur L’Histoire des Arabes’ yang dikutip Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram.

Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka’bah dan diberi nama Muhammad yang berarti “terpuji”. Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama bayi itu Qustam -serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun Aminah -berdasarkan ilham-mengusulkan nama Muhammad itu.

 

Menjelang Wahyu Tiba

Mekah memang tampak tenang. Penduduk bekerja seperti biasa, dan sesekali -terutama bila menghadapi kesulitan– datang ke Ka’bah untuk menyembah atau menyerahkan sesaji pada arca-arca. Ada 300-an arca di sana. Hubal adalah arca terbesar berbentuk laki-laki. Konon, patung itu terbuat dari batu akik.

Di perkampungan di luar Mekah, tiga berhala sangat didewakan. Mereka dinamai Lat, Uzza dan Manat. Ketiganya adalah patung berwujud perempuan. Penyembahan berhala itu bukan tidak masuk akal, namun juga tak membuat perilaku masyarakat mengarah pada kebaikan.

Diam-diam penolakan terhadap berhala mulai terjadi. Hal tersebut nyata ketika semua warga berkumpul di Nakhla menghormati Uzza. Beberapa orang menyelinap pergi. Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Zaid bin Amr, Usman bin Huwairith serta Ubaidullah bin Jahsy. Mereka berupaya mencari kebenaran yang dapat memuaskan dahaga rohani dan pikirannya.

Waraqah kemudian menjadi pemeluk teguh agama Nasrani. Demikian pula Usman yang pergi ke Romawi. Suatu saat, ia kembali ke Mekah dan berusaha menaklukkan wilayah tersebut sehingga ia diangkat menjadi Gubernur Romawi di situ. Namun ia dibunuh warga Arab. Ubaidullah sempat masuk Islam dan ikut hijrah ke Mesir, namun ia memutuskan tinggal di sana dan berganti agama menjadi Kristen. Istrinya, Ummu Habiba, tetap memeluk Islam dan dinikahi Rasulullah SAW setelah Khadijah wafat.

Muhammad telah berinteraksi dengan para pemeluk Nasrani dan Yahudi yang juga mengesakan Sang Pencipta. Secara diam-diam ia menggugat masyarakatnya yang menyembah berhala. Maka, Muhammad pun sering mengasingkan diri ke Gua Hira -tempat yang sangar namun berpemandangan indah di puncak bukit batu, 6 km di Utara Mekah. Sepanjang bulan Ramadhan, setiap tahun, Muhammad selalu berada di sana sendirian dengan hanya membawa sedikit bekal. Hati dan pikirannya bergolak mencari kebenaran, sampai terjadilah peristiwa itu.

Saat itu Muhammad berusia 40 tahun. Pada malam yang diyakini sebagai tanggal 17 Ramadhan, 610 Masehi, ‘seseorang’ yang kemudian diketahui sebagai Malaikat Jibril, mendatanginya di Gua Hira saat ia tertidur. Malaikat itu mendesaknya. “Bacalah,” katanya. “Aku tak bisa membaca,” kata Muhammad. “Bacalah,” seru malaikat itu lagi dengan tangan seraya mencekik Muhammad. “Apa yang akan kubaca?” tanya Muhammad pula.

Selanjutnya, Malaikat itupun menuntunnya untuk membaca ayat-ayat yang kemudian disebut sebagai wahyu pertama bagi Muhammad SAW. “Bacalah! Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang belum diketahuinya…”

Muhammad gemetar. Ia segera berlari menuruni gunung, pulang menjumpai Khadijah. Khadijah pun membimbing Muhammad, menyelimutinya di pembaringan, serta membesarkan hati suaminya dengan kata-kata.

“Wahai putra pamanku (cara Khadijah memanggil Muhammad), bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia pemegang kendali hidup Khadijah, aku berharap engkau (Muhammad) akan menjadi Nabi atas umat ini. Allah sama sekali tak akan mempetolokkanmu, sebab engkau yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata; kau yang mau memikul beban orang lain, menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”

Malam itu, jarum waktu telah bergerak. Muhammad telah ditunjuk sebagai Rasul -detik-detik yang memungkinkan kebenaran tersebar ke seluruh jagad hingga sekarang. Juga yang membuat para pelaku keonaran dan kemaksiatan terus memusuhi Muhammad.n

 

Pembebasan Mekah

Tanpa terasa masyarakat Islam menguat dengan sangat cepat. Di utara, di antara Syria dan Irak sekarang, masyarakat berbondong-bondong mengikuti Islam. Hal demikian semakin memerosotkan wibawa pemerintahan Romawi yang berkuasa di wilayah itu. Di jazirah Arab, justru tinggal masyarakat Mekah dn sekitarnya yang masih memusuhi Islam.

Namun, perubahan keadaan berlangsung dengan sangat cepat. Tanpa diduga, pihak Qurais melanggar perjanjian damai mereka dengan kaum Muslim. Bani Bakar yang berada di pihak Qurais, tiba-tiba menyerang Bani Khuza’a yang menurut perjanjian Hudaibiya berada di pihak muslim. Beberapa orang Khuza’a tewas. Hal itu dilaporkan oleh pemuka masyarakat setempat, Budail anak Warqa pada Muhammad di Madinah.

Abu Sofyan berupaya mencegah keberangkatan Budail. Namun terlambat. Ia juga berusaha menemui Muhammad di Madinah. Tapi, tak satupun orang di Madinah bersedia membantu itu. Ummu Habibia, putri Abu Sofyan yang telah memeluk Islam, pun menolak mempertemukan ayahnya itu dengan Sang Rasul. Pulanglah Abu Sofyan.

Perjanjian Hudaibiya telah batal. Sekarang tak ada lagi larangan bagi Muhammad untuk mengerahkan pasukannya mengepung Mekah. Itulah yang dilakukannya. Pasukan muslim disiagakan untuk perjalanan tersebut. Di tengah jalan, berbagai kabilah bergabung dengan mereka. Termasuk kabilah-kabilah dari Ghatafan yang dulu bersama Qurais hendak menggempur Madinah di Perang Khandaq. Diperkirakan jumlah pasukan itu mencapai 10 ribu orang.

Kaum Qurais masih berdebat ketika rombongan Muhammad hampir mencapai Mekah. Tak ada informasi apapun atas gerakan pasukan itu. Seorang muslim Madinah, Hatib bin Abu Balta’a, sempat membocorkan rencana tersebut lantaran tidak tega membayangkan nasib yang akan ditanggung para saudaranya di Mekah. Namun Ali dan Zubair dapat mengejar Sarah, perempuan yang dititipi surat tersebut.

Di dekat Mekah, di Maraz Zahran, rombongan Muhammad berhenti. Di sana, beberapa orang kerabatnya dari Bani Hasyim, mendatangi Muhammad dan menyatakan diri masuk Islam. Paman Muhammad, Abbas bin Abdul Muthalib, juga datang untuk mencegah terjadinya banjir darah. Abbas sempat mondar-mandir di antara kedua kubu, sebelum kemudian memergoki Abu Sufyan bin Harb. Pemimpin tertinggi Qurais itu lalu dibawanya pada Muhammad.

Malam itu Muhammad tidak menemui Abu Sufyan. Namun ia berpesan agar musuh besarnya tersebut dilindungi keselamatannya hingga pertemuan esok harinya. Dalam pertemuan itu, Muhammad berjanji untuk tidak memerangi Qurais. “Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan, orang itu selamat. Barang Siapa menutup pintu rumahnya, orang itu selamat. Barangsiapa masuk ke dalam masjid (lingkungan ka’bah), orang itu selamat.” Pada prinsipnya, siapa yang tidak mengangkat senjata pada kaum muslimin, mereka tidak akan diperangi.

Toh Muhammad tetap bersiaga seandainya pecah perang. Pasukan elit yang mengenakan pakaian serba hijau dan berbaju zirah telah mengelilingi Muhammad. Empat regu pasukan disiapkan. Masing-masing dipimpin oleh Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Ubada serta Abu Ubaidah bin Jarrah. Mereka bersiap memasuki Mekah dari arah yang berbeda.

Sa’ad bin Ubada sempat berbuat keliru. Ketika memasuki Mekah, Sa’ad berteriak: “Hari ini adalah hari perang. Hari dibolehkannya segala yang terlarang…” Seruan yang bertolak belakang dengan janji Muhammad untuk memasuki Mekah secara damai. Muhammad segera merebut bendera komando dari tangan Sa’ad dan menyerahkannya pada Qais, anak Sa’ad yang sekalipun berbadan besar namun lembut hati.

Namun, dari arah belakang tiba-tiba pasukan Ikrima bin Abu Jahal tiba-tiba menyerang. Khalid menghadapi seranagn tersebut. Tiga belas orang Qurais tewas, sisanya -termasuk Ikrima-melarikan diri. Sementara itu, di Mekah tak setetes pun darah mengalir karena serbuan kaum Muslimin. Muhammad masuk Mekah dari Bukit Hind, tak jauh dari makam Khadijah, istrinya. Ia berhenti sebentar di kemah lengkung yang ada di situ, dan melepas pandangan ke seluruh penjuru Mekah. Rasul pergi ke ka’bah, menyentuh hajar aswad dan mengelilingi ka’bah untuk bertawaf. Rasul juga meminta Utsman bin Talha untuk membuka pintu ka’bah. Di pintu itu ia berdiri dan berkhutbah di hadapan hadirin.

Rasul, dalam khutbahnya, mengutip Quran surat Al-Hujurat ayat tiga belas. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antaramu menurut pandangan Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengerti.”

Ketika orang Qurais tengah menunggu-nunggu hukuman apa yang bakal dijatuhkan bagi mereka, Muhammad justru berkata: “Fadzhabu, faantumut-thulaqau”. “Pergilah, kalian bebas sekarang.” Tujuh belas orang tokoh yang dianggap paling makar telah dijatuhi hukuman mati. Namun mereka juga diampuni, termasuk Hindun, istri Abu Sufyan yang telah merobek dada serta memakan jantung Hamzah dalam perang Uhud. Hanya empat orang yang telanjur telah dieksekusi.

Muhammad kemudian meminta orang-orang untuk menyingkirkan patung-patung di sekitar ka’bah. Setelah itu, Bilal menyeru azab lima kali dalam sehari. Sejak itulah azan tak pernah berhenti berkumandang dari tempat yang kini menjadi Masjidil Haram di Mekah itu, sampai sekarang.n

 

Perang Badar

Kehidupan di Madinah semakin stabil. Perekonomian berjalan lancar. Muhammad perlu menjaga ketenangan tersebut. Maka ia pun membangun kekuatan tempur. Beberapa ekspedisi militer dilakukan. Diantaranya dengan mengirim ekspedisi ke wilayah Ish, tepi Laut Merah yang dikomandani Hamzah. Pasukan ini nyaris bentrok dengan pasukan Abu Jahal. Pasukan Ubaidah bin Harith yang dikirim ke Wadi Rabigh – Hijaz-berpapasan dengan tentara Abu Sofyan. Pasukan Saad bin Abi Waqash pun berpatroli ke Hijaz.

Muhammad bahkan memimpin sendiri milisi Muslim. Itu dilakukannya setelah setahun di Madinah. Mula-mula ia pergi ke Abwa dan Wadan. Kedua, ia memimpin 200 pasukan ke Buwat. Ketiga, Muhammad pergi ke ‘Usyaira di mana ia tinggal selama bulan Jumadil Awal hingga awal Jumadil Akhir. Saat Rasul pergi, kepemimpinan di Madinah diserahkan pada Saad bin Ubada, dan kemudian Abu Salama bin Abdul As’ad. Hasil misi tersebut adalah kesepakatan persekutuan dengan Bani Dzamra dan Bani Mudlij. Hal ini memperkuat posisi Madinah dalam berperang dengan Mekah.

Namun bentrok tak terhidarkan. Pasukan Kurz bin Jabir dari Mekah menyerang pinggiran Madinah, merampas kambing dan unta. Muhammad -setelah menyerahkan kepemimpinan di Madinah– memimpin sendiri pasukan mengejar Kurz. Banyak yang menyebut peristiwa ini sebagai Perang Badar pertama. Kemudian pasukan Muslim pimpinan Abdullah bin Jahsy bentrok dengan rombongan Qurais pimpinan Amr bin Hadzrami. Amr tewas terpanah oleh Waqid bin Abdullah Attamimi. Dua orang Qurais tertawan.

Setelah itu, Muhammad dan pasukan pergi ke Badar untuk memotong jalur perdagangan Mekah dan Syam. Abu Sofyan, pemimpin kafilah yang hendak pulang dari Syam, mengirim kurir minta bantuan penduduk Mekah. Abu Jahal segera memobilisasi bantuan itu.

Pada hari kedelapan bulan Ramadhan, tahun kedua hijriah, pasukan Muslim bergerak. Setiap tiga atau empat orang menggunakan satu unta, naik bergantian. Tanpa kecuali Muhammad yang bergantian dengan Ali serta Marthad bin Marthad. Rombongan berjumlah 305 orang. Mereka terdiri dari 83 muhajirin, 61 orang Aus, yang lain orang Khazraj. Pimpinan kota Madinah diserahkan pada Abu Lubaba, sedang imam masjid pada Amr bin Ummu Maktum.

Siasat segera dibangun. Mulai dari posisi pasukan hingga mengukur kekuatan lawan. Muhammad semula menetapkan posisi di suatu tempat. Sahabatnya, Hubab, bertanya apakah posisi itu merupakan petunjuk dari Allah? Setelah dijawab “bukan”, Hubab menyarankan suatu strategi. Yakni memilih posisi di ujung depan, sehingga sumur-sumur berada di belakangnya. Dengan demikian, kaum Qurais berperang tanpa akses air. Sedangkan muslim punya banyak cadangan air.

Selain itu, Saad bin Mudhab juga membangun gubuk sebagai pos bagi Muhammad untuk memberikan komando. Ia keberatan bila Rasul berada di garis depan. Dengan demikian, jika pasukan Muslim kalah, Muhammad tak dapat ditawan lawan, melainkan dapat segera mengorganisasikan pasukan baru yang tinggal di Madinah. Rasul juga menaksir jumlah kekuatan lawan dari banyaknya unta yang dipotong. Dengan 9-10 unta dipotong setiap hari, berarti kekuatan lawan sekitar 1000 orang.

Beberapa kaum Qurais sempat berpikir untuk menghindari perang. Bagaimanapun antara mereka mempunyai hubungan kekerabatan. Namun Abu Jahal berkeras. Aswad bin Abdul Asad lalu menerjang maju, dan langsung tersungkur oleh pedang Hamzah. Kemudian dua bersaudara Uthba’ dan Syaiba bin Rabia, serta Walid anak Uthba maju bersama yang segera disongsong Hamzah, Ali dan Ubaida bin Harith. Ketiga penyerang itu tewas.

Serentak pertempuran berlangsung di semua lini. Bilal bin Rabah menewaskan bekas tuannya, Umayya. Abu Jahal tewas di tangan Mu’adh. Perang berkecamuk persis pada tanggal 17 di tengah terik bulan Ramadhan. Qurais kalah besar. Beberapa orang ditawan. Rasul memerintahkan eksekusi langsung pada dua orang yang dikenal sangat sering menjelek-jelekkan Islam, Nadzr bin Harith dan Uqba anak Abi Muait.

Sempat terjadi perdebatan di kalangan muslim. Abu Bakar yang dikenal lemah lembut, meminta agar tawanan ditahan secara wajar sampai kaum Qurais -sesuai tradisi masa itu-menebusnya. Umar yang tegas minta agar semua tawanan dibunuh. Rasul memutuskan yang pertama.

Mereka yang berasal dari keluarga kaya, harus membayar mahal tebusan. Sedangkan yang miskin dapat dibebaskan tanpa membayar apapun. Zainab -putri Muhammad yang tinggal di Mekah-membebaskan suaminya, Zaid bin Haritsa dengan cincin peninggalan Khadijah. Zaid dibebaskan namun diminta menceraikan Zainab. Suatu saat Zaid kembali ditawan muslim di Madinah, ia lalu masuk Islam dan kembali menikah dengan Zainab.

Suasana di Mekah sangat muram. Abu Lahab, sepulang perang, kemudiam demam sampai ia meninggal. Namun Hindun bin Uthba -istri Abu Sufyan-justru menggalang kembali kekuatan. Ia bersumpah akan membalas dendam kematian ayah, paman serta saudara di perang itu. Ia buktikan sumpahnya dalam Perang Uhud.

Adapun di Madinah, di saat Rasul dan pasukannya pergi ke Badar, ketegangan mencuat antara Muslim dengan Yahudi. Seorang Yahudi, Ka’ab diketahui memprovokasi kalangannya agar mengganggu para perempuan muslim. Puncaknya adalah ketika Yahudi mengait baju perempuan Muslim hingga kainnya tersingkap. Mereka ramai-ramai menertawakan perempuan itu. Seorang muslim mencabut pedangnya dan membunuh laki-laki Yahudi itu. Ia kemudian juga dibunuh. Ka’ab kemudian dibunuh oleh orang-orang Islam. Demikian juga dua orang Yahudi yang selalu mengata-ngatai Islam, Abu Afak dan Ashma.

Setelah Rasul kembali ke Madinah, Yahudi Bani Qainuqa pembuat onar dan melanggar kesepakatan damai itu mereka kucilkan. Kabilah tersebut kemudian pindah ke Adhriat -ke arah Yerusalem. Untuk sementara, kehidupan Madinah kembali tenang.n

 

Perang Hunain

Lima belas hari Muhammad berada di Mekah. Segala sesuatunya tampak berjalan lancar. Tapi, belum. Penyerahan warga Mekah tak diikuti masyarakat di sekitarnya. Orang-orang Hawazin dan Thaqif yang mendiami daerah yang lebih subur ketimbang Mekah, justru mengangkat senjata. Seorang pemuda berkharisma, Malik anak Auf, mengumpulkan seluruh kabilah yang ada.

Laki-laki, perempuan, anak-anak bahkan seluruh ternak dikumpulkannya di dataran Autas. Hawa perang dikobar-kobarkannya. Hal demikian sempat dikritik oleh seorang pejuang tua, Duraid. Namun semangat perang Malik tetap menggelegak. Tak ada satupun orang di lingkungannya yang mampu menahan kobaran semangat itu.

Muhammad telah mendengar ancaman dari Malik. Ia lalu mengumpulkan pasukannya. Kini mereka bukan hanya pasukan dari Madinah ditambah berbagai kabilah yang telah bergabung. Mereka diperkuat pula oleh tentara Qurais. Abu Sufyan, yang baru menyerah pada Muhammad, ikut serta di dalamnya. Mereka kemudian bergerak ke lembah Hunain. Jumlah pasukan itu ditaksir sekitar 12 ribu.

Saat itu, tampaknya pasukan Muslim terlampau percaya diri. Berhasil menaklukkan Mekah dengan mudah, membuat mereka kurang bersiaga pada jebakan lawan. Mereka berhasil memasuki lembah Hunain dengan aman, dan kini menyusur ke arah bawah menuju wadi di Tihama. Ketika fajar belum lagi merekah, tiba-tiba pasukan Malik bin Auf menghujani mereka dengan anak panah dari lereng-lereng bukit. Pasukan muslim berlarian menyelamatkan diri.

Orang-orang Qurais yang mengikuti ajaran Muhammad dengan setengah hati tertawa terkekeh-kekeh melihat kejadian tersebut. Mereka senang melihat orang-orang Madinah kena musibah. “Mereka tak akan berhenti lari sebelum sampai ke laut,” Abu Sufyan.

Muhammad pun meneriaki pasukannya untuk berhenti. “Mau ke mana kalian? Mau ke mana?” seru Muhammad. Abbas yang bersuara lantang pun memanggil-manggil mereka. Suaranya bergema ke lembah-lembah perbukitan itu. “Marilah saudara-saudara, Muhammad masih hidup,” serunya. Baru beberapa saat kemudian mereka kembali lagi. Pasukan pun diatur kembali.

Orang-orang Hawazin telah keluar dari tempat persembunyiannya untuk mengejar pasukan Muslim. Sebaliknya, pasukan Islam juga telah diorganisasikan kembali. Maka, pagi itu, perang pun pecah tanpa terelakkan lagi. Kali ini Hawazin kalah total. Mereka berlarian dengan meninggalkan 22 ribu unta dan 40 ribu kambing. Malik bin Auf lolos dalam peperangan ini. Ia mundur bersama orang-orang Hawazin, namun kemudian berbelok ke Ta’if, yang menjadi benteng orang-orang Thaqif.

 

SIRAH NABAWIYAH


SIRAH NABAWIYAH ( 10 )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
PEMBOIKOTAN MENYELURUH

Perjanjian yang zhalim dan melampaui batas

Setelah segala cara sudah ditempuh dan tidak membuahkan hasil juga, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi mereka mengetahui bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muththalib berkeras akan menjaga Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan membelanya mati-matian apapun resikonya.

Karena itu, mereka berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang terletak di lembah al-Mahshib dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut, diatas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk dibunuh”.

Ibnu al-Qayyim berkata: “Ada yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Manshûr bin ‘Ikrimah bin ‘Âmir bin Hâsyim. Ada lagi yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Nadlr bin al-Hârits. Yang benar, bahwa yang menulisnya adalah Baghîdl bin ‘Âmir bin Hâsyim, lalu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berdoa atasnya (dengan doa yang buruk) dan dia pun mengalami kelumpuhan ditangannya sebagaimana doa beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam .

Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di rongga Ka’bah namun Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semuanya, baik yang masih kafir maupun yang sudah beriman selain Abu Lahab tetap berpihak untuk membela Rasulullah. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi’tsah (diutusnya beliau sebagai Rasul) sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut.

Tiga Tahun di Kediaman Abu Thalib

Pemboikotan semakin diperketat sehingga makanan dan stock pun habis, sementara kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekkah atau dijual kecuali mereka segera memborongnya. Tindakan ini membuat kondisi Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semakin kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman tersebut.

Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi, dan merekapun tidak keluar rumah untuk membeli keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya.

Hakîm bin Hizâm pernah membawa gandum untuk diberikan kepada bibinya, Khadîjah radhiallaahu ‘anha namun suatu ketika dia dihadang oleh Abu Jahal dan diinterogasi olehnya guna mencegah upayanya. Untung saja, ada Abu al-Bukhturiy yang menengahi dan membiarkannya lolos membawa gandum tersebut kepada bibinya.

Dilain pihak, Abu Thalib merasa khawatir atas keselamatan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Untuk itu, dia biasanya memerintahkan beliau untuk baring di tempat tidurnya bila orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Hal ini agar memudahkannya untuk mengetahui siapa yang hendak membunuh beliau. Dan manakala orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari putera-putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah sementara beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin keluar pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka kepada Islam sebagaimana yang telah kami singgung dalam pembahasan lalu tentang perlakuan Abu Lahab terhadap mereka.

Pembatalan Terhadap Shahifah Perjanjian 

Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh. Barulah pada bulan Muharram tahun ke-10 dari kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, diantara mereka ada yang pro dan ada yang kontra, maka pihak yang kontra ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut.

Diantara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyâm bin ‘Amru dari suku Bani ‘Âmir bin Lu-ay – yang secara tersembunyi pada malam hari mengadakan kontak dengan Bani Hâsyim dan menyuplai bahan makanan -. Tokoh ini pergi menghadap Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzûmiy (ibunya bernama ‘Âtikah binti ‘Abdul Muththalib), dia berkata kepadanya:

“Wahai Zuhair! Apakah engkau tega dapat menikmati makan dan minum sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka seperti yang engkau ketahui saat ini?”

“celakalah engkau! Apa yang dapat aku perbuat bila hanya seorang diri?. Sungguh, demi Allah! andaikata bersamaku seorang lagi niscaya aku robek shahifah perjanjian tersebut”, jawabnya

“engkau sudah mendapatkannya!”, kata Hisyâm“siapa dia?”, tanyanya

“aku”, kata Hisyâm

“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”, jawabnya.

Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman al-Muth’im bin ‘Adiy. Dia menyinggung tali rahim yang terjadi antara Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib, dua orang putra ‘Abdi Manaf dan mencela persetujuannya atas tindakan zhalim kaum Quraisy.

Al-Muth’im berkata: “celakalah engkau! Apa yang bisa aku lakukan padahal aku hanya seorang diri?”.

Dia berkata: “engkau sudah mendapatkan orang keduanya”.

Dia bertanya: “siapa dia?”

“aku”, jawabnya

“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”, pintanya lagi

“sudah aku dapatkan orangnya”, jawabnya

“siapa dia?”, tanyanya

“Zuhair bin Abi Umayyah”, jawabnya

“kalau begitu, carikan bagi kita orang keempat”, pintanya lagi

Lalu dia pergi lagi menuju kediaman Abu al-Bukhturiy bin Hisyâm dan mengatakan kepadanya persis seperti apa yang telah dikatakannya kepada al-Muth’im. Dia bertanya kepada Hisyâm: “apakah ada orang yang membantu kita dalam hal ini?”

“Ya”, jawabnya

“siapa dia?”, tanyanya

“Zuhair bin Abi Umayyah, al-Muth’im bin ‘Adiy. Aku juga akan bersamamu”, jawabnya

“kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang kelima”, pintanya.

Kemudian dia pergi lagi menuju kediaman Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad. Dia berbincang dengannya lalu menyinggung perihal kekerabatan yang ada diantara mereka dan hak-hak mereka. Zam’ah bertanya kepadanya: “apakah ada orang yang ikut serta dalam urusan yang engkau ajak diriku ini?”

“ya”, jawabnya. Kemudian dia menyebutkan nama-nama orang yang ikut serta tersebut. Akhirnya mereka berkumpul di pintu Hujûn dan berjanji akan melakukan pembatalan terhadap shahifah. Zuhair berkata: “Akulah yang akan memulai dan orang pertama yang akan berbicara”.

Ketika paginya, mereka pergi ke tempat perkumpulan. Zuhair datang dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu mengelilingi ka’bah tujuh kali kemudian menghadap ke khalayak seraya berkata:

“Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa menikmati makanan dan memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka? Demi Allah! aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan rahim dan zhalim ini dirobek!”.

Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut: “Demi Allah! engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!”.

Lalu Zam’ah bin al-Aswad memotongnya:”demi Allah! justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya ketika ditulis waktu itu”.

Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: “Benar apa yang dikatakan Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya”.

Berikutnya, giliran al-Muth’im yang menambahkan: “mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis didalamnya”.

Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin ‘Amru yang menimpali seperti itu pula.

Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal:”urusan ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya saat itu!”.

Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut al-Masjid al-Haram. Dia datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang telah diberitahu oleh Allah perihal shahifah tersebut bahwa Dia Ta’ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan semua tulisan yang berisi pemutusan rahim dan kezhaliman tersebut kecuali tulisan yang ada nama Allah Ta’ala di dalamnya.

Abu Thâlib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh keponakanya kepadanya. Dia menyatakan: “ini untuk membuktikan apakah dia berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezhaliman terhadap kami”.

Mereka berkata kepadanya: “kalau begitu, engkau telah berlaku adil”.

Setelah terjadi pembicaraan panjang antara mereka dan Abu Jahal, berdirilah al-Muth’im menuju shahifah untuk merobeknya. Ternyata dia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan “bismikallâh” (dengan namaMu ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya dimana rayap-rayap tersebut tidak memakannya.

Lalu dia membatalkan shahifah tersebut sehingga Rasulullah bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat leluasa keluar. Sungguh, kaum musyrikun telah melihat tanda yang agung sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang difirmankan oleh Allah: “Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata:”(Ini adalah) sihir yang terus menerus”. (Q.S. 54/al-Qamar:2). Mereka telah berpaling dari tanda ini dan bertambahlah mereka dari kekufuran ke kekufuran yang lebih lagi.

 

SIRAH NABAWIYAH ( 11 )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
DELEGASI TERAKHIR QURAISY YANG MENGUNJUNGI ABU THALIB

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam keluar dari Syi’b (kediaman pamannya, Abu Thâlib) dan melakukan aktivitasnya seperti biasa, sementara kaum Quraisy masih tetap melakukan intimidasi terhadap kaum muslimin dan menghadang jalan Allah meskipun sudah tidak lagi melakukan pemboikotan.

Di sisi yang lain, Abu Thâlib masih tetap melindungi keponakannya, akan tetapi usianya sudah melebihi 80 tahun. Penderitaan-penderitaan dan peristiwa-peristiwa yang begitu besar dan silih berganti sejak beberapa tahun, khususnya pada saat terjadinya pengepungan dan pemboikotan terhadap kediamannya, telah membuat persendiannya lemah dan tulang rusuknyapun patah.

Baru beberapa bulan setelah keluar dari syi’bnya, Abu Thâlib dirundung sakit yang agak payah dan kondisi ini membuat kaum musyrikun cemas kalau-kalau nama besar mereka cacat di mata bangsa Arab andai mereka hanya datang saat kematiannya karena tidak menyukai keponakannya. Untuk itulah mereka sekali lagi mengadakan perundingan dengan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam di sisi Abu Thâlib dan berani memberikan sebagian dari hal yang sebelumnya tidak sudi mereka berikan. Mereka melakukan wifâdah (kunjungan) kepada Abu Thâlib, yang merupakan untuk terakhir kalinya.

Menurut Ibnu Ishaq dan dan sejarawan lainnya, “manakala Abu Thâlib sakit parah dan hal itu sampai kepada kaum Quraisy, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lainnya: ‘sesungguhnya Hamzah dan ‘Umar telah masuk Islam sedangkan perihal Muhammad ini telah tersiar di kalangan seluruh kabilah-kabilah ‘Arab, oleh karena itu lebih baik kalian pergi menjenguk Abu Thâlib agar dia mencegah keponakannya dan menitipkan pemberian kita kepadanya. Demi Allah! kita tidak akan merasa aman bila kelak dia mengalahkan kita”.

Dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan (kaum Quraisy berkata): “sesungguhnya kita khawatir bilamana orang tua ini (Abu Thâlib-red) meninggal nantinya, lalu ada sesuatu yang diserahkannya kepada Muhammad sehingga lantaran hal itu, bangsa Arab mencerca kita dengan mengatakan:’mereka telah menelantarkannya, tapi ketika pamannya meninggal barulah mereka memperebutkannya’.

Mereka, yang terdiri dari para pemuka kaumnya, akhirnya menemui Abu Thâlib dan berbicara dengannya. Diantara sosok-sosok tersebut adalah: ‘Utbah bin Rabî’ah, Syaibah bin Rabî’ah, Abu Jahl bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb. Pertemuan ini dilakukan dihadapan para tokoh selain mereka yang berjumlah sekitar 25 orang. Mereka berkata:

“wahai Abu Thâlib! Sesungguhnya engkau, seperti yang engkau ketahui, adalah bagian dari kami dan saat ini, sebagaimana yang engkau saksikan sendiri, telah terjadi sesuatu pada dirimu. Kami cemas terhadap dirimu padahal engkau juga sudah tahu apa yang terjadi antara kami dan keponakanmu. Untuk itu, desaklah dia agar mau menerima (sesuatu) dari kami dan kami juga akan menerima (sesuatu) darinya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi saling mencampuri urusan masing-masing; dia tidak mencampuri urusan kami, demikian juga dengan kami. Desaklah dia agar membiarkan kami menjalankan agama kami sepertihalnya kami juga akan membiarkannya menjalankan agamanya”.

Abu Thâlib mengirimkan utusan untuk meminta beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam datang. Beliaupun datang, lalu pamannya tersebut berkata: “wahai keponakanku! Mereka itu adalah pemuka-pemuka kaummu. Mereka berkumpul karenamu untuk memberimu sesuatu dan mengambil sesuatu pula darimu”.

Kemudian Abu Thâlib memberitahukan kepadanya apa yang telah diucapkan dan disodorkan oleh mereka kepadanya, yakni bahwa masing-masing pihak tidak boleh saling mencampuri urusan.

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata kepada mereka:

“bagaimana pendapat kalian bila aku katakan kepada kalian satu kalimat yang bila kalian ucapkan niscaya kalian akan dapat menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada kalian?”.

Dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan bahwa beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berbicara kepada Abu Thâlib: “aku menginginkan mereka untuk mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat bangsa Arab tunduk dan orang-orang asing akan mempersembahkan upeti kepada mereka”.

Dalam lafazh riwayat yang lainnya lagi disebutkan bahwa beliau berkata:
“wahai pamanku! Kenapa tidak engkau ajak saja mereka kepada hal yang lebih baik buat mereka?”.

Dia bertanya:”mengajak kepada apa?”.
“ajak mereka agar mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat bangsa Arab tunduk kepada dan orang-orang asing takluk”.

Sedangkan dalam lafazh yang diriwayat Ibnu Ishaq menyebutkan: “satu kalimat saja yang kalian berikan niscaya kalian akan bisa menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada kalian”.

Tatkala beliau mengucapkan kalimat tersebut, mereka berdiri tertegun, linglung dan tidak tahu bagaimana dapat menolak satu kalimat yang penuh manfa’at sampai sedemikian ini?. Kemudian Abu Jahal menanggapi: ”apa itu? (Bila kamu sebutkan) sungguh aku akan memberikanmu sepuluh kali lipatnya”.

Beliau berkata: “kalian katakan: ‘Lâ ilâha illallâh’ dan kalian cabut sesembahan selainNya’ “.

Mendengar kalimat tersebut, mereka kebingungan lantas berseru: ”wahai Muhammad! apakah kamu ingin menjadikan ilâh-ilâh (tuhan-tuhan) yang banyak menjadi satu saja? Sungguh aneh polahmu ini “.

Kemudian, masing-masing berkata kepada yang lainnya: “demi Allah! sesungguhnya orang ini tidak memberikan apa yang kalian inginkan, pergilah dan teruslah dalam agama nenek moyang kalian hingga Allah memutuskan antara kalian dan dirinya”. Setelah itu, merekapun bubar.

Allah Ta’ala menurunkan ayat berkenaan dengan itu, yaitu firmanNya: “Shaad, demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan.[1]. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.[2]. Betapa banyaknya ummat sebelum mereka yang telah kami binasakan, lau mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.[3]. Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata :”ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”.[4]. Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah Yang Satu sajaSesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.[5]. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata):”Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) ilah-ilahmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.[6]. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan”.[7] . (Q.S. Shâd: 1-7).

 

SIRAH NABAWIYAH ( 12 )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

 

 

KEMATIAN ABU THALIB

 

Sakit Abu Thalib semakin bertambah parah, tinggal menunggu saat-saat kematiannya, dan akhirnya dia meninggal pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam bulan setelah keluar dari pemboikotan. Ada yang berpendapat dia meninggal dunia pada bulan Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya Khadijah Radhiallahu anha.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Musayyab, bahwa tatkala ajal hampir menghampiri Abu Thalib, Nabi SAW menemuinya, yang saat itu di sisinya ada Abu Jahal.

“Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah,” Sabda beliau.

Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib ?” Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, “Tetap berada pada agama Abdul Muththalib.”

Beliau bersabda, “Aku benar-benar akan memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang melakukannya.”

Lalu turun ayat, “Tiadalah sepatutnnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (At-Taubah : 113).

Allah juga menurunkan ayat,

“Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash : 56)

Tidak bisa dibayangkan apa saja perlindungan yang diberikan Abu Thalib terhadap Rasulullah Saw. Dia benar-benar menjadi benteng yang ikut menjaga dakwah Islam dari serangan orang yang sombong dan dungu. Namun sayang, dia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama sekali tidak mendapat keberuntungan.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata kepada Nabi Saw, “Engkau sangat mebutuhkan paman engkau, karena dia telah melindungi engkau, sekalipun dia sangat membuat engkau marah.”

Beliau bersabda, “Dia berada di neraka yang dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang paling bawah.”

Dari Abu Sa’id Al-Khudry, bahwa dia pernah mendengar Nabi Saw bersabda, “Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat nanti, sehingga dia diletakkan di neraka yang dangkal, hanya sebatas tumitnya saja.”

 

 

KHADIJAH MENYUSUL KE RAHMATULLAH

 

Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin Khadijah Al Kubra meninggal dunia pula, tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari nubuwah, pada usia enam puluh lima tahun, sementara usia beliau saat itu lima puluh  tahun.

Khadijah termasuk salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah Saw. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau di saat-saat kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau. Rasulullah Saw bersabda tentang dirinya, “Dia beriman kepadaku saat semua orasng mengingkariku, membenarkan aku sselagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku.” (Riwayat Ahmad di dalam Musnad-nya, 6/118).

Di dalam Shahihul- Bukhary, dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Jibril mendatangi Nabi Saw, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”

 

 

DUKA YANG BERTUMPUK-TUMPUK

 

Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan perasaan duka dan lara di hati Rasulullah Saw, belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya, karena dengan kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu beliau. Mendung menjadi bertumpuk-tumpuk, sehingga beliau hampir putus asa menghadapi mereka. Untuk itu beliau pergi ke Tha’if, dengan setitik harapan mereka berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan mengulurkan pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab beliau tidak lagi melihat seorang yang bisa memberi perlindungan dan pertolongan. Tetapi mereka menyakiti beliau secara kejam, yang justru tidak pernah beliau alami sebelum itu dari kaumnya.

Apa yang beliau alami di Makkah juga dialami para shahabat. Hingga shahabat karib beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq berniat hijrah dari Makkah. Maka dia pergi hingga tiba di Barkil-Ghamad. Tempat yang ditujunya adalah Habasyah. Namun akhirnya dia kembali lagi setelah mendapat jaminan perlindungan Ibnud-Dughumah.

Menurut Ibnu Ishaq, setelah Abu Thalib meninggal dunia, orang-orang Quraisy semakin bersemangat untuk menyakiti Rasulullah Saw daripada saat dia masih hidup. Sehingga ada diantara mereka yang tiba-tiba mendekati beliau lalu menaburkan debu di atas kepada beliau. Beliau masuk ke rumah dan debu-debu itu masih memenuhi kepala. Lalu salah seorang putri beliau bangkit untuk membersihkan debu-debu itu sambil menangis. Beliau bersabda kepadanya, “Tak perlu menanggis wahai putriku, karena Alllah akan melindungi bapakmu.”

Pada saat-saat seperti itu beliau juga bersabda, “Aku tidak pernah menerima gangguan yang paling kubenci dari Quraisy, hingga Abu Thalib meninggal dunia.”

Karena penderitaan yang bertumpuk-tumnpuk pada tahun itu, maka beliau menyebutnya sebagai “Annul-huzni” (tahun duka cita), sehingga julukan ini pun terkenal dalam sejarah.

 

 

MENIKAH DENGAN SAUDAH

 

Pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari nubuwah, Rasulullah Saw menikahi Saudah binti Zam’ah. Dia termasuk orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam, ikut hijrah ke Habasyah yang kedua. Suaminya adalah Ash-Sakran bin Amr, yang juga masuk Islam dan hijrah bersamanya pula. Dia meninggal dunia di Habasyah atau menurut pendapat lain dia meninggal dunia di Makkah sepulang dari Habasyah. Beliau melamar Saudah lalu menikahinya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi beliau sepeninggal Khadijah. Setelah beberapa tahun kemudian, dia memberikan bagian gilirannya kepada Aisyah.

 

 

SIRAH NABAWIYAH ( 13 A )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
FAKTOR KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN

Seorang yang berhati lembut akan berdiri tercenung dan para cendikiawan akan saling bertanya diantara mereka: “apa sebenarnya sebab-sebab dan faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya?”, “bagaimana mungkin mereka bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang membuat bulu roma merinding dan hati gemetar begitu mendengarnya?”.

Melihat fenomena yang menggoncangkan jiwa ini, kami menganggap perlunya menyinggung sebagian dari faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut secara ringkas dan singkat:

1. Keimanan kepada Allah

Sebab dan faktor paling utama adalah keimanan kepada Allah Ta’ala semata dan ma’rifah kepada-Nya dengan sebenar-benar ma’rifah. Keimanan yang tegas bila telah menyelinap ke sanubari dapat menimbang gunung dan tidak akan goyang. Orang yang memiliki keimanan dan keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak dan serumit apapun seperti lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah lantas menghancurkan bendungan kuat dan benteng perkasa. Orang yang kondisinya seperti ini, tidak mempedulikan rintangan apapun lagi karena telah mengenyam manisnya iman, segarnya keta’atan serta cerianya keyakinan. Allah berfirman:

“Adapun buih itu akan hilang sebagia sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi”. (Q,.s.ar-Ra’d: 17)

Dari sebab utama ini, kemudian berkembang dan beralih kepada sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain menguatkan ketegaran dan kesabaran tersebut seperti yang akan disebutkan selanjutnya.

2. Kepimpinan yang digandrungi oleh setiap hati

Sosok Rasulullah adalah sosok seorang pemimpin umat Islam tertinggi. Tidak saja bagi Umat Islam tetapi bagi seluruh manusia. Beliau memiliki postur badan yang ideal, jiwa yang sempurna, akhlak luhur, sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang agung. Hal ini dapat menyebabkan hati tertawan dan membuat jiwa rela berjuang untuknya sampai tetas darah terakhir. Kesempurnaan yang dianugerahkan kepadanya tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada siapapun. Beliau menempati posisi puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan. Demikian pula dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua jalan-jalan kebaikan tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para pencinta dan shahabat karib beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang pernah terlontarkan dari mulut beliau pastilah membuat mereka langsung meyakini kejujurannya dan kebenarnya.

Suatu ketika, tiga orang tokoh Quraisy berkumpul. Masing-masing dari mereka ternyata telah mendengarkan al-Qur’an secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain, namun kemudian rahasia itu tersingkap. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Abu Jahal –yang merupakan salah seorang dari ketiga orang tersebut- :

“bagaimana pendapatmu mengenai apa yang engkau dengar dari Muhammad tersebut?”

“apa yang telah aku dengar? Memang kami telah berselisih dengan Bani ‘Abdi Manaf dalam persoalan derajat sosial; manakala mereka makan, kamipun makan; mereka menanggung sesuatu, kamipun ikut menanggungnya; mereka memberi, kamipun memberi hingga akhirnya kami sejajar diatas tunggangan yang sama (setara derajatnya-red). Kami ibarat dua kuda perang yang sedang bertaruh. Lalu tiba-tiba mereka berkata: ‘kami memiliki nabi yang membawa wahyu dari langit!’. Kapan kami mengetahui hal ini? Demi Allah! kami tidak akan beriman sama sekali kepadanya dan tidak akan membenarkannya”.

Abu Jahal pernah berkata: “wahai Muhammad! sesungguhnya kami tidak pernah memdustakanmu akan tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa”. Lalu turunlah ayat: “Sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”. (Q,.s.al-An’âm: 33).

Suatu ketika kaum Kafir mempermainkan beliau dengan saling mengerling diantara mereka. Mereka melakukan itu hingga tiga kali. Pada kali ketiga ini, barulah beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab: “wahai kaum Quraisy! sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian”. Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka Bahkan orang yang paling kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan.

Ketika mereka melemparkan kotoran onta ke arah kepala beliau saat sedang sujud, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka. Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka berubah menjadi kegundahan dan kecemasan karena mereka yakin akan binasa.

Beliau mendoakan kebinasaan atas ‘Utbah bin Abi Lahab. Orang ini masih yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam terhadapnya. Maka, ketika dia melihat segerombolan singa, serta merta dia bergumam: “Demi Allah! dia (Muhammad) telah membunuhku padahal dia berada di Mekkah”.

Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh beliau, namun beliau menantangnya: “akulah yang akan membunuhmu, insya Allah”. Maka, pada perang Uhud, tatkala beliau berhasil mencederai Ubay di bagian lehernya, yakni goresan yang tidak terlalu melebar, Ubay berkomentar: “Sesungguhnya apa yang diucapkannya di Mekkah di hadapanku dulu : ‘akulah yang akan membunuhmu’ telah terjadi. Demi Allah! andai dia meludah saja ke arahku niscaya itu akan dapat membunuhku”. Pembahasan tentang ini akan disajikan pada bahasan mendatang.

Sa’d bin Mu’adz –saat berada di Mekkah- pernah berkata kepada Umayyah bin Khalaf: “Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘ sesungguhnya mereka –kaum Muslimin- telah memerangimu’ “. Mendengar ini, dia tampak sangat takut sekali dan berjanji untuk tidak akan keluar dari Mekkah.

Ketika dipaksa oleh Abu Jahal untuk berperang di Badar, dia membeli keledai yang paling bagus di Mekkah untuk digunakannya bila suatu ketika dapat kabur. Saat itu, isterinya berkata kepadanya: “Wahai Abu Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang dikatakan saudaramu dari Yatsrib tersebut?”.

Dia menjawab: “Demi Allah! bukan demikian tetapi aku tidak akan mau berhadapan langsung dengan mereka kecuali memang sudah dekat benar jaraknya”.

Demikianlah kondisi musuh-musuh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam .

Adapun kondisi para shahabat dan rekan-rekan beliau lain lagi; kedudukan beliau di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa dan semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus terhadap diri beliau mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau laksana tarikan magnet terhadap besi.

Oleh karena itu, sebagai implikasi dari rasa cinta dan siap mati ini membuat mereka tidak gentar bila leher harus terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri.

Suatu hari ketika di Mekkah, Abu Bakar bin Abi Quhâfah pernah diinjak dan dipukul dengan keras. Di tengah kondisi seperti itu, ‘Utbah bin Rabi’ah mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya. Tidak cukup disitu, dia kemudian melompat diatas badannya dan jatuh tepat di atas perut Abu Bakar hingga wajahnya bonyok, tidak bisa diketahui lagi mana letak hidung dari wajahnya.

Setelah itu, dia diangkut dengan menggunakan bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: “apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.

Mereka mencibirnya dengan lisan mereka dan mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair : “Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum”.

Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justeru sang anak malah berkata: “apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.

Ibunya menjawab: “demi Allah! aku tidak tahu sama sekali tentang shahabatmu itu”.

Dia berkata: “kalau begitu, pergilah menjumpai Ummu Jamil binti al-Khaththab lalu tanyakanlah kepadanya”.

Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah Ummu Jamil, lantas berkata: “sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin ‘Abdullah”.

Dia menjawab: “aku tidak kenal siapa Abu Bakar dan juga Muhammad bin ‘Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu menemui anakmu, akan aku lakukan”.

Dia menjawab: “ya”.

Akhirnya keduanya berlalu hingga akhirnya mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: “demi Allah! sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang yang fasiq dan kafir. Sungguh, aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu terhadap mereka”.

Abu Bakar malah berkata lagi: “apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.
Ummu Jamil berkata: “Ini ibumu ikut mendengarkan”.
Dia berkata: “Tidak usah khawatir terhadapnya”
Dia menjawab: “beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam kondisi sehat dan bugar”.
Dia berkata lagi:”dimana beliau sekarang?”
“ada di Dar Ibnu al-Arqam”, jawabnya.
Dia berkata lagi:”aku bersumpah kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku mendatangi Rasulullah”.

Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak, hingga bilamana kondisi Abu Bakar sudah tenang dan orang-orang mulai sepi, keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah dirinya dengan Rasulullah”.

Bentuk kecintaan yang demikian langka serta pengorbanan hidup seperti ini akan kami bahas pada beberapa bagian dari buku ini, terutama yang terjadi pada waktu perang Uhud dan yang terjadi terhadap Khubaib dan semisalnya.

3. Rasa tanggung jawab

Para shahabat menyadari secara penuh akan besarnya tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak manusia. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan dan diselewengkan betapapun kondisinya sebab keteledoran dan lari dari rasa tanggung jawab ini memiliki implikasi yang sangat besar dan berbahaya daripada penindasan yang dirasakan oleh mereka. Kerugian yang diderita oleh umat manusia secara keseluruhan bila lari darinya, tidak dapat diukur dengan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi akibat dari beban yang ditanggung tersebut.

4. Iman kepada Akhirat

Ini merupakan salah satu faktor yang menguatkan tumbuhnya rasa tanggung jawab tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka akan dibangkitkan kelak menghadap Rabb semesta alam, amal mereka dihisab dengan sedetail-detailnya; besar dan kecilnya. Jadi, hanya ada dua pilihan; ke surga yang penuh dengan kesenangan atau ke neraka Jahim yang penuh dengan azab yang abadi.

Mereka menjalani kehidupan mereka antara rasa takut dan pengharapan; mengharapkan rahmat Rabb mereka dan takut akan siksa-Nya.

Mereka adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”. (Q,.s. al-Mukminûn: 60).

Mereka mengetahui bahwa dunia dengan kesengsaraan dan kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai sepasang sayap nyamuk (tidak ada apa-apanya-red) bila dibandingkan dengan kehidupan di Akhirat.

Pengetahuan mereka yang kuat tentang hal inilah yang meringankan mereka di dalam menghadapi kepayahan, kesulitan dan kepahitan yang ada di dunia sehingga mereka tidak menyibukkan diri untuk mengoleksinya sebanyak mungkin bahkan terbetik di hati merekapun tidak.

BERSAMBUNG ke Nomor 13

SIRAH NABAWIYAH ( 13 B )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
FAKTOR KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN

Pada bagian yang lalu (13-a) telah disebutkan empat faktor dan sebab dari ketabahan dan ketegaran kaum Muslimin. Pada bagian kali ini kita akan melanjutkan faktor dan sebab selanjutnya:

5. al-Qur’an

Pada rentang waktu yang amat kritis dan sulit ini, turunlah surat-surat dan ayat-ayat Allah guna memberikan hujjah dan bukti atas kebenaran risalah Islam dan prinsip-prinsipnya dimana dakwah berada pada porosnya. Al-Qur’an tampil dengan gaya bahasa yang valid dan indah, mengarahkan kaum Muslimin kepada pondasi-pondasi yang kelak atas qadar Allah terbentuk komunitas manusia yang paling agung dan mempesona di muka bumi ini, yaitu masyarakat Islam. Surat-surat dan ayat-ayat tersebut juga amat membangkitkan sensitifitas dan ego kaum Muslimin untuk bersabar dan pantang menyerah, menguraikan sikap tersebut dengan bahasa permisalan dan menjelaskan kepada mereka apa hikmah di balik itu. Allah berfirman (artinya) : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?,[2]. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. [3]. (Q,.s.al-‘Ankabût/29: 2-3).

Ayat-ayat tersebut juga mementahkan argumentasi-argumentasi kaum Kafir dan para pembangkang dengan bantahan yang membuat mereka mati kutu sehingga tidak memiliki trik lain untuk mengelak. Ayat-ayat tersebut sekali waktu juga memperingatkan mereka akan akibat yang fatal dari kengototan mereka di dalam pembangkangan dan kesesatan dengan pemaparan yang jelas dan transparan, berpedoman kepada Hari-Hari Allah dan peristiwa historis yang menunjukkan adanya sunnatullah terhadap para wali dan musuh-Nya. Sekali waktu pula, menyapa mereka secara ramah, memfungsikan gaya bahasa dengan pertanyaan, petunjuk dan pengarahan sehingga dengan itu mereka mau berpaling dari kesesatan nyata yang tengah mereka lakukan.

Al-Qur’an juga membimbing kaum Muslimin menuju alam lain, memperlihatkan mereka hal yang membuat hati mereka bergetar; pemandangan alam semesta, keindahan rububiyah, kesempurnaan uluhiyyah, jejak-jejak rahmat dan kasih sayang serta keridlaan-Nya.

Di balik lipatan ayat-ayat tersebut terdapat pesan-pesan untuk kaum Muslimin. Disana, Rabb memberitakan kabar gembira buat mereka berupa rahmat dan keridlaan-Nya serta surga yang telah disiapkan buat mereka, di dalamnya mereka mendapatkan kenikmatan abadi. Ayat-ayat tersebut juga memberikan gambaran kepada mereka tentang bagaimana musuh-musuh mereka; kaum kafir dan para Thaghut yang zhalim dihukumi dan diinterogasi lalu wajah mereka dijerembabkan ke api neraka sehingga mereka merasakan betapa pedihnya neraka Saqar.

6. Berita-Berita Gembira tentang Kemenangan

Meskipun kaum Muslimin mengetahui akan berita-berita gembira ini, namun mereka juga mengetahui sejak pertama kali mengalami perlakukan kasar dan penindasan –bahkan sebelum itu- bahwa masuk Islam bukan berarti tersingkirnya semua musibah dan kematian tersebut tetapi sejak awal lahirnya, dakwah Islamiyah bertujuan untuk mengakhiri dunia Jahiliyyah dan sistemnya yang zhalim. Mereka juga mengetahui bahwa buah dari hal itu di dunia ini adalah terbentangnya kekuasaan diatas muka bumi dan penguasaan terhadap kondisi politis di seluruh alam yang dapat menggiring umat manusia dan komunitas manusia secara keseluruhan ke dalam keridlaan Allah dan mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan terhadap Allah semata.

Sesekali al-Qur’an turun dengan berita-berita gembira ini secara lantang dan terkadang berupa kinayah (sindiran). Maka, di dalam rentang waktu yang amat kritis seperti ini dimana bumi dirasakan sempit oleh kaum Muslimin, mencekik mereka bahkan seakan ingin mengakhiri kehidupan mereka; turunlah ayat-ayat tersebut sebagaimana yang dulu terjadi diantara para Nabi dan kaum mereka berupa pendustaan dan pengingkaran. Ayat-ayat tersebut berisi hal yang menyinggung kondisi-kondisi yang persis sama dengan kondisi-kondisi kaum Muslimin di Mekkah dan orang-orang kafir disana. Ayat-ayat tersebut kemudian menyinggung peralihan kondisi berupa kebinasaan kaum kafir dan orang-orang yang zhalim dan kesuksesan hamba-hamba Allah di dalam mewarisi kekuasaan di muka bumi dan seluruh negeri. Di dalam kisah-kisah ini terdapat isyarat yang jelas akan kegagalan penduduk Mekkah nantinya dan kesuksesan kaum Muslimin dan dakwah islamiyah yang mereka bawa.

Di dalam tenggang waktu tersebut, turunlah beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira, berupa kemenangan kaum Mukminin sebagaimana di dalam beberapa firman-Nya berikut:

1. Firman-Nya (artinya):

“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, [171]. (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan,[172]. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang,[173]. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu ketika,[174]. Dan lihatlah mereka, maka kelak mereka akan melihat (azab itu),[175]. Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami disegerakan,[176]. Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu”.[177] (Q,.s.ash-Shaffât/37: 171-177)

2. Firman-Nya (artinya):

Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (Q,.s.al-Qamar/54:45)

3. Firman-Nya: (artinya):

Suatu tentara yang besar yang berada di sana dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan. (Q,.s.Shâd/38:11)

4. Firman-Nya yang turun terhadap orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (artinya):

Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia.Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (Q,.s.an-Nahl/16:41)

5. Firman-Nya tatkala mereka bertanya kepada beliau tentang kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalâm (artinya):

Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. (Q,.s.Yûsûf/12:7)

Yakni penduduk Mekkah yang bertanya tersebut akan mengalami kegagalan sebagaimana yang pernah dialami oleh saudara-saudara Yusuf dan mereka akan menyerah sebagaimana mereka menyerah.

6. Firman-Nya tatkala mengingatkan para Rasul (artinya):

Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka:”Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”.Maka Rabb mewahyukan kepada mereka:”Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu,[13]. dan Kami pasti akan menempatkan kamu dinegeri-negeri itu sesudah mereka.Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku, [14]”. (Q,.s.Ibrâhim/14:14)

Ketika perang berkecamuk antara bangsa Persia dan Romawi; kaum Kafir lebih senang bila bangsa Persia yang menang karena mereka memiliki kesamaan sifat, yaitu perbuatan syirik, sedangkan kaum Muslimin lebih cenderung bila kemenangan berada di pihak bangsa Romawi karena memiliki kesamaan sifat, yaitu beriman kepada Allah, para Rasul, wahyu, kitab-kitab dan Hari Akhir.

Kemenangan memang berada di pihak bangsa Persia, lalu Allah menurunkan ayat yang memberitakan kabar gembira bahwa bangsa Romawi akan mengalami kemenangan dalam beberapa tahun kemudian (dan hal ini memang terjadi-red). Tidak sebatas itu saja, ayat tersebut menyebutkan kabar gembira yang lain secara terang-terangan, yaitu Allah akan menolong kaum Mukminin di dalam firman-Nya (artinya): “dan pada hari itu, kaum Mukminin bergembira dengan pertolongan Allah”. (Q,.s.ar-Rûm/30: 4-5)

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri sering menyampaikan kabar gembira seperti ini di sela waktu-waktu tertentu ; di saat datang musim haji dan berada di tengah orang-orang di pasar ‘Ukâzh, Majinnah dan Dzi al-Majâz untuk menyampaikan risalah dakwah, beliau tidak hanya memberitakan kabar gembira tentang surga saja, tetapi secara lantang berkata kepada mereka: “wahai manusia! Ucapkanlah ‘Lâ ilâha illallâh’ niscaya kalian akan beruntung, menguasai bangsa Arab dan menundukkan orang-orang asing;jika kalian mati, maka kalian akan menjadi raja di surga”. (Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Sa’d: I/216)

Kami telah memaparkan sebelumnya jawaban Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam kepada ‘Utbah bin Rabî’ah berupa keinginannya untuk menegosiasi beliau dengan gemerlap duniawi, serta apa yang dipahami dan diharapankan olehnya terkait dengan kemenangan yang akan dicapai oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Demikian pula, tentang jawaban Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam terhadap delegasi terakhir yang mendatangi Abu Thalib. Ketika itu beliau secara terus terang meminta kepada mereka satu rangkaian kata saja yang apabila mereka memberikannya, maka semua bangsa Arab akan tunduk kepada mereka dan mereka dapat menguasai orang-orang asing.

Khabbab bin al-Aratt berkata: “Aku mendatangi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam saat beliau tidur dengan berbaring di atas burdahnya dan berteduh di bawah naungan Ka’bah. Kami juga saat itu telah mengalami penyiksaan berat dari kaum Musyrikun. Lantas aku berkata: ‘tidakkah engkau berdoa kepada Allah!’ (agar menolong para shahabat-red). mendengar ucapan ini, beliau langsung duduk sedangkan raut wajahnya tampak memerah sembari berkata: ‘sungguh, orang-orang sebelum kalian pernah diseset dengan sesetan besi panas yang menusuk daging hingga mengenai tulang belulang dan urat. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat mereka bergeming sedikitpun dari dien mereka. Sungguh Allah akan menyempurnakan urusan agama ini hingga seorang pejalan kaki berjalan dari Shan’â ke Hadlramaut tidak ada yang ditakutkannya selain Allah Ta’ala. Dalam penjelasan periwayat hadits disebutkan : “…dan tidak juga dia mengkhawatirkan kambingnya diterkam srigala”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan tambahan: “…akan tetapi kalian terburu-buru (ingin cepat memetik hasil-red)”.

Kabar-kabar gembira tersebut tidak ditutup-tutupi dan terselubung akan tetapi dipublikasikan secara terbuka dan diketahui baik oleh orang-orang kafir maupun kaum Muslimin. Indikasinya, al-Aswad bin al-Muththalib dan rekan-rekan mengobrolnya saling mengedip-ngedipkan mata diantara sesama mereka bila melihat para shahabat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam melintasi mereka, sembari berkata: “Raja-raja bumi yang akan mewarisi kekisraan Persia dan kekaisaran Romawi sudah datang kepada kalian”, kemudian mereka bersiul-siul dan bertepuk tangan.

Dengan adanya kabar-kabar gembira tentang masa depan yang akan cemerlang di dunia diselai oleh pengharapan yang tulus dan sungguh-sungguh akan kemenangan menggapai surga sebagai hasil akhirnya kelak, para shahabat memandang bahwa penindasan yang beraneka ragam dan silih berganti dari semua lini tersebut serta musibah-musibah yang mengepung mereka dari segala penjuru hanyalah sebagai ‘gumpalan awan musim panas yang dalam sekejap akan sirna’.

Demikianlah, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam senantiasa menyuguhkan santapan rohani kepada mereka dengan rangsangan keimanan; menyucikan jiwa mereka dengan mengajarkan al-Hikmah (hadits) dan al-Qur’an; mendidik mereka dengan pendidikan yang detail dan mendalam; mendorong jiwa mereka agar menduduki keluhuran ruh, kemurnian hati, kebersihan budi pekerti, keterbebasan dari pengaruh materilistik, pembendungan terhadap hawa nafsu serta kembali kepada Rabb bumi dan langit; mengasah bara di hati mereka; mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju nur; mengajak mereka bersabar terhadap semua gangguan, memiliki sifat pema’af serta menundukkan jiwa. Dengan gamblengan semacam itu, mereka menjadi bertambah kokoh di dalam agama, menjauhkan diri dari hawa nafsu, siap mengorbankan jiwa di jalan yang diridlai oleh-Nya, merindukan surga, berkemauan kuat untuk menuntut ilmu dan memahami agama, mengintrospeksi jiwa dan menundukkan sentimen-sentimen yang tumbuh, mengalahkan perasaan-perasaan dan gejolak-gejolak jiwa serta selalu mengikat diri dengan kesabaran, kedamaian dan ketenangan.

 

 

 

 

 

 

 

SIRAH NABAWI


SIRAH NABAWIYAH ( 07 )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
PERIODE MEKKAH

Kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan nubuwwah dan risalah terbagi menjadi dua periode yang masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri secara total, yaitu:

PERIODE MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang 13 tahun

PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh

Dan masing-masing periode mengalami beberapa tahapan sedangkan masing-masing tahapan memiliki karakteristik tersendiri yang menonjolkannya dari yang lainnya. Hal itu akan tampak jelas setelah kita melakukan penelitian secara seksama dan detail terhadap kondisi yang dilalui oleh dakwah dalam kedua periode tersebut.

Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan: 

Tahapan Dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama tiga tahun.

Tahapan Dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari permulaan tahun ke-empat kenabian hingga hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah.

Tahapan Dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya di kalangan penduduknya; dari penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana juga mencakup Periode Madinah- dan berlangsung hingga akhir hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun mengenai tahapan-tahapan Periode Madinah maka rincian pembahasannya akan diketengahkan pada tempatnya nanti.

DIBAWAH NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN 

Di Gua Hira’ 

Setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi untuk mengasingkan diri. Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40 tahun; beliau membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira’ yang terletak di jabal an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang indah, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira’ al-Hadid (hasta ukuran besi). Di dalam gua tersebut, beliau berpuasa bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya. Beliau menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu. Kaumnya yang masih menganut ‘aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh membuatnya tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang jelas, manhaj yang terprogram serta cara yang terarah yang membuatnya tenang dan setuju dengannya.

Pilihan mengasingkan diri (‘uzlah) yang diambil oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir (aturan) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya hubungannya dengan kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan nestapa-nestapa kecil yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan dalam mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah. ‘Uzlah yang sudah ditadbir oleh Allah ini terjadi tiga tahun sebelum beliau ditaklif dengan risalah. Beliau mengambil jalan ‘uzlah ini selama sebulan dengan semangat wujud yang bebas dan mentadabburi kehidupan ghaib yang tersembunyi dibalik wujud tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan kehidupan ghaib ini saat Allah memperkenankannya.

Jibril ‘alaihissalam turun membawa wahyu 

Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh tahun- yaitu usia yang melambangkan kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa diusia inilah para Rasul diutus – tanda-tanda nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ar-Ru’ya –ash-Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan –masa kenabian berlangsung selama dua puluh tiga tahun- dan ar-Ru’ya ash-Shadiqah ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya (‘uzlah) di gua Hira’, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat al-Qur’an.

Setelah melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat menentukan persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M. Tepatnya usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas hari menurut penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan; hijriyyah) dan sekitar tiga puluh sembilan tahun tiga bulan dua puluh hari; ini menurut penanggalan syamsiyyah (berdasarkan peredaran matahari; masehi).

Mari kita dengar sendiri ‘Aisyah ash-Shiddiqah radhiallâhu ‘anha menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan noktah permulaan nubuwwah tersebut dan yang mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan sehingga dapat mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah; ‘Aisyah radhiallâhu ‘anha berkata: “Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berupa ar-Ru’ya ash-Shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan ar-Ru’ya itu hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di gua Hira’; beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya. Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira’ tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata: “bacalah!”, lalu aku menjawab (ini adalah jawaban Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh pengarang buku ini dinukil langsung dari naskah asli haditsnya-red): “aku tidak bisa membaca!”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur lagi: “kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata: “bacalah!”. Aku tetap menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Lalu dia untuk kedua kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga kemudian melepaskanku seraya berkata lagi: “bacalah!”. Lalu aku tetap menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Kemudian dia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, sembari berkata: “bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu lah Yang Paling Pemurah”. (Q.S. al-‘Alaq: 1-3). Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap: “selimuti aku! Selimuti aku!”. Beliau pun diselimuti hingga rasa ketakutannya hilang. Beliau bertanya kepada Khadijah: “apa yang terjadi terhadapku ini?”. Lantas beliau menceritakan pengalamannya, dan berkata: “aku amat khawatir terhadap diriku!”. Khadijah berkata: “sekali-kali tidak akan! Demi Allah! Dia Ta’ala tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali rahim, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu serta penolong setiap upaya menegakkan kebenaran”. Kemudian Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, anak paman Khadijah (sepupunya). Dia (anak pamannya tersebut) adalah seorang yang menganut agama Nashrani pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan ‘Ibrani dan sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis –sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan ‘Ibrani. Dia juga, seorang yang sudah tua renta dan buta; ketika itu Khadijah berkata kepadanya: “wahai anak pamanku! Dengarkanlah (cerita) dari anak saudaramu!”. Waraqah berkata: “wahai anak laki-laki saudara (laki-laki)-ku! Apa yang engkau lihat?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah berkata kepadanya: “sesungguhnya inilah sebagaimana ajaran yang diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “benarkah mereka akan mengusirku?”. Dia menjawab: “ya! Tidak seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membantumu dengan sekuat tenaga”. Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).

Masa Stagnan Turunnya Wahyu 

Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa stagnan itu berlangsung selama beberapa hari ; pendapat inilah yang rajih/kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung selama tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah shahih sama sekali, namun disini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.

Pada masa stagnan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dirundung kesedihan yang mendalam yang diselimuti oleh rasa kebingungan dan panik.

Dalam kitab “at-Ta’bir” , Imam Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut:” menurut berita yang sampai kepada kami, wahyupun mengalami stagnan hingga membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedih dan berkali-kali berlarian agar dia dapat terjerembab ke ujung jurang-jurang gunung, namun setiap beliau mencapai puncak gunung untuk mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata: “wahai Muhammad! Sesungguhnya engkau sebenar-benar utusan Allah!”. Spirit ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun manakala masa stagnan itu masih terus berlanjut beliaupun mengulangi tindakan sebagaimana sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya (memberi spirit kepada beliau-red)”.

Jibril ‘alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu

Ibnu Hajar berkata: “Masa stagnan itu sungguh telah menghilangkan ketakutan yang telah dialami oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan membuatnya bersemangat untuk kembali mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam untuk kedua kalinya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang masa stagnan itu, beliau bercerita: “Ketika aku tengah berjalan-jalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit, lalu aku mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat yang dulu mendatangiku ketika di gua Hira’ duduk diatas kursi antara langit dan bumi. Melihat hal itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku mendatangi keluargaku sembari berkata: ‘selimutilah aku! Selimutilah aku!’. Lantas mereka menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat al-Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhal muddatstsir….hingga firmanNya: …fahjur’. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu tetap terjaga dan datang secara teratur”. Dalam hadits yang shahih: ” Aku tinggal di dekat gua Hira’ selama sebulan; tatkala aku sudah selesai melakukan itu, maka aku turun gunung. Dan ketika aku sampai ke sebuah lembah dan aku dipanggil oleh seseorang…”. Kemudian (teks hadits selanjutnya-red) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan (cerita) sebagaimana yang telah dikemukakan diatas yang intinya; bahwa ayat tersebut turun setelah sempurnanya beliau menyertai bulan Ramadhan dan dengan begitu, artinya masa stagnan antara dua wahyu tersebut berlangsung selama sepuluh hari sebab beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat lagi menyertai Ramadhan berikutnya setelah turunnya wahyu pertama.

Ayat-ayat tersebut merupakan permulaan dari masa kerasulan (risalah) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam alias datang setelah masa kenabian (nubuwwah) yang berjarak selama masa stagnan turunnya wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis taklif (pembebanan syara’) beserta penjelasan konsekuensinya.

Jenis pertama adalah mentaklif beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penyampaian (al-Balagh) dan peringatan ( at- Tahzir) saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Surat al-Muddatstsir:2); makna ayat ini adalah agar beliau memperingatkan manusia akan azab Allah atas mereka jika mereka tidak bertaubat dari dosa, kesesatan, beribadah kepada selain Allah Yang Maha Tinggi serta berbuat syirik kepadaNya dalam zat, sifat-sifat, hak-hak dan perbuatan-perbuatan.

Jenis kedua adalah mentaklif beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penerapan perintah-perintah Allah Ta’ala terhadap zatNya dan komitmen terhadapnya dalam jiwa beliau agar mendapatkan keridhaan Allah dan menjadi suri teladan yang baik bagi orang yang beriman kepada Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat berikutnya. FirmanNya Ta’ala: “dan Rabb-mu agungkanlah!”(al-Muddatstsir: 3); maknanya adalah khususkanlah Dia Ta’ala dengan pengagungan dan janganlah menyekutukanNya dengan seseorangpun. Dan firmanNya: “dan pakaianmu bersihkanlah!” (al-Muddatstsir:4); makna lahiriyahnya adalah menyucikan/membersihkan pakaian dan jasad sebab tidaklah layak bagi orang yang mengagungkan Allah dan menghadapNya dalam kondisi dilumuri oleh najis dan kotor. Jika saja kesucian/kebersihan ini dituntut untuk dilakukan maka kesucian/kebersihan diri dari virus-virus syirik, pekerjaan dan akhlak yang hina tentunya lebih utama untuk dituntut. Dan firmanNya: “dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah!” (al-Muddatstsir:5) ; maknanya adalah jauhkanlah dari sebab-sebab turunnya kemurkaan Allah dan azabNya, dan hal ini direalisasikan melalui komitmen untuk ta’at kepadaNya dan meninggalkan maksiat. Sedangkan firmanNya: “dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!” (al-Muddatstsir: 6); yakni janganlah kamu berbuat baik dengan menginginkan upah dari manusia atasnya atau balasan yang lebih utama di dunia ini.

Adapun makna ayat terakhir (yang diturunkan saat itu kepada beliau-red); didalamnya terdapat peringatan akan adanya gangguan dari kaumnya ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda agama dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah semata dan memperingatkan mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam firmanNya: “dan untuk memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!” (al-Muddatstsir: 7).

Permulaan ayat-ayat tersebut (surat al-Muddatstsir) berbicara tentang panggilan langit nan agung- terekam dalam suara Yang Maha Besar dan Maha Tinggi- yang mengajurkan agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia ini dan memerintahkannya agar mengenyahkan tidur, selimut dan berhangat-hangat guna menyongsong panggilan jihad, berjuang dan menempuh jalan penuh ranjau; ini tergambar dalam firmanNya: “Hai orang yang berselimut! bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Surat al-Muddatstsir:2) . Seakan-akan dikatakan (kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ): sesungguhnya orang yang hanya hidup untuk kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan nyaman sedangkan engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya tidur bagimu? Apa gunanya istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya permadani yang hangat bagimu? Apa gunanya hidup yang tenang bagimu? Apa gunanya kesenangan yang membuaikan bagimu? Bangunlah untuk melakukan urusan maha penting yang menunggumu dan beban berat yang disediakan untukmu! Bangunlah untuk berjuang, bergiat-giat, bekerja keras dan berletih-letih! Bangunlah! Karena waktu tidur dan istirahat sudah berlalu, dan tidak akan kembali lagi sejak hari ini; yang ada hanyalah mata yang meronda secara kontinyu, jihad yang panjang dan melelahkan. Bangunlah! Persiapkan diri menyambut urusan ini dan bersiagalah!.

Sungguh ini merupakan ucapan agung dan kharismatik yang (seakan) melucuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kehangatan permadani di suatu rumah yang nyaman dan pelukan yang suam untuk kemudian melemparkannya keluar menuju samudera luas yang diselimuti oleh deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan samudera) dimana terjadi tarik menarik yang membuat posisinya di hati manusia dan realitas hidup sama saja.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bangun dan tetap bangun setelah perintah itu selama lebih dari dua puluh tahun; tidak pernah beristirahat dan tidak pula hanya hidup untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas pondasi dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat namun beliau tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka bumi ini, beban manusia secara keseluruhan, beban ‘aqidah secara keseluruhan, beban perjuangan dan jihad di medan-medan yang berbeda. Beliau hidup menghadapi pertempuran yang kontinyu selama lebih dari dua puluh tahun. Selama tenggang waktu ini, tidak satupun hal yang dapat membuatnya lengah, yaitu sejak beliau mendengar panggilan langit nan agung yang menyerahkan taklif yang begitu dahsyat untuk diembannya… semoga Allah membalas jasa beliau terhadap manusia secara keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.

Sekilas ulasan tentang urutan kronologi turunnya wahyu

Sebelum beranjak ke penjelasan detail mengenai kehidupan di bawah naungan risalah dan nubuwwah, kami melihat perlu kita mengetahui urutan kronologi turunnya wahyu yang merupakan sumber risalah dan tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika menyinggung urutan kronologi turunnya wahyu tersebut:

Pertama, berupa ar-Ru’ya ash-Shaadiqah (mimpi yang benar); ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, berupa sesuatu yang ditimbulkan oleh malaikat terhadap rau’ (hati yang ketakutan, akal) dan hatinya tanpa dapat melihatnya; hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril ‘alaihissalam) menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan) bahwasanya jiwa tidak akan mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah, berindah-indahlah dalam meminta serta janganlah keterlambatan rizki atas kalian mendorong kalian untuk memintanya dengan cara melakukan perbuatan maksiat kepadaNya, karena sesungguhnya apa yang ada disisi Allah tidak akan didapat kecuali dengan berbuat ta’at kepadaNya”.

Ketiga, berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki; lantas dia mengajak beliau berbicara hingga mengingat dengan jelas apa yang dikatakan kepadanya. Dalam urutan ini, terkadang para shahabat melihat malaikat tersebut.

Keempat, berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada beliau; peristiwa ini merupakan pengalaman yang paling berat bagi beliau dimana malaikat memakai cara ini hingga membuat keningnya mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang amat dingin. Demikian pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti kondisi tersebut dan saat itu paha beliau ditaruh diatas paha Zaid bin Tsabit yang seketika dirasakan olehnya (Zaid) demikian berat sehingga hampir saja remuk.

Kelima, berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa seperti ini dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat an-Najm.

Keenam, berupa wahyu yang diwahyukan kepada beliau; yaitu saat beliau berada diatas lelangit pada malam mi’raj , diantaranya ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.

Ketujuh, berupa Kalamullah kepada beliau (dariNya kepadanya) tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin ‘Imran; peristiwa seperti ini terjadi dan diabadikan secara qath’i berdasarkan nash al-Qur’an. Sedangkan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara tentang Isra’ .

Sebagian para ulama menambah urutannya menjadi delapan, yaitu; Allah berbicara kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung tanpa hijab; ini merupakan permasalahan yang diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam penjelasan tentang urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang benar, bahwa urutan terakhir ini (kedelapan) tidak tsabit (valid dan dipercaya keabsahan riwayatnya-red).

SIRAH NABAWIYAH ( 07 )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
PERIODE MEKKAH

Kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan nubuwwah dan risalah terbagi menjadi dua periode yang masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri secara total, yaitu:

PERIODE MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang 13 tahun

PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh

Dan masing-masing periode mengalami beberapa tahapan sedangkan masing-masing tahapan memiliki karakteristik tersendiri yang menonjolkannya dari yang lainnya. Hal itu akan tampak jelas setelah kita melakukan penelitian secara seksama dan detail terhadap kondisi yang dilalui oleh dakwah dalam kedua periode tersebut.

Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan: 

Tahapan Dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama tiga tahun.

Tahapan Dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari permulaan tahun ke-empat kenabian hingga hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah.

Tahapan Dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya di kalangan penduduknya; dari penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana juga mencakup Periode Madinah- dan berlangsung hingga akhir hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun mengenai tahapan-tahapan Periode Madinah maka rincian pembahasannya akan diketengahkan pada tempatnya nanti.

DIBAWAH NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN 

Di Gua Hira’ 

Setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi untuk mengasingkan diri. Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40 tahun; beliau membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira’ yang terletak di jabal an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang indah, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira’ al-Hadid (hasta ukuran besi). Di dalam gua tersebut, beliau berpuasa bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya. Beliau menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu. Kaumnya yang masih menganut ‘aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh membuatnya tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang jelas, manhaj yang terprogram serta cara yang terarah yang membuatnya tenang dan setuju dengannya.

Pilihan mengasingkan diri (‘uzlah) yang diambil oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir (aturan) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya hubungannya dengan kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan nestapa-nestapa kecil yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan dalam mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah. ‘Uzlah yang sudah ditadbir oleh Allah ini terjadi tiga tahun sebelum beliau ditaklif dengan risalah. Beliau mengambil jalan ‘uzlah ini selama sebulan dengan semangat wujud yang bebas dan mentadabburi kehidupan ghaib yang tersembunyi dibalik wujud tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan kehidupan ghaib ini saat Allah memperkenankannya.

Jibril ‘alaihissalam turun membawa wahyu 

Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh tahun- yaitu usia yang melambangkan kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa diusia inilah para Rasul diutus – tanda-tanda nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ar-Ru’ya –ash-Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan –masa kenabian berlangsung selama dua puluh tiga tahun- dan ar-Ru’ya ash-Shadiqah ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya (‘uzlah) di gua Hira’, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat al-Qur’an.

Setelah melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat menentukan persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M. Tepatnya usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas hari menurut penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan; hijriyyah) dan sekitar tiga puluh sembilan tahun tiga bulan dua puluh hari; ini menurut penanggalan syamsiyyah (berdasarkan peredaran matahari; masehi).

Mari kita dengar sendiri ‘Aisyah ash-Shiddiqah radhiallâhu ‘anha menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan noktah permulaan nubuwwah tersebut dan yang mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan sehingga dapat mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah; ‘Aisyah radhiallâhu ‘anha berkata: “Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berupa ar-Ru’ya ash-Shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan ar-Ru’ya itu hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di gua Hira’; beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya. Dalam melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira’ tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata: “bacalah!”, lalu aku menjawab (ini adalah jawaban Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh pengarang buku ini dinukil langsung dari naskah asli haditsnya-red): “aku tidak bisa membaca!”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur lagi: “kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata: “bacalah!”. Aku tetap menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Lalu dia untuk kedua kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga kemudian melepaskanku seraya berkata lagi: “bacalah!”. Lalu aku tetap menjawab: “aku tidak bisa membaca!”. Kemudian dia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, sembari berkata: “bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu lah Yang Paling Pemurah”. (Q.S. al-‘Alaq: 1-3). Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berucap: “selimuti aku! Selimuti aku!”. Beliau pun diselimuti hingga rasa ketakutannya hilang. Beliau bertanya kepada Khadijah: “apa yang terjadi terhadapku ini?”. Lantas beliau menceritakan pengalamannya, dan berkata: “aku amat khawatir terhadap diriku!”. Khadijah berkata: “sekali-kali tidak akan! Demi Allah! Dia Ta’ala tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali rahim, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu serta penolong setiap upaya menegakkan kebenaran”. Kemudian Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, anak paman Khadijah (sepupunya). Dia (anak pamannya tersebut) adalah seorang yang menganut agama Nashrani pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan ‘Ibrani dan sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis –sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan ‘Ibrani. Dia juga, seorang yang sudah tua renta dan buta; ketika itu Khadijah berkata kepadanya: “wahai anak pamanku! Dengarkanlah (cerita) dari anak saudaramu!”. Waraqah berkata: “wahai anak laki-laki saudara (laki-laki)-ku! Apa yang engkau lihat?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah berkata kepadanya: “sesungguhnya inilah sebagaimana ajaran yang diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “benarkah mereka akan mengusirku?”. Dia menjawab: “ya! Tidak seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membantumu dengan sekuat tenaga”. Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).

Masa Stagnan Turunnya Wahyu 

Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa stagnan itu berlangsung selama beberapa hari ; pendapat inilah yang rajih/kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung selama tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah shahih sama sekali, namun disini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.

Pada masa stagnan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dirundung kesedihan yang mendalam yang diselimuti oleh rasa kebingungan dan panik.

Dalam kitab “at-Ta’bir” , Imam Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut:” menurut berita yang sampai kepada kami, wahyupun mengalami stagnan hingga membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedih dan berkali-kali berlarian agar dia dapat terjerembab ke ujung jurang-jurang gunung, namun setiap beliau mencapai puncak gunung untuk mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata: “wahai Muhammad! Sesungguhnya engkau sebenar-benar utusan Allah!”. Spirit ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun manakala masa stagnan itu masih terus berlanjut beliaupun mengulangi tindakan sebagaimana sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya (memberi spirit kepada beliau-red)”.

Jibril ‘alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu

Ibnu Hajar berkata: “Masa stagnan itu sungguh telah menghilangkan ketakutan yang telah dialami oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan membuatnya bersemangat untuk kembali mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam untuk kedua kalinya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang masa stagnan itu, beliau bercerita: “Ketika aku tengah berjalan-jalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit, lalu aku mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat yang dulu mendatangiku ketika di gua Hira’ duduk diatas kursi antara langit dan bumi. Melihat hal itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku mendatangi keluargaku sembari berkata: ‘selimutilah aku! Selimutilah aku!’. Lantas mereka menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat al-Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhal muddatstsir….hingga firmanNya: …fahjur’. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu tetap terjaga dan datang secara teratur”. Dalam hadits yang shahih: ” Aku tinggal di dekat gua Hira’ selama sebulan; tatkala aku sudah selesai melakukan itu, maka aku turun gunung. Dan ketika aku sampai ke sebuah lembah dan aku dipanggil oleh seseorang…”. Kemudian (teks hadits selanjutnya-red) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan (cerita) sebagaimana yang telah dikemukakan diatas yang intinya; bahwa ayat tersebut turun setelah sempurnanya beliau menyertai bulan Ramadhan dan dengan begitu, artinya masa stagnan antara dua wahyu tersebut berlangsung selama sepuluh hari sebab beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempat lagi menyertai Ramadhan berikutnya setelah turunnya wahyu pertama.

Ayat-ayat tersebut merupakan permulaan dari masa kerasulan (risalah) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam alias datang setelah masa kenabian (nubuwwah) yang berjarak selama masa stagnan turunnya wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis taklif (pembebanan syara’) beserta penjelasan konsekuensinya.

Jenis pertama adalah mentaklif beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penyampaian (al-Balagh) dan peringatan ( at- Tahzir) saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala: “bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Surat al-Muddatstsir:2); makna ayat ini adalah agar beliau memperingatkan manusia akan azab Allah atas mereka jika mereka tidak bertaubat dari dosa, kesesatan, beribadah kepada selain Allah Yang Maha Tinggi serta berbuat syirik kepadaNya dalam zat, sifat-sifat, hak-hak dan perbuatan-perbuatan.

Jenis kedua adalah mentaklif beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penerapan perintah-perintah Allah Ta’ala terhadap zatNya dan komitmen terhadapnya dalam jiwa beliau agar mendapatkan keridhaan Allah dan menjadi suri teladan yang baik bagi orang yang beriman kepada Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat berikutnya. FirmanNya Ta’ala: “dan Rabb-mu agungkanlah!”(al-Muddatstsir: 3); maknanya adalah khususkanlah Dia Ta’ala dengan pengagungan dan janganlah menyekutukanNya dengan seseorangpun. Dan firmanNya: “dan pakaianmu bersihkanlah!” (al-Muddatstsir:4); makna lahiriyahnya adalah menyucikan/membersihkan pakaian dan jasad sebab tidaklah layak bagi orang yang mengagungkan Allah dan menghadapNya dalam kondisi dilumuri oleh najis dan kotor. Jika saja kesucian/kebersihan ini dituntut untuk dilakukan maka kesucian/kebersihan diri dari virus-virus syirik, pekerjaan dan akhlak yang hina tentunya lebih utama untuk dituntut. Dan firmanNya: “dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah!” (al-Muddatstsir:5) ; maknanya adalah jauhkanlah dari sebab-sebab turunnya kemurkaan Allah dan azabNya, dan hal ini direalisasikan melalui komitmen untuk ta’at kepadaNya dan meninggalkan maksiat. Sedangkan firmanNya: “dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!” (al-Muddatstsir: 6); yakni janganlah kamu berbuat baik dengan menginginkan upah dari manusia atasnya atau balasan yang lebih utama di dunia ini.

Adapun makna ayat terakhir (yang diturunkan saat itu kepada beliau-red); didalamnya terdapat peringatan akan adanya gangguan dari kaumnya ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda agama dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah semata dan memperingatkan mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam firmanNya: “dan untuk memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!” (al-Muddatstsir: 7).

Permulaan ayat-ayat tersebut (surat al-Muddatstsir) berbicara tentang panggilan langit nan agung- terekam dalam suara Yang Maha Besar dan Maha Tinggi- yang mengajurkan agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia ini dan memerintahkannya agar mengenyahkan tidur, selimut dan berhangat-hangat guna menyongsong panggilan jihad, berjuang dan menempuh jalan penuh ranjau; ini tergambar dalam firmanNya: “Hai orang yang berselimut! bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Surat al-Muddatstsir:2) . Seakan-akan dikatakan (kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ): sesungguhnya orang yang hanya hidup untuk kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan nyaman sedangkan engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya tidur bagimu? Apa gunanya istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya permadani yang hangat bagimu? Apa gunanya hidup yang tenang bagimu? Apa gunanya kesenangan yang membuaikan bagimu? Bangunlah untuk melakukan urusan maha penting yang menunggumu dan beban berat yang disediakan untukmu! Bangunlah untuk berjuang, bergiat-giat, bekerja keras dan berletih-letih! Bangunlah! Karena waktu tidur dan istirahat sudah berlalu, dan tidak akan kembali lagi sejak hari ini; yang ada hanyalah mata yang meronda secara kontinyu, jihad yang panjang dan melelahkan. Bangunlah! Persiapkan diri menyambut urusan ini dan bersiagalah!.

Sungguh ini merupakan ucapan agung dan kharismatik yang (seakan) melucuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kehangatan permadani di suatu rumah yang nyaman dan pelukan yang suam untuk kemudian melemparkannya keluar menuju samudera luas yang diselimuti oleh deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan samudera) dimana terjadi tarik menarik yang membuat posisinya di hati manusia dan realitas hidup sama saja.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bangun dan tetap bangun setelah perintah itu selama lebih dari dua puluh tahun; tidak pernah beristirahat dan tidak pula hanya hidup untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas pondasi dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat namun beliau tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka bumi ini, beban manusia secara keseluruhan, beban ‘aqidah secara keseluruhan, beban perjuangan dan jihad di medan-medan yang berbeda. Beliau hidup menghadapi pertempuran yang kontinyu selama lebih dari dua puluh tahun. Selama tenggang waktu ini, tidak satupun hal yang dapat membuatnya lengah, yaitu sejak beliau mendengar panggilan langit nan agung yang menyerahkan taklif yang begitu dahsyat untuk diembannya… semoga Allah membalas jasa beliau terhadap manusia secara keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.

Sekilas ulasan tentang urutan kronologi turunnya wahyu

Sebelum beranjak ke penjelasan detail mengenai kehidupan di bawah naungan risalah dan nubuwwah, kami melihat perlu kita mengetahui urutan kronologi turunnya wahyu yang merupakan sumber risalah dan tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika menyinggung urutan kronologi turunnya wahyu tersebut:

Pertama, berupa ar-Ru’ya ash-Shaadiqah (mimpi yang benar); ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, berupa sesuatu yang ditimbulkan oleh malaikat terhadap rau’ (hati yang ketakutan, akal) dan hatinya tanpa dapat melihatnya; hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril ‘alaihissalam) menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan) bahwasanya jiwa tidak akan mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah, berindah-indahlah dalam meminta serta janganlah keterlambatan rizki atas kalian mendorong kalian untuk memintanya dengan cara melakukan perbuatan maksiat kepadaNya, karena sesungguhnya apa yang ada disisi Allah tidak akan didapat kecuali dengan berbuat ta’at kepadaNya”.

Ketiga, berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki; lantas dia mengajak beliau berbicara hingga mengingat dengan jelas apa yang dikatakan kepadanya. Dalam urutan ini, terkadang para shahabat melihat malaikat tersebut.

Keempat, berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada beliau; peristiwa ini merupakan pengalaman yang paling berat bagi beliau dimana malaikat memakai cara ini hingga membuat keningnya mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang amat dingin. Demikian pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti kondisi tersebut dan saat itu paha beliau ditaruh diatas paha Zaid bin Tsabit yang seketika dirasakan olehnya (Zaid) demikian berat sehingga hampir saja remuk.

Kelima, berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa seperti ini dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat an-Najm.

Keenam, berupa wahyu yang diwahyukan kepada beliau; yaitu saat beliau berada diatas lelangit pada malam mi’raj , diantaranya ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.

Ketujuh, berupa Kalamullah kepada beliau (dariNya kepadanya) tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin ‘Imran; peristiwa seperti ini terjadi dan diabadikan secara qath’i berdasarkan nash al-Qur’an. Sedangkan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara tentang Isra’ .

Sebagian para ulama menambah urutannya menjadi delapan, yaitu; Allah berbicara kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung tanpa hijab; ini merupakan permasalahan yang diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam penjelasan tentang urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang benar, bahwa urutan terakhir ini (kedelapan) tidak tsabit (valid dan dipercaya keabsahan riwayatnya-red).

SIRAH NABAWIYAH ( 08 )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
TAHAPAN PERTAMA BERJIHAD MELALUI DAKWAH KEPADA ALLAH

Tahapan Dakwah Sirriyyah selama tiga tahun 

Seperti yang sudah diketahui bahwa kota Mekkah merupakan pusat agama bagi bangsa Arab. Disana terdapat para pengabdi ka’bah dan tiang sandaran bagi berhala dan patung-patung yang dianggap suci oleh seluruh bangsa Arab. Untuk mencapai sasaran perbaikan yang memadai terhadap kondisi yang ada nampaknya akan bertambah sulit dan keras jika jauh dari jangkauan kondisionalnya. Karenanya, kondisi tersebut membutuhkan tekad baja yang tak mudah tergoyahkan oleh beruntunnya musibah dan bencana yang menimpa; maka adalah bijaksana dalam menghadapi hal itu, memulai dakwah secara sirri (sembunyi-sembunyi) agar penduduk Mekkah tidak dikagetkan dengan hal yang (bisa saja) memancing emosi mereka.

Gelombang Pertama

Sudah merupakan sesuatu yang lumrah bila yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah menawarkan Islam kepada orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau, keluarga besar serta shahabat-shahabat karib beliau; mereka semua didakwahi oleh beliau untuk memeluk Islam. Beliau juga tak lupa mendakwahi orang yang sudah saling mengenal dengan beliau dan memiliki sifat baik dan suka berbuat baik, mereka yang beliau kenal sebagai orang-orang yang mencintai Allah al-Haq dan kebaikan atau mereka yang mengenal beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai sosok yang selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keshalihan. Hasilnya, banyak diantara mereka – yang tidak sedikitpun digerayangi oleh keraguan terhadap keagungan, kebesaran jiwa Rasulullah serta kebenaran berita yang dibawanya- merespons dengan baik dakwah beliau. Mereka ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai as-Saabiquun al-Awwalluun (orang-orang yang paling dahulu dan pertama masuk Islam). Di barisan depan mereka terdaftar isteri Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, maula (budak) beliau, Zaid bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbi, keponakan beliau; ‘Ali bin Abi Thalib – yang ketika itu masih anak-anak dan hidup dibawah tanggungan beliau – serta shahabat paling dekat beliau, Abu Bakr ash-Shiddiq. Mereka semua memeluk Islam pada permulaan dakwah.

Kemudian, Abu Bakr bergiat dalam mendakwahi Islam. Dia adalah sosok laki-laki yang lembut, disenangi, fleksibel dan berbudi baik. Para tokoh kaumnya selalu mengunjunginya dan sudah tidak asing dengan kepribadiannya karena keintelekan, kesuksesan dalam berbisnis dan pergaulannya yang luwes. Dia terus berdakwah kepada orang-orang dari kaumnya yang dia percayai dan selalu berinteraksi dan bermajlis dengannya. Berkat hal itu, maka masuk Islam lah ‘Utsman bin ‘Affana al-Umawi, az-Zubair bin al-‘Awam al-Asadi, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqash az-Zuhriyan dan Thalhah bin ‘Ubaidillah at-Timi. Kedelapan orang inilah yang terlebih dahulu masuk Islam dan merupakan gelombang pertama dan palang pintu Islam.

Diantara orang-orang pertama lainnya yang masuk Islam adalah Bilal bin Rabah al-Habasyi, kemudian diikuti oleh Amin (Kepercayaan) umat ini, Abu ‘Ubaidah; ‘Amir bin al-Jarrah yang berasal dari suku Bani al-Harits bin Fihr, Abu Salamah bin ‘Abdul Asad, al-Arqam bin Abil Arqam (keduanya berasal dari suku Makhzum), ‘Utsman bin Mazh’un – dan kedua saudaranya; Qudamah dan ‘Abdullah -, ‘Ubaidah bin al-Harits bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf, Sa’id bin Zaid al-‘Adawy dan isterinya; Fathimah binti al-Khaththab al-‘Adawiyyah – saudara perempuan dari ‘Umar bin al-Khaththab -, Khabbab bin al-Arts, ‘Abdullah bin Mas’ud al-Hazaly serta banyak lagi selain mereka. Mereka itulah yang dinamakan as-Saabiquunal Awwaluun. Mereka terdiri dari semua suku Quraisy yang ada bahkan Ibnu Hisyam menjumlahkannya lebih dari 40 orang. Namun, dalam penyebutan sebagian dari nama-nama tersebut masih perlu diberikan catatan.

Ibnu Ishaq berkata: “…kemudian banyak orang yang masuk Islam secara berbondong-bondong baik laki-laki maupun wanita sampai akhirnya tersiarlah gaung “Islam” di seantero Mekkah dan mulai banyak menjadi bahan perbincangan orang.

Mereka semua masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Maka cara yang sama pun dilaklukan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam pertemuan beliau dengan pengarahan agama yang diberikan karena dakwah ketika itu masih bersifat individu dan sembunyi-sembunyi. Wahyu turun secara berkesinambungan dan memuncak setelah turunnya permulaan surat al-Muddatstsir. Ayat-ayat dan penggalan-penggalan surat yang turun pada masa ini merupakan ayat-ayat pendek; memiliki pemisah-pemisah yang indah dan valid, senandung yang menyejukkan dan memikat seiring dengan suasana suhu domestik yang begitu lembut dan halus. Ayat-ayat tersebut membicarakan solusi memperbaiki penyucian diri ( tazkiyatun nufuus), mencela pengotorannya dengan gemerlap duniawi dan menyifati surga dan neraka yang seakan-akan terlihat oleh mata kepala sendiri. Juga, menggiring kaum Mukminin ke dalam suasana yang lain dari kondisi komunitas sosial kala itu.

Perintah Shalat

Termasuk wahyu pertama yang turun adalah perintah mendirikan shalat. Ibnu Hajar berkata: “sebelum terjadinya Isra’, beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam secara qath’i pernah melakukan shalat, demikian pula dengan para shahabat akan tetapi yang diperselisihkan apakah ada shalat lain yang telah diwajibkan sebelum (diwajibkannya) shalat lima waktu ataukah tidak?. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari”. Demikian penuturan Ibnu Hajar.

Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur Ibnu Lahi’ah secara maushul ( disambungkan setelah sanad-sanadnya mu’allaq [terputus di bagian tertentu]) dari Zaid bin Haritsah bahwasanya pada awal datangnya wahyu, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam didatangi oleh malaikat Jibril; dia mengajarkan beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala selesai melakukannya, beliau mengambil seciduk air lantas memercikkannya ke faraj beliau. Ibnu Majah juga telah meriwayatkan hadits yang semakna dengan itu, demikian pula riwayat semisalnya dari al-Bara’ bin ‘Azib dan Ibnu ‘Abbas serta hadits Ibnu ‘Abbas sendiri. Hal tersebut merupakan kewajiban pertama.

Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa bila waktu shalat telah masuk, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan para shahabat pergi ke perbukitan dan menjalankan shalat disana secara sembunyi-sembunyi jauh dari kaum mereka. Abu Thalib pernah sekali waktu melihat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan ‘Ali melakukan shalat, lantas menegur keduanya namun manakala dia mengetahui bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang serius, dia memerintahkan keduanya untuk berketetapan hati (tsabat).

Kaum Quraisy mendengar perihal dakwah secara global

Meskipun dakwah pada tahapan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan bersifat individu, namun perihal beritanya sampai juga ke telinga kaum Quraisy. Hanya saja, mereka belum mempermasalahkannya karena Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyinggung agama mereka ataupun tuhan-tuhan mereka.

Tiga tahunpun berlalu sementara dakwah masih berjalan secara sembunyi-sembunyi dan individu; dalam tempo waktu ini terbentuklah suatu jamaah Mukminin yang dibangun atas pondasi ukhuwwah (persaudaraan) dan ta’awun (solidaritas) serta penyampaian risalah dan proses reposisinya. Kemudian turunlah wahyu yang membebankan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam agar menyampaikan dakwah kepada kaumnya secara terang-terangan; menentang kebatilan mereka serta menyerang berhala-berhala mereka.

SIRAH NABAWIYAH ( 09 A )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH JAHRIYYAH)

Perintah Pertama untuk menampakkan Dakwah

Sehubungan dengan hal ini, ayat pertama yang turun adalah firmanNya: “dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (Q.S.26/asy-Syu’ara’ : 214). Terdapat jalur cerita sebelumnya yang menyinggung kisah Musa ‘alaihissalaam dari permulaan kenabiannya hingga hijrahnya bersama Bani Israil, lolosnya mereka dari kejaran Fir’aun dan kaumnya serta tenggelamnya fir’aun bersama kaumnya. Kisah ini mengandung beberapa tahapan yang dilalui oleh Musa ‘alaihissalaam dalam dakwahnya terhadap Fir’aun dan kaumnya agar menyembah Allah.

Seakan-akan rincian ini hanya dipaparkan seiring dengan perintah kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam agar berdakwah kepada Allah secara terang-terangan sehingga dihadapan beliau dan para shahabatnya terdapat contoh dan gambaran yang akan dialami oleh mereka nantinya;yaitu berupa pendustaan dan penindasan manakala mereka melakukan dakwah tersebut secara terang-terangan. Demikian pula, agar mereka mawas diri dalam melakukan hal itu dan berdasarkan ilmu semenjak awal memulai dakwah mereka tersebut.

Disamping itu, surat tersebut (asy-Syu’ara’) juga berbicara mengenai nasib yang akan dialami oleh pendusta-pendusta para Rasul, diantaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum nabi Nuh, kaum ‘Ad dan Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta Ashhabul Aykah (selain yang berkaitan dengan perihal Fir’aun dan kaumnya). Hal itu semua dimaksudkan agar mereka yang melakukan pendustaan mengetahui bahwa mereka akan mengalami nasib yang sama seperti nasib kaum-kaum tersebut dan mendapatkan pembalasan dari Allah bila melakukan hal yang sama. Demikian pula, agar kaum Mukminin tahu bahwa kesudahan yang baik dari itu semua akan berpihak kepada mereka bukan kepada para pendusta tersebut.

Berdakwah di kalangan Kaum Kerabat

Setelah menerima perintah dalam ayat tersebut, Rasululullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengundang keluarga terdekatnya, Bani Hasyim. Mereka datang memenuhi undangan itu disertai oleh beberapa orang dari Bani al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf. Mereka semua berjumlah sekitar 45 orang laki-laki. Namun tatkala Rasulullah ingin berbicara, tiba-tiba Abu Lahab memotongnya sembari berkata: “mereka itu (yang hadir) adalah paman-pamanmu, anak-anak mereka; bicaralah dan tinggalkanlah masa kekanak-kanakan! Ketahuilah! Bahwa kaummu tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan seluruh bangsa Arab. Akulah orang yang berhak membimbingmu. Cukuplah bagimu suku-suku dari pihak bapakmu. Bagi mereka, jika engkau ngotot melakukan sebagaimana yang engkau lakukan sekarang, adalah lebih mudah ketimbang bila seluruh suku Quraisy bersama-sama bangsa Arab bergerak memusuhimu. Aku tidak pernah melihat seseorang yang datang kepada suku-suku dari pihak bapaknya dengan membawa suatu yang lebih jelek dari apa yang telah engkau bawa ini”. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam hanya diam dan tidak berbicara pada majlis itu.

Kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengundang mereka lagi, dan berbicara: “alhamdulillah, aku memujiNya, meminta pertolongan, beriman serta bertawakkal kepadaNya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah semata Yang tiada sekutu bagiNya”. Selanjutnya beliau berkata: “sesungguhnya seorang pemimpin tidak mungkin membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah yang tiada Tuhan selainNya! Sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang datang kepada kalian secara khusus, dan kepada manusia secara umum. Demi Allah! sungguh kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian akan dihisab (diminta pertanggungjawabannya) terhadap apa yang kalian lakukan. Sesungguhnya yang ada hanya surga yang abadi atau neraka yang abadi”. Kamudian Abu Thalib berkomentar: “alangkah senangnya kami membantumu, menerima nasehatmu, dan sangat membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan suku-suku dari pihak bapakmu telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah salah seorang dari mereka namun aku adalah orang yang paling cepat merespek apa yang engkau inginkan; oleh karena itu teruskan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Demi Allah! aku masih akan melindungi dan membelamu akan tetapi diriku tidak memberikan cukup keberanian kepadaku untuk berpisah dengan agama Abdul Muththalib “. Ketika itu, berkata Abu Lahab: “demi Allah! ini benar-benar merupakan aib besar. Ayo cegahlah dia sebelum dia berhasil menyeret orang lain selain kalian!. Abu Thalib menjawab: “demi Allah! sungguh selama kami masih hidup, kami akan membelanya”.

Di atas Bukit Shafa

Setelah yakin tugasnya menyampaikan wahyu Rabbnya telah mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam suatu hari berdiri tegak diatas bukit Shafa sembari berteriak: ” Ya shabaahah! (seruan untuk menarik perhatian orang agar berkumpul di waktu pagi)”. Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy. Kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengajak mereka kepada tauhid, beriman kepada risalah yang dibawanya dan Hari Akhir.

Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari kisah ini, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “tatkala turun ayat {firmanNya: ‘dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat’ [Q.S. asy-Syu’ara’ : 214] } Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil-manggil : ‘wahai Bani Fihr! Wahai Bani ‘Adiy! Seruan ini diarahkan kepada suku-suku Quraisy. Kemudian tak berapa lama, merekapun berkumpul. Karena maha pentingnya panggilan itu, seseorang yang tidak bisa keluar memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan yang terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisypun berkumpul juga. Kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berbicara: ‘bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?. Mereka menjawab: ‘ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran’. Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah sebagai pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih’. Abu Lahab menanggapi: ‘celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?. Maka ketika itu turunlah ayat {firmanNya: “binasalah kedua tangan Abu Lahab…”} [Q.S. al-Masad: 1] “.

Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, dia berkata: “Tatkala ayat ini turun {firmanNya: ‘dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat’ [Q.S. asy-Syu’ara’ : 214] } Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam skala umum ataupun khusus. Beliau berkata: ‘wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka’b! Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk menyelamatkan kalian) dari azab Allah selain kalian memiliki ikatan rahim yang akan aku sambung karenanya”.

Teriakan yang keras ini merupakan bentuk dari esensi penyampaian dakwah yang optimal dimana Rasulullah telah menjelaskan kepada orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa membenarkan risalah yang dibawanya tersebut adalah bentuk dari efektifitas hubungan antara dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa fanatisme kekerabatan yang dibudayakan oleh orang-orang Arab akan lumer di bawah terik panasnya peringatan yang datang dari Allah tersebut.

Menyampaikan al-Haq secara terang-terangan dan sikap kaum Musyrikin terhadapnya

Teriakan lantang yang dipekikkan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam tersebut masih terasa gaungnya di seluruh penjuru Mekkah. Puncaknya saat turun firmanNya Ta’ala: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (Q.S. al-Hijr: 94). Lalu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam melakukan dakwah kepada Islam secara terang-terangan (dakwah jahriyyah) di tempat-tempat berkumpulnya kaum musyrikin dan di club-club mereka. Beliau membacakan Kitabullah kepada mereka dan menyampaikan ajakan yang selalu disampaikan oleh para Rasul terdahulu kepada kaum mereka: ‘wahai kaumku! Sembahlah Allah. kalian tidak memiliki Tuhan selainNya’. Beliau juga, mulai memamerkan cara beribadahnya kepada Allah di depan mata kepala mereka sendiri; beliau melakukan shalat di halaman ka’bah pada siang hari secara terang-terangan dan dihadapan khalayak ramai.

Dakwah yang beliau lakukan tersebut semakin mendapatkan sambutan sehingga banyak orang yang masuk ke dalam Dienullah satu per-satu. Namun kemudian antara mereka (yang sudah memeluk Islam) dan keluarga mereka yang belum memeluk Islam terjadi gap; saling membenci, menjauhi dan berkeraskepala. Melihat hal ini, kaum Quraisy merasa gerah dan pemandangan semacam ini amat menyakitkan mereka.

Sidang Majlis membahas upaya menghalangi Jemaah Haji agar tidak mendengarkan Dakwah Muhammad

Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain yang membuat kaum Quraisy gundah gulana; yaitu bahwa belum beberapa hari atau bulan saja dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa) mendekati musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat perlunya merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat) mereka sampaikan kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar dakwah yang disiarkannya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa mereka (delegasi Arab tersebut). Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah untuk membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama tersebut. Lalu al-Walid berkata:” Bersepakatlah mengenai perihalnya (Muhammad) dalam satu pendapat dan janganlah berselisih sehingga membuat sebagian kalian mendustakan pendapat sebagian yang lain dan sebagian lagi menolak pendapat sebagian yang lain”.

Mereka berkata kepadanya: “Katakan kepada kami pendapatmu yang akan kami jadikan acuan!”.

Lalu dia berkata: “justru kalian yang harus mengemukakan pendapat kalian biar aku dengar dulu”.

Mereka berkata: “(kita katakan) dia (Muhammad) adalah seorang dukun”.

Dia menjawab: “Tidak! Demi Allah dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun”.

Mereka berkata lagi: “kita katakan saja; dia seorang yang gila”.

Dia menjawab: “Tidak! Demi Allah! dia bukan seorang yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut”.

Mereka berkata lagi: “kalau begitu kita katakan saja; dia adalah seorang Penya’ir’ “.

Dia menjawab: “Dia bukan seorang Penya’ir. Kita telah mengenal semua bentuk sya’ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya’ir”.

Mereka berkata lagi: “Kalau begitu; dia adalah Tukang sihir”.

Dia menjawab: “Dia bukanlah seorang Tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun ‘uqad (buhul-buhul) mereka”.

Mereka kemudian berkata: “kalau begitu, apa yang harus kita katakan?”.

Dia menjawab: “Demi Allah! sesungguhnya ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan mengandung sihir (saking indahnya). Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah kalian merangkai sesuatupun sepertinya melainkan akan diketahui kebathilannya. Sesungguhnya, pendapat yang lebih dekat mengenai dirinya adalah dengan mengatakan bahwa dia seorang Tukang sihir yang mengarang suatu ucapan berupa sihir yang mampu memisahkan antara seseorang dengan bapaknya, saudaranya dan isterinya. Mereka semua menjadi terpisah lantaran hal itu”.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa tatkala al-Walid menolak semua pendapat yang mereka kemukakan kepadanya; mereka berkata kepadanya: “kemukakan kepada kami pendapatmu yang tidak ada celanya!”. Lalu dia berkata kepada mereka: “beri aku kesempatan barang sejenak untuk memikirkan hal itu!”. Lantas al-Walid berfikir dan menguras fikirannya hingga dia dapat menyampaikan kepada mereka pendapatnya tersebut sebagaimana yang disinggung diatas.

Dan mengenai al-Walid ini, Allah Ta’ala menurunkan enam belas ayat dari surat al-Muddatstsir, yaitu dari ayat 11 hingga ayat 26; dipertengahan ayat-ayat tersebut terdapat gambaran bagaimana dia berfikir keras, Dia Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya) [18]. maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan,[19]. kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan, [20]. kemudian dia memikirkan, [21]. sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, [22]. kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, [23]. lalu dia berkata:”(al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), [24]. ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”. [25].

Setelah majlis menyepakati keputusan tersebut, mereka mulai melaksanakannya; duduk-duduk di jalan-jalan yang dilalui orang hingga delegasi Arab datang pada musim haji. Setiap ada orang yang lewat, mereka peringatkan dan singgung kepadanya perihal Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam .

Sedangkan yang dilakukan oleh Rasululllah Shallallâhu ‘alaihi wasallam manakala sudah datang musimnya adalah mengikuti dan membuntuti orang-orang sampai ke rumah-rumah mereka, di pasar ‘Ukazh, Majinnah dan Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka ke jalan Allah namun Abu Lahab yang selalu membuntuti di belakang beliau memotong setiap ajakan beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan berbalik mengatakan kepada mereka: “jangan kalian ta’ati dia karena sesungguhnya dia adalah seorang Shabi’ (orang yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu atau orang yang menyembah bintang atau menyembah dewa-dewa) lagi Pendusta”.

Akhir yang terjadi, justru dari musim itu delegasi Arab banyak mengetahui perihal Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sehingga namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.

Metode-Metode yang digunakan dalam menghadapi Dakwah Islamiyyah

Manakala kaum Quraisy menyelesaikan rituil haji, mereka segera memikirkan metode-metode yang bakal digunakan dalam menghadapi dakwah Islamiyyah di tempat bertolaknya, lalu mereka memilih beberapa metode berikut:

Mengejek, menghina, merendahkan, mendustai dan menertawakan :
Target mereka adalah menghinakan kaum Muslimin dan melemahkan semangat juang mereka. Mereka menuduh nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan tuduhan-tuduhan yang kerdil dan celaan-celaan yang nista; menjuluki beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai orang gila , dalam firmanNya: “dan mereka berkata: “Hai orang yang diturunkan kepadanya adz-Dzikr (al-Qur’an), sesungguhnya engkau adalah orang yang benar-benar gila”. (Q.S.15/ al-Hijr: 6). Mereka juga menuduh beliau sebagai tukang sihir dan pendusta, dalam firmanNya: “Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata :”ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”. (Q.S. 38/Shaad: 4). Mereka mengunjungi dan menyambut beliau dengan penuh rasa dendam dan gemuruh kemarahan, {Allah berfirman} :” Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Qur’an dan mereka berkata:”Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila”. (QS. 68/al-Qalam:51).

Bila beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam sedang duduk-duduk dan disekitarnya shabat-shahabat beliau yang terdiri dari al- Mustadh’afun (kaum-kaum lemah), mereka mengejek sembari berkata: “(semacam) mereka itulah teman-teman duduk (ngobrol) nya, {Allah berfirman}: “orang-orang semacam itukah diantara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?”. (Q.S. 6/al-An’am: 53), lalu Allah membantah ucapan mereka tersebut: “Tidakkah Allah mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?”. (Q.S. 6/al-An’am: 53). Kondisi mereka sebenarnya persis sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah kepada kita, dalam firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang yang berdusta, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) mentertawakan orang-orang yang beriman (29). Dan apabila orangp-orang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan matanya (30). Dan apabila ornag-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira (31). Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: ‘sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat (32). Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin (33)”. [Q.S. 83/al-Muththaffifiin: 29-33].

Memperburuk citra ajaran-ajaran yang dibawanya, menyebarkan syubhat-syubhat, mempublikasikan dakwaan-dakwaan dusta, menyiarkan statement-statement yang keliru seputar ajaran-ajaran, diri dan pribadi beliau serta membesar-besarkan tentang hal itu:

Tindakan tersebut mereka maksudkan untuk tidak memberi kesempatan kepada orang-orang awam merenungi dakwahnya: Mereka selalu berkata tentang al-Qur’an: {Allah berfirman}: “dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang” (Q.S.25/al-Furqan: 5). {Dan firmanNya}: ” al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain…”. (Q.S. 25/al-Furqan: 4). Mereka sering berkata: {dalam firmanNya}: “sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. (Q.S. 16/an-Nahl: 103). Mereka juga sering mengatakan tentang Rasululullah : {dalam firmanNya}: “mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?”. (Q.S.25/al-Furqan: 7). Di dalam al-Qur’an terdapat banyak contoh bantahan terhadap statement-statement mereka setelah menukilnya ataupun tanpa menukilnya.

Menghalangi orang-orang agar tidak dapat mendengarkan al-Qur’an dan mengimbanginya dengan dongengan-dongengan orang-orang dahulu serta membuat sibuk mereka dengan hal itu:

Mereka menyebutkan bahwa an-Nadhar bin al-Harits pergi ke Hirah. Disana dia belajar cerita-cerita tentang raja-raja Persia, cerita-cerita tentang Rustum dan Asvandiar. Jika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sedang duduk-duduk di suatu majlis dalam rangka berwasiat kepada Allah dan mengingatkan manusia akan pembalasan-Nya, maka seusai beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu; an-Nadhar berbicara kepada orang-orang sembari berkata: “Demi Allah! ucapan Muhammad tersebut tidaklah lebih baik dari ucapanku ini”. Kemudian dia mengisahkan kepada mereka tentang cerita raja-raja Persia, Rustum dan Asvandiar. Setelah itu, dia berceloteh: “Kalau begitu, bagaimana bisa ucapan Muhammad lebih bagus dari ucapanku ini?”.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa an-Nadhar membeli seorang budak perempuan. Maka, setiap dia mendengarkan ada seseorang yang tertarik terhadap Islam, dia segera menggandengnya menuju budak perempuannya tersebut, lalu berkata (kepada budak perempuannya): “beri dia makan, minum dan penuhi kebutuhannya. Ini adalah lebih baik dari apa yang diajak oleh Muhammad kepadamu”. Maka turunlah ayat mengenai dirinya, Allah berfirman: “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah…”. (Q.S.31/Luqman: 6).

SIRAH NABAWIYAH ( 09 B )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH JAHRIYYAH)

Beragam Penindasan

Kaum Musyrikun menjalankan metode-metode terdahulu sedikit-demi sedikit untuk mengekang perkembangan dakwah Islamiyyah setelah kemunculannya pada permulaan tahun IV kenabian. Mereka baru sebatas melakukan metode-metode tersebut selama beberapa minggu dan bulan, tidak bergeser ke metode yang baru. Akan tetapi, manakala mereka melihat bahwa metode-metode tersebut tidak membuahkan hasil sama sekali dalam upaya menggagalkan dakwah Islamiyyah; mereka mengadakan pertemuan sekali lagi untuk memusyawarahkan hal tersebut antar sesama mereka. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan penyiksaan terhadap kaum Muslimin dan menguji dien mereka. Tindakan yang diambil pertama kali adalah bergeraknya masing-masing kepala suku untuk menginterogasi siapa saja yang masuk Islam dari kabilah mereka, kemudian ditindaklanjuti oleh bawahan dan kroco-kroco mereka. Maka mulailah mereka mendera kaum Muslimin dengan berbagai siksaan yang membuat bulu kuduk merinding dan hati tersayat-sayat mendengarnya:

Adalah Abu Jahal, bila mendengar seorang laki-laki masuk Islam, berketurunan bangsawan serta memiliki perlindungan (suaka), maka dia mencaci, menghina serta mengancamnya dengan mengatakan bahwa dia akan membuatnya mengalami kerugian materil dan psikologis. Sedangkan bila orang tersebut lemah maka dia menggebuk dan menghasutnya.

‘Utsman bin ‘Affan digulung oleh pamannya ke dalam tikar yang terbuat dari daun-daun kurma, kemudian diasapi dari bawahnya.

Mush’ab bin ‘Umair, manakala ibundanya mengetahui keislamannya, membiarkan dirinya kelaparan dan mengusirnya dari rumah padahal sebelumnya dia termasuk orang yang hidup berkecukupan. Lantaran tindakan ibundanya tersebut, kulitnya menjadi bersisik layaknya kulit ular.

Shuhaib bin Sinan ar-Rumy disiksa hingga kehilangan ingatan dan tidak memahami apa yang dibicarakannya sendiri.

Bilal, maula Umayyah bin Khalaf al-Jumahi mengalami perlakuan yang sangat kejam dari majikannya. Pundaknya diikat dengan tali lantas tali tersebut diserahkan kepada anak-anak kecil untuk diseret dan dibawa keliling sepanjang pegunungan Mekkah. Akibatnya, bekas tali tersebut masih nampak di pundaknya. Umayyah, sang majikan selalu mengikatnya kemudian menderanya dengan tongkat. Kadang ia dipaksa duduk di bawah teriknya sengatan matahari. Ia juga pernah dipaksa lapar. Puncak dari itu semua adalah saat dia dibawa keluar pada hari yang suhunya sangat panas, kemudian dibuang ke Bathha’ (tanah lapang berkerikil) Mekkah. Setelah itu, ia ditindih dengan batu besar dan ditaruh ke atas dadanya. Ketika itu, berkata Umayyah kepadanya:”Tidak, demi Allah! engkau akan tetap mengalami seperti ini sampai engkau mati atau engkau kafir terhadap (ajaran) Muhammad dan menyembah al-Laata dan al-‘Uzza”. Meskipun dalam kondisi demikian, ia tetap berteriak: “Ahad, Ahad”. Mereka terus menyiksanya hingga suatu hari Abu Bakar melewatinya, lalu membelinya dan menukarkannya dengan seorang anak berkulit hitam. Ada riwayat yang mengatakan: dengan tujuh uqiyyah (satu uqiyyah= 12 dirham atau 28 gram-red) atau lima uqiyyah dari perak, kemudian beliau memerdekakannya.

‘Ammar bin Yasir maula Bani Makhzum sekeluarga radhiallaahu ‘anhum ; dia, ayahnya dan ibunya yang masuk Islam tak luput dari penganiayaan. mereka diseret keluar menuju al-Abthah (suatu tempat di Mekkah) oleh kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu suhu udara sangat panas dan menyengat. Maka dalam kondisi seperti itulah mereka menyiksa keluarga tersebut. Ketika mereka sedang menjalani siksaan, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam melintas di hadapan mereka sembari bersabda: “Bersabarlah wahai Ali Yasir (keluarga besar Yasir)! Sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga”. Yasir, ayahnya meninggal dunia dalam siksaan tersebut sedangkan ibunya, Sumayyah ditusuk oleh Abu Jahal dari arah qubulnya dengan tombak dan meninggal dunia seketika. Dialah syahidah (wanita yang mati syahid) pertama dalam Islam. Setelah itu, kaum Musyrikin tersebut meningkatkan frekuensi siksaan mereka terhadap ‘Ammar; terkadang dengan menjemurnya saja, terkadang dengan meletakkan batu besar yang memerah (saking panasnya) diatas dadanya dan terkadang dengan menenggelamkannya alias membenamkan mukanya ke dalam air. Kala itu, mereka berkata kepadanya: “kami tidak akan terus menyiksamu hingga engkau mencaci Muhammad atau mengatakan sesuatu yang baik terhadap al-Laata dan al-‘Uzza. Maka, dia pun secara terpaksa menyetujui hal itu. Setelah itu dia mendatangi Nabi sambil menangis dan meminta ma’af atas kejadian tersebut kepada beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Ketika itu, turunlah ayat: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…”. (Q.S. 16/an-Nahl: 106).

Abu Fakihah – namanya Aflah – seorang maula Bani ‘Abdi ad-Daar mukanya dijerembabkan oleh kaum Musyrikin ke tanah yang melepuh oleh terik matahari, kemudian diletakkan diatas punggungnya sebuah batu besar hingga dia tak dapat bergerak lagi. Dia dibiarkan dalam keadaan demikian hingga hilang ingatan. Suatu kali, mereka mengikat kakinya dengan tali, lalu menyeretnya dan melemparkannya ke tanah yang melepuh oleh terik matahari seperti yang dilakukan terhadapnya sebelumnya, kemudian mencekiknya hingga mereka mengira dia telah mati. Saat itu, Abu Bakar melewatinya lalu membeli dan memerdekakannya karena Allah Ta’ala.

Khabbab bin al-Aratt, maula Ummi Anmaar binti Siba’ al-Khuza’iyyah disiksa oleh kaum Musyrikin dengan aneka siksaan; rambutnya mereka jambak dengan keras sekali, lehernya mereka betot dengan kasar lalu melemparkannya ke dalam api yang membara kemudian –dalam kondisi demikian- jasadnya mereka tarik sehingga api itu terpadamkan oleh lemak yang meleleh dari punggungnya.

Dari kalangan budak Muslimah, terdapat riwayat Zunairah, an-Nahdiyyah dan Ummu ‘Ubais. Tatkala mereka masuk Islam, kaum Musyrikinpun melakukan penyiksaan terhadap mereka sama seperti yang telah dilakukan terhadap para shahabat sebelumnya diatas.

Seorang budak perempuan Bani Muammal – mereka adalah dari suku Bani ‘Adiy – dipukul oleh ‘Umar bin al-Khaththab, kala ia masih Musyrik, dan manakala merasa jenuh, dia berkata: “sesungguhnya yang membuatku membiarkanmu hanyalah karena kejenuhan”.

Semua budak-budak wanita tersebut dibeli oleh Abu Bakar kemudian dimerdekakannya sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap Bilal dan ‘Amir bin Fuhairah.

Kaum Musyrikin juga pernah membungkus sebagian shahabat dalam buntalan yang terbuat dari kulit onta dan sapi, kemudian dilempar ke bumi yang sudah melepuh oleh terik matahari. Sedangkan sebagian yang lain, pernah mereka kenakan baju besi lantas dilemparkan ke atas batu besar yang memanas.

Deretan para korban yang disiksa karena membela dienullah demikian panjang dan amat histeris. Pokoknya, siapa saja yang mereka ketahui telah memeluk Islam maka tak ayal akan dihadang geraknya dan disakiti.

Sikap Kaum Musyrikin terhadap Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam

Adapun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam (kala itu) tidaklah mengalami siksaan yang sedemikian. Beliau adalah seorang ksatria, terhormat dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan sama-sama segan dan mengagungkannya; setiap orang yang berjumpa dengannya, pasti akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak seorangpun yang berani melakukan perbuatan tak senonoh dan hinadina terhadap beliau selain manusia-manusia kerdil dan picik. Disamping itu, beliau juga mendapatkan perlindungan (suaka) dari pamannya, Abu Thalib yang merupakan tokoh terpandang di Mekkah. Dia memang terpandang nasabnya dan disegani orang. Oleh karena itu, amatlah sulit bagi seseorang untuk melecehkan orang yang sudah berada dalam perlindungannya. Kondisi ini tentu amat mencemaskan kaum Quraisy dan membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat berbuat banyak. Hal ini, memaksa mereka untuk memikirkan secara jernih jalan keluarnya tanpa harus berurusan dengan wilayah larangan yang bila tersentuh tentu akibatnya tidak diharapkan. Akhirnya, mereka mendapatkan ide penyelesaiannya, yaitu dengan memilih jalan berunding dengan sang penanggung jawab terbesar; Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan lebih banyak melakukan pendekatan secara hikmah dan ekstra serius, disisipi dengan trik menantang dan ultimatum terselubung sampai dia mau tunduk dan mendengarkan apa yang mereka katakan.

Utusan Quraisy menghadap Abu Thalib

Ibnu Ishaq berkata: “sekelompok tokoh bangsawan kaum Quraisy menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya: ‘wahai Abu Thalib! Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, membuyarkan impian kita dan menganggap sesat nenek-nenek moyang kita. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif: mencegahnya atau membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Sesungguhnya kondisimu adalah sama seperti kami, tidak sependapat dengannya, oleh karena itu kami berharap dapat mengandalkanmu dalam menjinakkannya’. Abu Thalib berkata kepada mereka dengan tutur kata yang lembut dan membalasnya dengan cara yang halus dan baik. Setelah itu mereka pun akhirnya undur diri. Sementara itu, Rasulullah tetap melakukan aktivitas seperti biasanya; mengkampanyekan dienullah dan mengajak kepadanya”. Akan tetapi, orang-orang Quraisy tidak dapat berlama-lama sabar manakala melihat beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam terus melakukan aktivitasnya tersebut dan berdakwah kepada Allah bahkan hal itu semakin membuat mereka mempersoalkannya dan mengumpatinya. Lantaran itu pula, mereka kemudian memutuskan untuk menghadap Abu Thalib sekali lagi namun dengan cara yang lebih kasar dan keras daripada sebelumnya.

Kaum Quraisy mengultimatum Abu Thalib

Para tokoh kaum Quraisy kembali mendatangi Abu Thalib seraya berkata kepadanya: “wahai Abu Thalib! Sesungguhnya kami menghargai usia, kebangsawanan dan kedudukanmu. Dan sesungguhnya pula, kami telah memintamu menghentikan gelagat keponakanmu itu, namun engkau tidak melakukannya. Sesungguhnya kami, demi Allah! tidak akan mampu bersabar atas perbuatan mencela nenek moyang kami, membuyarkan impian kami dan mencemooh tuhan-tuhan kami hingga engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu, kita lihat siapa diantara dua kelompok ini yang akan binasa”.

Ancaman dan ultimatum yang keras tersebut sempat membuat nyali Abu Thalib bergetar juga, karenanya dia menyongsong Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sembari berkata kepadanya: “wahai keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah mendatangiku dan mengatakan begini dan begitu kepadaku. Oleh karena itu berdiamlah demi kemaslahatanku dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tak mampu aku lakukan!”. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengira bahwa dengan ini pamannya telah mengucilkannya dan tak mampu lagi melindungi dirinya, maka beliaupun menjawab: “wahai pamanku! Demi Allah! andaikata mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini -hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya- niscaya aku tidak akan meninggalkannya”. Beliau mengungkapkannya dengan berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri untuk berpaling namun ketika itu, pamannya memanggilnya dan menghampirinya sembari berkata: “Pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang engkau suka, demi Allah! aku tidak akan pernah selamanya menyerahkanmu kepada siapapun!”. Lalu dia merangkai beberapa untai bait (artinya):

Demi Allah! mereka semua tidak akan dapat menjamahmu
Hingga aku terkubur berbantalkan tanah
Berterang-teranganlah dengan urusanmu, tiada cela bagimu
Bergembira dan bersuka citalah dengan hal itu

Kaum Quraisy kembali menghadap Abu Thalib

Tatkala kaum Quraisy melihat Rasulullah masih terus melakukan aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib tak berkeinginan untuk mengucilkan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan telah bulat hatinya untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai upaya membujuk, mereka membawa ‘Imarah bin al-Walid bin al-Mughirah ke hadapannya seraya berujar:”wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini ada seorang pemuda yang paling rupawan dan tampan di kalangan kaum Quraisy! Ambillah dia, maka dengan begitu, engkau dapat berbuat sesukamu; mengikatnya atau membebaskannya (membelanya). Jadikanlah dia sebagai anakmu, maka dia jadi milikmu. Lalu serahkan kepada kami keponakanmu yang telah menyelisihi agamamu dan agama nenek-nenek moyangmu itu, menceraiberaikan persatuan kaummu, membuyarkan impian mereka untuk kami bunuh. Ini adalah barter diantara kita dan menjadi impas; seorang dengan seorang”. Abu Thalib menjawab: “Demi Allah! sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan! Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan untuk kepentingan kalian sementara aku memberikan anakku agar kalian bunuh?. Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi!”. Al-Muth’im bin ‘Adiy bin Naufal bin ‘Abdu Manaf berkata:”Demi Allah, wahai Abu Thalib! Kaummu telah berbuat adil terhadapmu dan berupaya untuk membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa sebabnya aku lihat engkau tidak mau menerima sesuatupun dari tawaran mereka?”. Dia menjawab: “Demi Allah! kalian bukannya berbuat adil terhadapku, akan tetapi kalian telah bersepakat menghinakanku dan mengkonfrontasikanku dengan kaum Quraisy. Oleh sebab itu, lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan!”.

Ketika kaum Quraisy gagal dalam perundingan tersebut dan tidak berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah Rasululullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan mengekang laju dakwahnya kepada Allah; maka mereka pun memutuskan untuk memilih langkah yang sebelumnya telah berupaya mereka hindari dan tidak menyerempetnya karena khawatir akan akibat serta implikasinya, yaitu langkah memusuhi pribadi Rasululullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Bentuk-Bentuk Pelecehan mereka terhadap Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam

Kaum Quraisy membatalkan sikap pengagungan dan penghormatan yang dulu pernah mereka tampakkan terhadap Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam semenjak munculnya dakwah Islamiyyah di lapangan. Memang, sungguh sulit merubah sikap yang terbiasa dengan kebengisan dan kesombongan untuk berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka mulai mengulurkan tangan permusuhan terhadap Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai bentuk ejekan, hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, keusilan dan lain sebagainya. Tentunya, sudah lumrah bila yang pertama-tama menjadi ujung tombaknya adalah Abu Lahab sebab dia adalah seorang kepala suku Bani Hasyim. Dia tidak pernah memikirkan pertimbangan apapun sebagaimana yang selalu dipertimbangkan oleh tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dia adalah musuh bebuyutan Islam dan para pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sebelum kaum Quraisy berkeinginan melakukan hal itu. Kita telah membahas bagaimana prilaku mereka terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam di majlis Bani Hasyim dan di bukit Shafa. Sebelum beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam diutus, Abu Lahab telah mengawinkan kedua anaknya; ‘Utbah dan ‘Utaibah dengan kedua putri Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam; Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun tatkala beliau diutus menjadi Rasul, dia memerintahkan kedua anaknya tersebut agar menceraikan kedua putri beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan cara yang kasar dan keras, hingga akhirnya terjadilah perceraian itu.

Ketika ‘Abdullah, putra kedua Rasulullah wafat, Abu Lahab amat gembira dan menyampiri semua kaum Musyrikin untuk memberitakan perihal Muhammad yang sudah menjadi Abtar (orang yang terputus/buntung) *.

*Terhadapnya Allah Ta’ala menurunkan ayat 3, surat al-Kautsar –red.

Sebagaimana dalam bahasan terdahulu, bahwa Abu Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam hal ini, Thariq bin ‘Abdullah al-Muhariby meriwayatkan suatu berita yang intinya bahwa yang dilakukannya tidak sekedar mendustakan Rasulullah, akan tetapi lebih dari itu, dia juga memukul beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah.

Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah frekuensi permusuhannya terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dibanding sang suami. Dia pernah membawa dedurian dan menebarkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bahkan juga, di depan pintu rumah beliau pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang judes. Lisannya selalu dijulurkan untuk mencaci beliau, mengarang berita dusta dan berbagai isu, menyulutkan api fitnah serta mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itulah, al-Qur’an menyifatinya dengan Hammaalatal Hathab (wanita pembawa kayu bakar).

Ketika dia mendengar ayat al-Qur’an yang turun mengenainya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia telah membawa segenggam batu ditangannya, namun ketika dia berdiri di hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau sehingga dia tidak melihat selain Abu Bakar, lantas dia berkata: “wahai Abu Bakar! Mana shahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi Allah! andai aku menemuinya niscaya akan aku tampar mulutnya dengan segenggam batu ini. Demi Allah! Bukankah sesungguhnya aku ini seorang Penyair?. Kemudian dia menguntai bait berikut (artinya):

Si tercela yang kami tentang, Urusannya yang kami tolak, Diennya yang kami benci

Kemudian dia berlalu. Setelah kepergiannya, Abu Bakar lantas berkata: “wahai Rasulullah! Adakah engkau melihatnya dapat melihatmu?”. Beliau menjawab: “Dia tidak dapat melihatku. Sungguh! Allah telah membutakan pandangannya dariku”.

Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan kisah diatas. Di dalamnya disebutkan bahwa ketika dia berdiri di hadapan Abu Bakar, dia berkata: “wahai Abu Bakar! Shahabatmu itu telah mengejek kami”. Abu Bakar menjawab: “Tidak, demi Rabb bangunan ini (Ka’bah)! Dia tidak pernah berbicara dengan memakai sya’ir ataupun melantunkannya”. Dia menjawab: “Sungguh! apa yang engkau ucapkan memang benar”.

Demikianlah yang dilakukan oleh Abu Lahab padahal beliau adalah paman beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam sekaligus tetangganya, rumahnya menempel dengan rumah beliau. Sama seperti tetangga-tetangga beliau yang lain yang selalu mengganggu beliau padahal beliau tengah berada di dalam rumah.

Ibnu Ishaq berkata: “Mereka yang selalu mengganggu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam saat beliau berada di rumah tersebut adalah Abu Lahab, al-Hakam bin Abi al-‘Ash bin Umayyah, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, ‘Adiy bin Hamra’ ats-Tsaqafy dan Ibnu al-Ashda’ al-Hazaly. Semuanya adalah tetangga-tetangga beliau namun tak seorangpun diantara mereka yang masuk Islam kecuali al-Hakam bin Abi al-‘Ash. Salah seorang diantara mereka ada yang melempari beliau dengan rahim kambing saat beliau tengah melakukan shalat. Yang lain lagi, bila priuk milik beliau -yang terbuat dari batu- tengah dipanaskan, pernah memasukkan bangkai tersebut ke dalamnya. Hal ini, membuat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mamasang tabir agar dapat terlindungi dari mereka manakala beliau tengah melakukan shalat. Bila usai mereka melakukan hal itu, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam membawanya keluar dan meletakkannya diatas sebatang ranting, kemudian berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru: “wahai Bani ‘Abdi Manaf! Tetangga-tetangga model apa yang begini kelakuannya?”. Kemudian barang tersebut beliau lempar ke jalan.

‘Uqbah bin Abi Mu’ith malah melakukan hal yang lebih buruk dan busuk dari itu lagi. Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu ‘anhu bahwa pernah suatu hari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam melakukan shalat di sisi Baitullah sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah duduk-duduk. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: “Siapa diantara kalian yang akan membawa kotoran onta Bani Fulan lalu menumpahkannya ke punggung Muhammad saat dia sedang sujud?”. Maka bangkitlah ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, sosok yang paling sangar diantara mereka, membawa kotoran tersebut sembari memperhatikan gerak-gerik Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Tatkala beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam beranjak sujud kepada Allah, dia menumpahkan kotoran tersebut ke arah punggungnya diantara dua bahunya. Aku (Ibnu Mas’ud-red) memandangi hal itu dan ingin sekali melakukan sesuatu andai aku memiliki perlindungan (suaka). Lalu mereka tertawa sambil masing-masing saling mencolek dan memiringkan badan satu sama lainnya dengan penuh kesombongan dan keangkuhan sedangkan Rasulullah masih sujud. Beliau tidak dapat mengangkat kepalanya hingga Fathimah datang dan membuang kotoran tersebut dari punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala, kemudian berdoa: ‘Ya Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy tersebut’. Beliau mengucapkannya tiga kali. Doa beliau ini menyesakkan hati mereka. Dia (Ibnu Mas’ud-red) bertutur lagi: ‘mereka menganggap bahwa berdoa di negeri itu (Mekkah) adalah mustajabah. Kemudian dalam doanya tersebut, beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam menyebutkan nama mereka satu per-satu: ‘ Ya Allah! binasakanlah Abu Jahal, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin ‘Utbah, Umayyah bin Khalaf, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith – Ibnu Mas’ud menyebutkan yang ke tujuh namun tidak mengingat namanya – . Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya! Sungguh aku telah melihat orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam tewas mengenaskan di al-Qalib , yaitu kuburan di Badar, Madinah”. Adapun nama orang yang ke tujuh tersebut adalah ‘Imarah bin al-Walid.

Lain lagi yang dilakukan oleh Ummayyah bin Khalaf; bila melihat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, dia langsung mengumpat dan mencelanya. Karenanya, turunlah terhadapnya ayat:”Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (al-Humazah) lagi pencela”. (Q.S. 104/al-Humazah: 1). Ibnu Hisyam berkata:”kata al-Humazah maknanya adalah orang yang mencemooh seseorang secara terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling, memain-mainkan kedua matanya sambil mengerdipkannya, sedangkan kata al-Lumazah maknanya adalah orang yang mencela manusia secara sembunyi dan menyakiti hati mereka”.

Sama halnya dengan saudara laki-lakinya, Ubay bin Khalaf; mereka berdua seiring dan sejalan. Suatu ketika, ‘Uqbah duduk di majlis Nabi sembari mendengarkan dakwahnya, namun manakala berita tersebut sampai ke telinga Ubay; dia langsung mencaci dan mencemooh saudaranya tersebut serta memintanya agar meludah ke wajah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam , maka diapun melakukannya. Sementara Ubay sendiri juga tidak mau kalah, dia menumbuk tulang belulang yang ada hingga remuk redam lalu meniupkannya ke angin yang berhembus ke arah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Bentuk pelecehan lainnya adalah apa yang diperbuat oleh al-Akhnas bin Syuraiq at-Tsaqafy yang selalu mengerjai Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Untuk itu, al-Qur’an menyifatinya dengan sembilan sifat yang menyingkap perangainya, yaitu firman Allah Ta’ala: ” Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina (10). Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (11). Yang enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12). Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13)”. (Q.S. 68/al-Qalam: 10-13).

Demikian pula dengan Abu Jahal, terkadang dia datang kepada Rasulullah dan mendengarkan al-Qur’an, kemudian berlalu namun hal itu tidak membuatnya beriman, tunduk, sopan apalagi takut. Bahkan dia menyakiti Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan perkataannya, menghadang jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh memproklamirkan apa yang diperbuatnya dan bangga dengan kejahatan yang dilakukannya tersebut seakan sesuatu yang enteng saja. Terhadapnya turunlah ayat: “Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat… dst”. (QS. 75/al-Qiyaamah: 31- dst). Dia selalu mencegah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat sejak pertama kali melihat beliau melakukannya di Masjid al-Haram. Suatu kali, dia melewati beliau yang sedang melakukan shalat di sisi Maqam (nabi Ibrahim ‘alaihissalaam-red), lalu berkata: “wahai Muhammad! Bukankah sudah aku larang engkau melakukan ini?”. Dia mengancam beliau, mengasari serta membentaknya. Dia berkata kepada beliau:”wahai Muhammad! Dengan apa engkau akan mengancamku?Demi Allah! bukankah sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak memanggil (berdoa) di lembah ini (Mekkah)”. Maka turunlah ayat: “Maka biarkanlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),[17]. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,[18] “. (Q.S.96/al-‘Alaq: 17-18).

Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam mencengkeram lehernya dan menggoyang-goyangkannya sembari membacakan firman Allah: “Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu,[34]. kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu.[35]”. (Q.S. 75/al-Qiyaamah: 34-35). Lantas musuh Allah itu berkata: “Engkau hendak mengancamku, wahai Muhammad? Demi Allah! engkau dan TuhanMu tidak akan sanggup melakukan apapun. Sesungguhnya aku-lah seperkasa orang yang berjalan diantara dua gunung di Mekkah ini!”.

Sekalipun sudah membentak-bentak tersebut, Abu Jahal tidak pernah kapok dari kedunguannya bahkan semakin blingsatan saja. Berkaitan dengan ini, Imam Muslim mengeluarkan dari Abu Hurairah, dia berkata: “Abu Jahal berkata:’Apakah Muhammad sujud dan menempelkan jidatnya di tanah (shalat) di depan batang hidung kalian?”. Salah seorang menjawab: “ya, benar!”. Dia berkata lagi:”demi al-Laata dan al-‘Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak lehernya dan membenamkan mukanya ke tanah!”. Tak berapa lama, datanglah Rasulullah lalu melakukan shalat. Abu Jahal sebelumnya mendakwa akan menginjak-injak lehernya, namun sebaliknya, yang terjadi sungguh mengagetkan mereka; dia tidak jadi bergerak maju dan malah menutupi kedua tangannya untuk berlindung. Mereka lalu bertanya: “wahai Abu Jahal! Ada apa gerangan denganmu?”. Dia menjawab: “Sesungguhnya ada parit dari api, sesuatu yang menakutkan dan sayap-sayap yang mengantarai aku dan dia”. Kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata: “andai dia sedikit lagi mendekat kepadaku, niscaya tubuhnya akan disambar malaikat dan terkoyak satu per-satu”.

Demikianlah gambaran yang amat mini sehubungan dengan bentuk-bentuk pelecehan dan penganiayaan yang dialami oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan kaum Muslimin dari para Thaghut kaum Musyrikin yang mendakwa bahwa mereka adalah Ahlullah (Kekasih Allah) dan penduduk tanah haramNya.

Aktivitas di Darul Arqam

Diantara hikmah kenapa Rasulullah dalam menghadapi penindasan-penindasan tersebut, melarang kaum Muslimin memproklamirkan keislaman mereka baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau kecuali secara rahasia adalah karena bila mereka bertemu dengan beliau secara terbuka maka tidak diragukan lagi kaum Musyrikin akan membatasi gerak beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah (menyucikan diri) kaum Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan as-Sunnah akan terhalangi. Dan barangkali, bisa menyebabkan berbenturnya antara kedua belah pihak bahkan (realitasnya) hal itu benar-benar terjadi pada tahun ke empat dari kenabian, yaitu manakala shahabat-shahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka melakukan shalat secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa orang kafir Quraisy. mereka ini lalu mencaci maki dan memerangi mereka. Menghadapi hal itu, Sa’ad bin Abi Waqqash yang merupakan salah seorang dari para shahabat tersebut memukul seorang dari kaum Musyrikin tersebut sehingga tertumpahlah darah ketika itu. Inilah, darah pertama yang tertumpah dalam Islam.

Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa bila perbenturan ini terus terulang dan berkepanjangan maka tentunya akan berdampak kepada musnah dan binasanya kaum Muslimin. Oleh karena itu, adalah bijak untuk melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Nyatanya, para shahabat secara umum menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan pertemuan mereka. Sedangkan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam melakukannya secara terbuka dalam berdakwah dan beribadah di depan mata kaum Musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya. Namun begitu, beliau tetap melakukan pertemuan dengan kaum Muslimin secara rahasia demi kepentingan mereka dan agama Islam. Maka adalah Daar (kediaman) al-Arqam bin Abi al-Arqam berada diatas bukit shafa dan terpencil sehingga luput dari intaian para Thaghut dan bahan pembicaraan persidangan-persidangan mereka. Tempat itulah yang dijadikan oleh beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai pusat dakwah dan berkumpulnya kaum Muslimin. Disana, beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan hati mereka serta mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).

SIRAH NABAWIYAH ( 09 C )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH JAHRIYYAH) 

Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah

Penindasan yang terjadi, pada permulaannya – yakni pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 dari kenabian – adalah tidak seberapa, namun kemudian dari hari demi hari bahkan bulan demi bulan berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan, terutama pada pertengahan tahun ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memaksa mereka untuk memikirkan siasat lolos dari siksaan-siksaan tersebut. Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah sempit, dalam firmanNya: “…orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Q.S.39/az-Zumar: 10). Rasulullah telah mengetahui bahwa Ash-himah an-Najasyi, raja Habasyah adalah seorang yang adil, tidak seorangpun yang berada disisinya terzhalimi; oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.

Rombongan pertama yang membawa para shahabat bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh ‘Utsman bin ‘Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Rasulullah menyifati keduanya sebagai “keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan Luth ‘alaihimassalaam”.

Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat. Ternyata, takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi pantai, kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin menetap di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.

Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya kaum muslimin yang berhijrah

Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah berada disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam kemudian berdiri di tengah mereka sembari melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias secara tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lain yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya: “…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)”. (Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat tersebut menyergap mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata akan keagungan dan keindah-menawanannya- mengetuk telinga mereka; mereka seakan mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan masing-masing terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak ada yang terlintas di hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah beliau pada akhir surat ini; ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau membaca firmanNya :”…maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia”. (Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian beliau sujud. Melihat pemandangan itu, tak seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh bersujud kepada Allah.

Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa, manakala keagungan Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi sebenarnya, justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka. Mereka mengatakan bahwa kisah itu hanyalah ” itulah al-Gharaniiq yang Mulia, yang syafa’atnya selalu diminta “. Isu bohong ini mereka gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam ketika itu. Tentunya, respons semacam ini tidak begitu mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.

Berita tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-red) sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi beritanya sangat kontras dengan realitas yang sebenarnya; yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya mengetahui duduk persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.

Hijrah Kedua ke negeri Habasyah

Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap mereka dan kaum muslimin secara umum, tak luput suku mereka sendiri memperlakukan hal yang hampir sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy merasa gerah dengan berita yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi adalah seorang raja yang memperlakukan tamunya dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga telah memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke negeri Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit dari perjalanan sebelumnya mengingat kaum Quraisy sudah mengantisipasinya dan bertekad untuk menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin sehingga mereka bergerak lebih cepat dan menuju kepada suaka an-Najasyi, raja Habasyah sebelum kaum Quraisy menciumnya.

Hijrah kali ini membawa rombongan yang terdiri dari 83 orang laki-laki – dalam hal ini, riwayat yang menyatakan keikutsertaan ‘Ammar bin Yasir dalam rombongan ini masih diragukan kevalidannya – dan 18 atau 19 orang wanita.

Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah

Kaum musyrikin tidak pernah merasa senang bila kaum muhajirin tersebut mendapatkan keamanan bagi diri dan dien mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang telah yang teruji lagi cerdik, yaitu ‘Amru bin al-‘Ash dan ‘Abdulullah bin Abi Rabi’ah – sebelum keduanya masuk Islam -. Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang dengannya kaum muslimin dapat diusir dari negerinya. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin, keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata: “wahai tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau kencur memasuki negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama kaum mereka namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami disini, adalah sebagai utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka dari nenek moyang, paman-paman serta suku mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut dan polah mereka mencela dan mencaci-maki mereka”.

Para uskup serta merta menimpali: “benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai tuan raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri mereka”.

Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Merekapun menghadirinya dan telah bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. An-Najasyi berkata kepada mereka:”apa gerangan agama yang bisa memisahkan kalian dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau agama-agama yang lain?”.

Ja’far bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum muslimin bertutur:”wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli Jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna mentauhidkan dan menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara ngibul, memakan harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja’far menyebutkan hal-hal lainnya) … lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya. Kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah ; kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah haram menurut kami dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut kami. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Nah, manakala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta menghalangi agar kami tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan. Kami lebih memilih tuan daripada selain tuan dan lebih suka berada dibawah suaka tuan. Ini semua dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai tuan raja!”.

An-Najasyi bertanya: “apakah ada sesuatu yang dibawanya dari Allah bersama kalian?”. Ja’far menjawab: “ya! Ada”. An-Najasyi bertanya lagi: “tolong bacakan kepadaku!”. Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam, firmanNya: “Kâf-hâ-yâ-‘aîn-shâd”. Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa ini-red) sang rajapun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi mushhaf-mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka. Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka:”sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh ‘Isa adalah bersumber dari satu lentera”. Lalu kepada kedua utusan Quraisy dia berkata:”pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan tidak akan hal itu terjadi”. Keduanya pun keluar namun ‘Amru bin al-‘Ash sempat berkata kepada ‘Abdullah bin Rabi’ah: “demi Allah! sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku habisi mereka (argumentasi kaum muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi ladang mereka”. ‘Abdullah bin Rabi’ah berkata: “jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka menentang kita”. Akan tetapi ‘Amru tetap ngotot dengan tekadnya.

Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya:”wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap ‘Isa bin Maryam”. An-Najasyi pun mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk mempertanyakan perihal perkataan terhadap ‘Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka datang di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja’far berkata kepadanya:”kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang dibawa oleh Nabi kami Shallallâhu ‘alaihi wasallam : ‘dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si perawan yang ahli ibadah”.

An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah seraya berujar:”demi Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi ‘Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini”. Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu angsung ditimpalinya:’demi Allah! sekalipun kalian mendengus”.

Dia kemudian berkata kepada kaum muslimin:”pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung emas” (perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).

Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana: “Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta’ala tidak pernah mengambil sogokan dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan itu, aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia patuh kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena itu”.

Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata: “kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan yang dikemukakan mental sama sekali. Setelah itu, kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling baik”.

Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan riwayat lainnya menyebutkan bahwa perutusan ‘Amru bin al-‘Ash kepada an-Najasyi terjadi setelah perang Badr. Sebagian ahli sejarah menyinkronkan kedua versi riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu terjadi dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan terjadi antara an-Najasyi dan Ja’far dalam perutusan yang kedua kalinya itu adalah hampir sama dengan apa yang diriwayatkan dalam versi Ibnu Ishaq. Selain itu, materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan terjadinya proses murâfa’at (pembelaan, pendengaran di muka hakim dalam istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi.

SIRAH NABAWIYAH ( 09 D )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH JAHRIYYAH)

Meningkatnya frekuensi siksaan dan upaya menghabisi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam

Manakala kaum musyrikun gagal dalam tipu muslihat mereka untuk memulangkan kaum Muhajirin; mereka semakin bertambah geram. Kedongkolan mereka bervariasi antara satu dan yang lainnya. Semakin lama semakin memuncak dan mereka timpakan juga kepada kaum muslimin yang lainnya, bahkan mereka sudah menjangkaukan tangan mereka kepada Rasulullah untuk menyakiti beliau. Tampak dari gerak-gerik mereka hal yang menunjukkan adanya keinginan untuk menghabisi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sehingga mereka dapat menumpas habis fitnah hingga ke akar-akarnya yang selama ini menggetarkan tempat tidur mereka, sebagaimana yang mereka kira.

Sedangkan kaum Muslimin sendiri, sebagian mereka masih tinggal di Mekkah meskipun dalam jumlah yang sedikit. Mereka dapat melakukan hal itu baik lantaran ada diantara mereka yang memang termasuk orang-orang terpandang dan memiliki gigi atau mendapatkan suaka dari seseorang. Meskipun demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman mereka dan menjauh dari pandangan para Thughat sedapat mungkin. Akan tetapi, sekalipun kehati-hatian dan kewaspadaan itu dilakukan, mereka sama sekali tidak dapat lolos begitu saja dari gangguan, penghinaan serta penganiayaan.

Dalam pada itu, Rasulullah tetap melakukan shalat dan beribadah kepada Allah didepan mata kepala para Thughat tersebut; beliau leluasa berdoa baik secara pelan atau terang-terangan. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi dan memalingkannya dari hal itu sebab semua itu dilakukan dalam rangka menyampaikan risalah Allah semenjak beliau diperintahkan olehNya, dalam firmanNya: “Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS. 15/Al-Hijr: 94).

Dengan demikian, sebenarnya sewaktu-waktu, bisa saja kaum Musyrikun menyakiti beliau bila mereka mau sebab secara zhahirnya tidak ada yang menghalangi antara mereka dan diri beliau selain rasa malu dan segan serta adanya jaminan Abu Thalib dan rasa hormat terhadapnya. Sebab lainhnya, karena kekhawatiran mereka terhadap akibat yang fatal dari tindakan tersebut sehingga akan membuat suku Bani Hasyim berhimpun melawan mereka. Namun, lambat laun perasaan tersebut pupus dan tidak berpengaruh banyak terhadap physikologis mereka; karenanya mereka mulai menganggap remeh akan hal itu semenjak mereka merasa eksistensi berhala dan kepimpinan sprituil yang selama ini mereka pegang sudah semakin memudar, kalah saing oleh dakwah Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Diantara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan oleh kitab-kitab as-Sunnah dan Sirah kepada kita serta didukung oleh bukti-bukti otentik bahwa memang terjadi pada masa tersebut adalah kisah ‘Utaibah bin Abi Lahab yang mendatangi Rasululullah pada suatu hari sembari berkata:”aku mengingkari firman Allah: [wan najmi idzâ hawâ: Demi bintang ketika terbenam, (QS. 53:1)] dan yang (disebutkan sebagai) [danâ fa tadallâ : Kemudian dia (Jibril) mendekat, lalu bertambah dekat lagi, (QS. 53:8)] “. Selepas itu, dia menyakiti beliau, merobek bajunya serta meludah ke arah wajahnya namun untung saja tidak mengenainya. Ketika itu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam mendoakan (kebinasaan) atasnya: “Ya Allah, kirimkanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaanMu) untuk (menerkam)-nya”. Doa beliau ini telah diijabah oleh Allah, yaitu manakala suatu hari ‘Utaibah keluar bersama beberapa orang Quraisy dan singgah di suatu tempat di Syam yang bernama az-Zarqâ’. Pada malam itu, ada banyak singa yang berkeliaran disitu. Melihat hal itu, ‘Utaibah serta merta berseloroh: “wahai saudaraku, sungguh celaka! Inilah, demi Allah, pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia membunuhku padahal sedang berada di Mekkah sedangkan aku di Syam”. Lalu singa itu menerkamnya di tengah kerumunan kaum tersebut, mencengkram kepalanya dan membunuhnya.

Kisah lainnya; disebutkan bahwa ‘Uqbah bin Abi Mu’ith menginjak pundak beliau yang mulia saat beliau sedang sujud sehingga hampir-hampir kedua biji matanya keluar.

Diantara bukti lain yang menunjukkan bahwa para Thughat tersebut ingin membunuh beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Âsh, dia berkata:

“Aku datang saat mereka berkumpul-kumpul di hijr (yakni, Hijr Isma’il di Ka’bah-red), mereka menyebut-nyebut perihal Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: ‘Kita tidak pernah sampai menahan kesabaran seperti halnya kita sabar terhadap orang ini (Rasulullah-red), padahal, kita telah menahan sabar terhadapnya dalam masalah yang serius’. Manakala mereka dalam kondisi demikian, muncullah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam menuju ke sana dengan berjalan, lalu beliau menyalami ar-Rukn (al-Yamaniy, salah satu sudut Ka’bah-red), kemudian beliau melewati mereka dan mengelilingi Baitullah. Mereka menghina beliau dengan beberapa ucapan, maka aku mengetahui hal itu dari raut wajah Rasulullah. Ketika beliau melewati mereka untuk kedua kalinya, mereka tetap melakukan hal yang sama terhadapnya dan aku mengetahuinya juga dari raut wajah beliau, kemudian beliau melewati mereka untuk ketiga kalinya dan mereka masih melakukan hal yang sama terhadapnya, lalu beliau berhenti dan berkata kepada mereka:’maukah kalian mendengarkan (ini) wahai kaum Quraisy! Demi Yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku datang membawakan sembelihan untuk kalian”. Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka sehingga tidak seorangpun dari mereka melainkan seakan-akan ada burung yang bertengger diatas kepalanya. Bahkan orang yang paling kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan. Orang itu berkata: ‘pergilah wahai Abu al-Qâsim ! Demi Allah! engkau bukanlah orang yang bodoh’.

Pada keesokan harinya, mereka berkumpul kembali dan memperbincangkan perihal beliau, ketika beliau muncul, mereka secara serentak merubung dan mengitari beliau. Aku melihat salah seorang diantara mereka memegang jubah beliau, lantas Abu Bakar dengan segera membela, sembari menangis, dia berkata: ‘apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia berucap:’Rabb-ku adalah Allah?’. Kemudian mereka berlalu. Ibnu ‘Amru berkata: ‘sungguh pemandangan itu merupakan perlakuan paling kasar yang pernah kulihat dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap beliau’ “. Demikian ringkasan kisahnya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari ‘Urwah bin az-Zubair, dia berkata:”aku bertanya kepada Ibnu ‘Amru bin al-‘Âsh: ‘beritahukanlah kepadaku tentang perlakuan yang paling keras yang dilakukan oleh kaum Musyrikun terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam !’. Dia menjawab: ‘ saat Nabi sedang shalat di hijr Ka’bah, datanglah ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, lalu dia melilitkan pakaiannya ke leher beliau dan menariknya dengan kencang. Kemudian, Abu Bakar datang dan mencangkram pundaknya lalu mengenyahkannya dari sisi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam sembari berkata: ‘apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan: ‘Rabb-ku adalah Allah?’ “.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma’ disebutkan: “lantas ada orang yang berteriak datang kepada Abu Bakar seraya berkata: ‘temuilah shahabatmu! (yakni, Rasulullah-red)’. Lalu dia keluar dari sisi kami dengan membawa empat buah jalinan rambut wanita. Saat keluar, dia berkata: ‘apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan: ‘Rabb-ku adalah Allah?, lalu mereka membiarkannya dan mendatangi Abu Bakar. Lalu dia pulang, dan saat itu kami tidak berani menyentuh jalinan rambut tersebut hingga dia mengembalikannya kepada kami”.

Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu ‘anhu

Di tengah suhu yang diliputi awan kezhaliman dan penindasan, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang menyinari jalan, yaitu masuk islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu ‘anhu . Dia masuk Islam pada penghujung tahun ke-6 dari kenabian, lebih tepatnya pada bulan Dzulhijjah.

Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikitpun kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu dibagian kepala sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang menuju tempat pertemuan kaum Quraisy di sisi Ka’bah dan berbincang dengan mereka. Kala itu, budak wanita Abdullah bin Jud’an berada di kediamannya diatas bukit Shafa dan menyaksikan pemandangan yang belum lama terjadi. Kebetulan, Hamzah datang dari berburu dengan menenteng busur panah. Maka serta merta dia memberitahukan kepadanya perihal perlakuan Abu Jahal tersebut. Menyikapi hal itu, sebagai seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri yang tinggi di kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung bergegas pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu Jahal dan akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya. Maka, manakala dia masuk Masjid (al-Haram-red), dia langsung tegak persis di arah kepala Abu Jahal sembari berkata: “hai si hina dina! Engkau berani mencaci maki keponakanku padahal aku sudah memeluk agamanya?”. Kemudian dia memukulinya dengan gagang busur panah dan membuatnya terluka dan babak belur. Melihat hal itu, sebagian orang-orang dari Bani Makhzum –yakni, dari suku Abu Jahal- terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari Bani Hasyim –dari suku Hamzah-. Abu Jahal melerai dan berkata: “Biarkan Abu ‘Imarah (kun-yah/julukan Hamzah-red)! Sebab aku memang telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek”.

Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan rasa percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya, namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi orang yang berpegang teguh dengan al-‘Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum muslimin.

Masuk Islamnya ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu ‘anhu

Di tengah suhu yang sama pula, seberkas cahaya yang lebih benderang dari yang pertama kembali menyinari jalan. Itulah, keislaman ‘Umar bin al-Khaththab. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijjah, tahun ke-6 dari kenabian, yaitu tiga hari setelah keislaman Hamzah radhiallaahu ‘anhu. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam memang telah berdoa untuk keislamannya sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmuziy (dan dia menshahihkannya) dari Ibnu ‘Umar dan hadits yang dikeluarkan oleh ath-Thabraniy dari Ibnu Mas’ud dan Anas bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: ‘Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Ternyata, yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Umar radhiallaahu ‘anhu.

Setelah meneliti secara cermat seluruh periwayatan yang mengisahkan keislamannya, nampak bahwa campaknya Islam ke dalam hatinya berlangsung secara perlahan, akan tetapi sebelum kita membicarakan ringkasannya, perlu kami singgung terlebih dahulu karakter dan watak dari kepribadiannya.

Beliau radhiallaahu ‘anhu dikenal sebagai seorang yang temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat banyak kaum muslimin merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya terhadap mereka. Sebenarnya, secara lahiriyah apa yang menghinggapi perasaannya amatlah kontras; antara keharusan menghormati tatanan adat yang telah dibuat oleh nenek moyangnya, kekaguman terhadap mental baja kaum muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga ‘aqidah mereka serta timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya sementara sebagai seorang cendikiawan dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja lebih agung dan suci dari selainnya; oleh karena itu begitu memberontak langsung saja dia berteriak lantang.

Mengenai ringkasan kisah tersebut -yang sudah disinkronkan- berkaitan dengan keislamannya; bermula dari tindakannya pada suatu malam bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju al-Haram dan masuk ke dalam tirai Ka’bah. Saat itu, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat al- Hâqqah . Pemandangan itu dimanfaatkan oleh ‘Umar untuk mendengarkannya dengan khusyu’ sehingga membuatnya terkesan dengan susunannya. Dia berkata: “aku berkata pada diriku: ‘Demi Allah! ini (benar) adalah (ucapan) tukang sya’ir sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!’. Lalu beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam membaca : “Innahû laqaulu rasûlin karîm. Wa mâ huwa biqauli syâ’ir. Qalîlan mâ tu’minûn (artinya: ‘sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya’)” . (Q.S. al-Hâqqah: 40, 41). Lantas aku berkata pada diriku: “ini adalah (ucapan) tukang tenung”. Lalu beliau meneruskan bacaannya: “wa lâ biqauli kâhin. Qalîlan mâ tadzakkarûn. Tanzîlun min rabbil ‘âlamîn (artinya: ‘Dan, bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam’)” hingga akhir surat tersebut. Maka, ketika itulah Islam memasuki relung hatiku’ “.

Inilah awal benih-benih Islam merangsak ke dalam relung hati ‘Umar bin al-Khaththab. Tetapi kulit luar sentimentil Jahiliyyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebanggaan akan agama nenek moyang justru mengalahkan inti hakikat yang dibisikkan oleh hatinya. Akhirnya, dia tetap bergiat dalam upayanya melawan Islam, tanpa menghiraukan perasaan yang bersemayam dibalik kulit luar tersebut.

Diantara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang sudah di luar batas terhadap Rasulullah adalah saat suatu hari dia keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Ketika itu, dia bertemu dengan Nu’aim bin ‘Abdullah an-Nahham al-‘Adawiy. (dalam riwayat yang lain disebutkan: “seseorang dari suku Bani Zahrah” atau “seseorang dari suku Bani Makhzum”). Orang tersebut berkata: “hendak kemana engkau, wahai ‘Umar?”.

Dia menjawab:”aku ingin membunuh Muhammad”.

Orang tersebut berkata lagi:”kalau Muhammad engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim dan Bani Zahrah?”.

‘Umar menjawab: “menurutku, sekarang ini engkau sudah menjadi penganut ash-Shâbiah (maksudnya: Islam-red) dan keluar dari agamamu”.

Orang itu berkata kepadanya:”maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih mengagetkanmu lagi, wahai ‘Umar? Sesungguhnya saudara (perempuan) dan iparmu juga telah menjadi penganut ash-Shâbiah dan meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!”.

Mendengar hal itu, ‘Umar dengan segera berangkat mencari keduanya dan saat dia sampai di tengah-tengah mereka, disana dia menjumpai Khabbab bin al-Aratt yang membawa shahîfah (lembaran al-Qur’an) bertuliskan: “Thâha” dan membacakannya untuk keduanya –sebab dia secara rutin mendatangi keduanya dan membacakan al-Qur’an terhadap keduanya-. Tatkala Khabbab mendengar gerak-gerik ‘Umar, dia menyelinap ke bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan ‘Umar menutupi shahifah tersebut. Ketika mendekati rumah, ‘Umar telah mendengar bacaan Khabbab terhadap mereka berdua, karenanya saat dia masuk langsung bertanya:”Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?”.

Keduanya menjawab: “tidak, hanya sekedar perbincangan diantara kami”.

Dia berkata lagi: “nampaknya, kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shâbiah”.

Iparnya berkata: “wahai ‘Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?”.

Mendengar itu, ‘Umar langsung melompak ke arah iparnya tersebut lalu menginjak-injaknya dengan keras. Lantas saudara perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia justru ditampar oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya -dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa dia memukulnya sehingga memar terluka-. Saudaranya berkata dalam keadaan marah:”wahai ‘Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasulullah”.

Manakala ‘Umar merasa putus asa dan menyaksikan kondisi saudaranya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu berkata:”berikan kitab yang ada ditangan kalian ini kepadaku dan bacakan untukku!”.

Saudaranya itu berkata:”sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang yang suci; oleh karena itu, berdiri dan mandilah!”. Kemudian dia berdiri dan mandi, lalu mengambil kitab tersebut dan membaca: Bismillâhirrahmânirrahîm. Dia berseloroh: “sungguh nama-nama yang baik dan suci”. Kemudian dia melanjutkan dan membaca (artinya): “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. 20/thâha: 14). Dia berseloroh lagi: “alangkah indah dan mulianya kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!”.

Saat Khabbab mendengar ucapan ‘Umar, dia segera keluar dari persembunyiannya sembari berkata:”wahai ‘umar, bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah pada malam Kamis “Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: ‘Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Sementara Rasulullah (saat ini) ada di rumah yang terletak di kaki bukit shafa.

‘Umar mengambil pedangnya sembari menghunusnya, lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berada tersebut. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Para shahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Gelagat mereka tersebut mengundang tanda tanya Hamzah:

“ada apa gerangan dengan kalian?”.

Mereka menjawab: ” ‘Umar!”.

Dia berkata: “oh, ‘Umar! Bukakan pintu untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya akan tetapi jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri”.

Saat itu, Rasulullah masih di dalam rumah dan diberitahu perihal ‘Umar, maka beliau pun keluar menyongsongnya dan menjumpainya di bilik. Beliau memegang baju dan gagang pedangnya, lalu menariknya dengan keras, seraya bersabda:”tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai ‘Umar hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughirah? Ya Allah! inilah ‘Umar bin al-Khaththab! Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam dengan ‘Umar bin al-Khaththab!”. Umar berkata:”Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah Rasulullah”. Dan dia pun masuk Islam yang disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar oleh orang yang berada didalam al-Masjid (al-Haram-red).

‘Umar radhiallaahu ‘anhu merupakan sosok yang memiliki rasa harga diri yang tinggi dan keinginan yang tidak boleh dihalang-halangi; oleh karena itulah, keislamannya menimbulkan goncangan luar biasa di kalangan kaum Musyrikun dan membuat mereka semakin terhina dan patah arang sementara bagi kaum Muslimin, hal itu menambah ‘izzah, kemuliaan dan kegembiraan.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Umar, dia berkata:”tatkala aku sudah masuk Islam, aku mengingat-ingat, sesiapa penduduk Mekkah yang paling keras terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Aku berkata: ‘ pasti Abu Jahal lah orangnya”. Lalu aku datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Dia pun keluar menyambutku sembari berkata:

“selamat datang! Ada apa denganmu?”.

“aku datang untuk memberitahumu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad, serta membenarkan apa yang telah dibawanya”. Lalu dia menggebrak pintu di hadapan wajahku sembari berkata:

“Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa yang engkau bawa”.

Dalam versi Ibnu al-Jauziy disebutkan bahwa ‘Umar radhiallaahu ‘anhu berkata:”Dulu, jika seseorang masuk Islam, maka orang-orang menggelayutinya lantas memukulinya dan dia juga memukuli mereka, namun tatkala aku telah masuk Islam, aku mendatangi pamanku, al-‘Âshiy bin Hâsyim, dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia malah masuk rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy -sepertinya Abu Jahal- dan memberitahukannya perihal keislamanku, tetapi dia juga malah masuk rumah”.

Ibnu Hisyam juga menyebutkan -demikian pula Ibnu al-Jauziy secara ringkas- bahwa ketika dia (‘Umar) masuk Islam, dia mendatangi Jamil bin Ma’mar al-Jumahiy – yang merupakan penyambung lidah Quraisy yang paling getol – dan memberitahukan kepadanya tentang keislamannya, orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa Ibnu al-Khaththab telah menjadi penganut ash-Shâbiah. Umar pun menimpali –dibelakangnya- : “dia bohong, akan tetapi aku telah masuk Islam”. Merekapun menyergapnya sehingga akhirnya terjadilah pertarungan antara ‘Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru selesai saat matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka, tetapi ‘Umar sudah nampak kepayahan. Dia hanya bisa duduk sementara mereka berdiri dekat kepalanya. Dia berkata kepada mereka:”lakukanlah apa yang kalian suka. Sungguh aku bersumpah atas nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya telah kami biarkan mereka untuk kalian atau kalian biarkan mereka untuk kami”.

Setelah kejadian itu, kaum Musyrikun berangkat dalam jumlah besar menuju rumahnya dengan tujuan akan membunuhnya. Imam al-Bukhariy meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata:”Saat ‘Umar berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy, Abu ‘Amru, sembari membawa mantel dan baju yang dilipat dan terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang merupakan sekutu kami di masa Jahiliyyah. ‘Umar berkata kepadanya: “ada apa denganmu?”.

“kaummu mengaku akan membunuhku bila aku masuk Islam”, katanya.

‘Umar berkata – setelah mengatakan kepadanya: ‘kamu aman’-: “kalau begitu, tidak akan ada yang bisa melakukan hal itu terhadapmu”.

Asl-Âsh kemudian keluar dan mendapatkan banyak orang yang sudah memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada mereka:” hendak kemana kalian?”

Mereka menjawab:”menemui si Ibnu al-Khaththab yang sudah menjadi penganut ash-Shâbiah ini!”.

Dia menjawab: “kalian tidak akan bisa melakukan hal itu terhadapnya”. Orang-orang itupun pergi secara bergerilya.

Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan :”demi Allah! seolah-olah mereka itu bagaikan pakaian yang tersingkap”.

Demikianlah dampak keislamannya terhadap kaum Musyrikun, sedangkan terhadap kaum muslimin adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Mujâhid dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata:”aku bertanya kepada ‘Umar: ‘kenapa kamu dijuluki al-Fârûq? ‘.

Dia berkata: ‘Hamzah masuk Islam tiga hari lebih dahulu dariku -selanjutnya dia menceritakan kisah keislamannya, dan diakhirnya dia berkata- lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam):

“Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup?”.

Beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab: “tentu saja! Demi Yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya kalian berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup”.

Lalu aku berkata: “lantas untuk apa bersembunyi-sembunyi? Demi Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kita harus keluar (menampakkan diri). Lalu beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam membagi kami dalam dua barisan; salah satunya dipimpin oleh Hamzah dan yang lainnya, dipimpin olehku. deru debu dan pasir tersebut yang ditinggalkannya ibarat ceceran gandum yang dihaluskan. Akhirnya kami memasuki al-Masjid al-Haram. Kemudian aku menoleh ke arah Quraisy dan Hamzah; mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah mereka rasakan seperti itu sebelumnya. Sejak saat itulah, Rasulullah menamaiku “al-Fârûq “.

Ibnu Mas’ud sering berkata:”sebelumnya, kami tak berani melakukan shalat di sisi Ka’bah hingga ‘Umar masuk Islam”.

Dari Shuhaib bin Sinan ar-Rûmiy radhiallaahu ‘anhu, dia berkata:”ketika ‘Umar masuk Islam, barulah Islam menampakkan diri dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan. Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah, melakukan thawaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta membalas sebagian yang diperbuatnya”.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, dia berkata:”kami senantiasa merasakan ‘izzah sejak ‘Umar masuk Islam”.

SIRAH NABAWIYAH ( 09 E )

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH JAHRIYYAH)

Utusan Quraisy menemui Rasulullah

Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan yang agung, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu ‘anhuma, awan kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikun dan barulah tersadar dari mabuk mereka yang selama ini digunakan untuk menyiksa kaum Muslimin. Kali ini, mereka berupaya untuk mencari jalan lain, yaitu mengajukan negosiasi dimana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang diinginkan oleh beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam asalkan mau menghentikan dakwahnya. Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak mengetahui bahwa setiap apa saja yang dapat disinari oleh matahari tidak memiliki nilai sama sekali walau sebesar nyamuk sekalipun dibandingkan dakwah yang beliau emban. Akhirnya, mereka mengalami kegagalan lagi.

Ibnu Ishâq berkata: “Yazîd bin Ziyâd berkata kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhiy, dia berkata: ‘suatu hari ‘Utbah bin Rabî’ah -yang merupakan seorang kepala suku- berbicara di perkumpulan Quraisy saat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam duduk-duduk seorang diri di masjid:

‘wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kamu bila aku menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya lalu menawarkan kepadanya beberapa hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima lalu setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak lagi mengganggu kita?.

Hal itu dikatakannya ketika Hamzah radhiallaahu ‘anhu masuk Islam dan melihat bahwa para shahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka berkata kepadanya:

“Tentu saja bagus, wahai Abu al-Walid! Pergilah menyongsongnya dan berbicaralah dengannya!”.

‘Utbah segera menyongsong beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan duduk disampingnya seraya berkata:

“wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah datang kepada orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga membuat mereka bercerai berai, angan-angan mereka engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu lantas bagaimana pendapatmu tentangnya?. Semoga saja sebagiannya dapat engkau terima”.

“wahai Abu al-Walîd! katakanlah, aku akan mendengarkannya!”, jawab Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam .

“wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya diantara kami; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi tuan kami hingga kami tidak akan melakukan sesuatupun sebelum engkau perintahkan; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami akan mengangkatmu menjadi raja; dan jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu serta akan kami infakkan harta kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena oleh jin sehingga perlu diobati”, katanya – atau sebagaimana yang dia katakan- hingga akhirnya ‘Utbah selesai dan Rasulullah mendengarkannya.

Lalu beliau berkata: “wahai ‘Utbah! Sudah selesaikah engkau?”.

Dia menjawab: “ya”.

Beliau berkata: “ Nah, sekarang dengarkanlah dariku!”.

Dia menjawab: “ya, akan aku dengar”.

Beliau membacakan firmanNya (surat Fushshilat dari ayat 1-5) artinya :” Hâ mîm [1]. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan [4]. Mereka berkata: ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya..[5]”.

Kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam melanjutkan bacaannya.

Tatkala ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam serta khusyu’ mendengarkan sambil bertumpu diatas kedua tangannya yang diletakkan dibelakang punggungnya hingga beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah itu, beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “wahai Abu al-Walîd, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu”.

‘Utbah bangkit dan menemui para shahabatnya. Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:

“kami bersumpah atas nama Allah! sungguh Abu al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan sewaktu dia pergi tadi”.

Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka berkata kepadanya:

“apa yang engkau bawa wahai Abu al-Walîd?”.

“yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang -demi Allah- belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah! ia bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya! Demi Allah! sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita besar; jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian telah terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga; maka dengan begitu kalian akan menjadi orang yang paling bahagia”.

Mereka berkata: “demi Allah! dia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai Abu al-Walîd”.

“inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian lakukan”, jawabnya.

Dalam versi riwayat yang lain bahwa ‘Utbah mendengar dengan khusyu’ hingga bacaan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sampai kepada firmanNya (surat Fushshilat, ayat 13): “jika mereka berpaling maka katakanlah: ‘aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Âd dan kaum Tsamûd”. ketika itu, dia berdiri karena terperanjat dan cepat-cepat menutup mulut Rasulullah dengan tangannya sembari berkata:

“aku minta kepadamu atas nama Allah agar mengingat rahim (hubungan kekeluargaan) diantara kita”.

Hal ini dilakukannya karena takut peringatan tersebut menimpanya. Setelah itu, dia bangkit menemui para shahabatnya dan mengatakan apa yang dia telah katakan (seperti diatas-red).

Para Petinggi Quraisy ingin berunding dengan Rasulullah sementara Abu Jahal ingin menghabisinya

Harapan Quraisy untuk berunding tidak terhenti dengan jawaban dari beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam karena jawaban tersebut tidak secara terus terang menolak atau menerima. Untuk itu, mereka berurun rembug lalu berkumpul di depan ka’bah setelah terbenamnya matahari. Mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah dan mengajaknya bertemu disana. Tatkala beliau datang ke sana, mereka kembali mengajukan tuntutan yang sama seperti yang diajukan oleh ‘Utbah. Disini beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa melakukan hal itu sebab beliau sebagai Rasul, hanyalah menyampaikan risalah Rabbnya; jika mereka menerima maka mereka akan beruntung dunia dan akhirat dan jika tidak, beliau akan bersabar hingga Allah Yang akan memutuskannya.

Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan beberapa tanda, diantaranya; agar beliau memohon kepada Rabbnya membuat gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat mereka, mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan orang-orang yang telah mati hingga mereka mau mempercayainya. Namun beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawabnya seperti jawaban sebelumnya.

Mereka juga meminta beliau agar memohon kepada Rabbnya untuk mengutus seorang raja yang mereka percayai dan menyediakan taman-taman, harta terpendam serta istana yang terbuat dari emas dan perak untuknya namun beliau tetap menjawab seperti jawaban sebelumnya.

Bahkan mereka meminta beliau agar Rabb mendatangkan azab, yaitu menjatuhkan langit atas mereka menjadi berkeping-keping. Beliau menjawab:

“hal itu semua merupakan kehendak Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menjatuhkannya”.

Menanggapi jawaban itu mereka malah menantang dan mengancam beliau. Akhirnya beliau pulang dengan hati yang teriris sedih.

Tatkala Rasulullah berlalu, Abu Jahal dengan sombongnya berkata kepada kaum Quraisy:

“wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela agama dan nenek moyang kita, membuyarkan angan-angan serta mencaci tuhan-tuhan kita. Sungguh aku berjanji atas nama Allah untuk duduk didekatnya dengan membawa batu besar yang mampu aku angkat dan akan aku hempaskan ke kepalanya saat dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka saat itu, kalian hanya memiliki dua pilihan; membiarkanku atau mencegahku. Dan setelah hal itu terjadi, maka Banu ‘Abdi Muththalib bisa berbuat apa saja yang mereka mau”.

Mereka menjawab: “demi Allah! kami tidak akan pernah membiarkanmu untuk melakukan sesuatupun. Pergilah kemana yang engkau mau”.

Ketika paginya, Abu Jahal rupanya benar-benar mengambil batu besar sebagaimana yang dia katakan, kemudian duduk sambil menunggu kedatangan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Rasulullah pun datang dan melakukan seperti yang biasa beliau lakukan. Beliau berdiri lalu melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah datang dan duduk di perkumpulan mereka sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abu Jahal. Manakala Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sedang sujud, Abu Jahal pun mengangkat batu tersebut kemudian berjalan menuju ke arah beliau hingga jaraknya sangat dekat sekali akan tetapi anehnya dia justru berbalik mundur, merasa ciut, wajahnya pasi dan dirundung ketakutan. Kedua tangannya sudah tidak mampu lagi menahan beratnya batu hingga dia melemparnya. Menyaksikan kejadian itu, para pemuka Quraisy segera menyongsongnya sembari bertanya:

“ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?”.

“aku sudah berdiri menuju ke arahnya untuk melakukan apa yang telah kukatakan semalam, namun ketika aku mendekatinya seakan ada onta jantan yang menghalangiku. Demi Allah! aku tidak pernah sama sekali melihat sesuatu yang menakutkan seperti rupanya, juga seperti punuk ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Katanya.

Ibnu Ishaq berkata: “disebutkan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘itu adalah Jibril ‘alaihissalaam ; andai dia (Abu Jahal-red) mendekat pasti akan disambarnya”.

Negosiasi dan Kompromi

Manakala kaum Quraisy gagal berunding dengan cara merayu, mengiming-iming serta mengultimatum, demikian juga, Abu Jahal gagal melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau; mereka seakan tersadar untuk merealisasikan keinginan lainnya dengan cara mencapai jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka. Mereka sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam berjalan diatas kebathilan akan tetapi kondisi mereka hanyalah –sebagaimana disifatkan dalam firmanNya- “sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an” (Q.S.11/Hûd: 110). Karenanya mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan beliau dalam masalah agama. Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan beliau dengan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan sebagian urusan agama yang pernah mereka lakukan, lalu mereka juga menuntut Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam melakukan hal yang sama. Mereka mengira bahwa dengan cara kali ini mereka akan melakukan hal yang benar, jika memang apa yang diajak oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam itu adalah benar.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata: “al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, al-Walîd bin al-Mughîrah, Umayyah bin Khalaf serta al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy (mereka ini merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka) menghadang Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah sembari berkata:

“wahai Muhammad! mari kami menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami dan engkau dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang engkau sembah itu lebih baik dari apa yang kami sembah, maka berarti kami telah mengambil bagian kami darinya, demikian pula jika apa yang kami sembah lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka berarti engkau telah mendapatkan bagianmu darinya”. Lalu Allah menurunkan tentang mereka surat al-Kâfirûn semuanya.

‘Abd bin Humaid dan selainnya dari Ibnu ‘Abbâs bahwasanya orang-orang Quraisy berkata:”andaikata engkau usap tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan menyembah tuhanmu”. Lalu turunlah surat al-Kâfirûn semuanya.

Ibnu Jarîr dan selainnya mengeluarkan darinya juga (Ibnu ‘Abbâs-red) bahwasanya orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam : “engkau menyembah tuhan kami selama setahun dan kami menyembah tuhanmu selama setahun juga”. Lalu Allah Ta’ala menurunkan firmanNya: “Katakanlah: ‘maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’ “. (Q.S.39/az-Zumar: 64)

Manakala Allah Ta’ala telah memberikan putusan final terhadap perundingan yang menggelikan tersebut dengan pembandingan yang tegas, orang-orang Quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga disitu bahkan semakin mengendurkan daya kompromi mereka asalkan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam mau mengadakan beberapa evaluasi terhadap petunjuk-petunjuk yang dibawanya dari Allah, mereka berkata (dalam firmanNya) : “datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. (Q.S.10/Yunus: 15). Lantas Allah Ta’ala juga memotong cara seperti ini dengan menurunkan ayat berikutnya sebagai bantahan Nabi terhadap mereka, beliau berkata (dalam firmanNya):”katakanlah: ‘tidaklah tidak patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (Q.S.10/Yunus: 15).

Allah Ta’ala juga mengingatkan akan besarnya bahaya melakukan hal tersebut, dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya mereka hampir mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.[73]. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.[74]. kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami[75]”. (Q.S. 17/al-Isra’: 73-75).

Kaum Quraisy bingung dan berpikir keras serta upaya mereka menghubungi orang-orang Yahudi

Setelah semua perundingan, negosiasi dan kompromi yang diajukan oleh kaum Musyrikun mengalami kegagalan, jalan-jalan yang ada dihadapan mereka seakan gelap gulita. Mereka bingung apa yang harus dilakukan hingga salah seorang dari syaithan mereka berdiri tegak, yaitu an-Nadlar bin al-Hârits sembari menasehati mereka: “wahai kaum Quraisy! Demi Allah! sungguh urusan yang kalian hadapi saat ini tidak ada lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecilnya, Muhammad adalah orang yang paling kalian ridlai, paling kalian benarkan ucapannya, paling kalian agungkan amanatnya hingga akhirnya sekarang kalian melihat uban tumbuh di kedua alisnya dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian. Kalian pernah mengatakan bahwa dia adalah tukang sihir. Demi Allah! “Dia bukanlah seorang Tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun ‘uqad (buhul-buhul) mereka. Lalu kalian katakan dia adalah seorang dukun. Demi Allah! dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun. Lalu kalian katakan lagi bahwa dia adalah seorang penyair. Demi Allah! “Dia bukan seorang Penya’ir. Kita telah mengenal semua bentuk sya’ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya’ir. Lalu kalian katakan bahwa dia adalah seorang yang gila. Demi Allah! dia bukan seorang yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut. wahai kaum Quraisy! Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah! sesungguhnya kalian telah menghadapi masalah yang besar”.

Ketika itulah kaum Quraisy memutuskan untuk menghubungi orang-orang Yahudi sambil memastikan kelanjutan dari perihal Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam. Maka mereka tunjuklah an-Nadlar bin al-Hârits untuk pergi menemui orang-orang Yahudi di Madinah bersama dua orang lainnya. Ketika mereka tiba di tempat mereka, para pemuka agama Yahudi (Ahbâr) berkata kepada mereka:

“Tanyakan kepadanya (Muhammad-red) tiga hal, jika dia memberitahukannya maka dialah Nabi yang diutus itu, dan jika tidak maka dia hanyalah orang yang ngelantur bicaranya. Yaitu, tanyakan kepadanya tentang sekolompok pemuda yang sudah meninggal pada masa lampau pertama, bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah mengagumkan. Juga tanyakan kepadanya tentang seorang laki-laki pengelana yang menjelajahi dunia hingga ke belahan timur bumi dan belahan baratnya, bagaimana kisahnya?. Terakhir, tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh?”.

Setibanya di Mekkah, an-Nadlar bin al-Hârits berkata: “kami datang kepada kalian berkat apa yang terjadi antara kami dan Muhammad”. Lalu dia memberitahukan mereka perihal apa yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Setelah itu, orang-orang Quraisy bertanya kepada Rasulullah tentang tiga hal tersebut, maka setelah beberapa hari turunlah surat al-Kahfi yang didalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut, yakni Ashhâbul Kahfi dan kisah seorang laki-laki pengelana, yakni Dzul Qarnain. Demikian pula, turunlah jawaban tentang ruh dalam surat al-Isra’. Ketika itu, jelaslah bagi kaum Quraisy bahwa beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam berada dalam kebenaran namun orang-orang yang zhalim tidak berkenan selain terhadap kekufuran.

Sikap Abu Thalib dan Keluarganya

Demikianlah tindakan kaum Musyrikun secara umum, sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar menyerahkan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam kepada mereka untuk dibunuh. Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan ` kasak-kusuk mereka dan mencium keinginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, ‘Umar bin al-Khaththab (sebelum Islam-red) dan Abu Jahal. Akhirnya, dia mengumpulkan seluruh keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib dan menghimbau mereka agar menjaga Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Mereka semua memenuhi imbauan itu, baik yang sudah masuk Islam maupun yang masih kafir sebagai bentuk fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat janji di Ka’bah selain saudaranya, Abu Lahab yang memilih untuk menentang mereka dan berada di pihak kaum Quraisy.